4 Yang terjadi selanjutnya

"Sorin,sebenarnya kita mau kemana?" tanya Ailin untuk yang kesekian kalinya.

Aku berbalik. "Kita akan mencari rumah," ucapku.

Ailin terlihat ragu. Sepertinya dia merasa takut. Aku melihat sekeliling. Yah,aku tau ini siang tapi karna di hutan lebar,sinar matahari jadi terhalangi. Hutan ini menjadi sedikit gelap. Disini juga sangat sunyi. Hanya terdengar suara daun-daun yang tertiup angin dan suara langkah kami. Apalagi hanya ada kami berdua disini. Ailin terlihat sedang berpikir. Apa dia ingin mengatakan sesuatu?

"Ailin,apa kau mau mengatakan sesuatu?" tanyaku.

Ailin mengangguk. "Banyak yang bilang kalau hutan ini berbahaya. Katanya disini ada monster tangan dan hantu. Disini juga banyak orang hilang."

Aku mengerti tentang yang disebut 'hantu'. Pasti itu Baba Yaga atau anak buahnya yang bertubuh aneh itu. Mengenai orang hilang aku tak yakin. Tapi bisa jadi itu adalah ulah Baba Yaga juga. Tapi monster tangan yang dikatakan Ailin sedikit membuatku terkejut. "Monster...tangan?" tanyaku.

"Aku cuman dengar dari orang-orang di desa. Katanya lokasinya di bagian hutan tergelap," jelasnya lagi.

"Kita akan baik-baik saja,kau percaya padaku kan?" tanyaku pada Ailin.

Anak itu mengangguk. "Aku percaya."

Aku tersenyum. "Aku akan berjalan di depan untuk berjaga-jaga."

Ku lihat mata Ailin membulat sempurna. Apa yang dia lihat? Apa dia masih merasa takut dengan boneka hidup sepertiku?

"Ailin,kau kenapa?"

Ekspresi Ailin menjadi takut. Wajah anak itu jadi pucat. Tunggu,sepertinya dia bukan melihatku. Dia sepertinya melihat sesuatu...dibelakangku. Aku berbalik. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan ini. Di samping pohon itu ada tangan yang bertengger. Tangan itu hanya sebatas tangan. Tak ada bagian tubuh yang lain.

"Sorin...," panggil Ailin dengan suara bergetar.

"Ailin tenang," ucapku. Sedetik kemudian ada lebih banyak tangan-tangan yang muncul. Mereka bergelantungan di antara dahan dan ranting pohon. Sepertinya mereka peka terhadap suara. Hutan ini terlalu aneh. Sebuah tangan saja bisa peka terhadap suara padahal tidak memiliki telinga.

Aku mendekati Ailin lalu menaiki tubuhnya. Aku duduk di pundaknya. "Ailin,kita harus melewati mereka. Jangan bersuara apapun maka kita akan selamat. Kau mengerti?" bisikku.

Ailin menggelengkan kepala. Jelas sekali kalau anak ini takut. "Ayolah Ailin. Aku kan bersamamu." bisikku lagi.

"Tapi..." ucap Ailin. Suaranya membuat para tangan itu bergerak aktif. Aku segera menutup mulutnya. Ailin menelan ludah saat mulai berjalan. Kaki kecilnya berjalan dengan hati-hati. Para tangan-tangan itu bergerak agresif saat mendengar suara semak-semak Di saat seperti ini aku harap tak ada hal buruk menimpa kami.

Dari semak-semak itu keluar seekor kelinci liar. Dalam sepersekian detik tangan-tangan itu merayap menuju kelinci itu. Sesaat kemudian kelinci itu dibawa menuju arah berlawanan dengan posisi kami. Para tangan yang lain masih ada. Mungkin itu yang terlihat saja. Karna aku lihat tangan-tangan itu bertambah sejak mendengar suara.

Ailin melirikku. Aku mengangguk. Dia mulai berjalan lagi dengan perlahan. Aku berharap tidak ada kesalahan seperti menginjak ranting yang menyebabkan bunyi seperti yang aku baca di buku petualangan.

Krak~~

Oh tuhan baru saja aku bicara. Kami berdua menunduk melihat ada ranting yang terinjak oleh Ailin. Mataku tak bisa berkedip. Kami berdua melihat sekeliling dimana para tangan itu menghadap kami. Sedetik kemudian mereka merayap dengan cepat ke arah kami. "Ailin,lari!!!"

Seperti yang aku bilang Ailin berlari dengan terbirit-birit. Dia berlari seperti orang kesetanan. Aku memegangi pundaknya kuat agar tak jatuh. Oh ya ampun aku tak menyangka Ailin bisa berlari secepat ini. Aku melihat ke belakang dimana tangan-tangan itu masih merayap ke arah kami. Aku melirik wajah Ailin. Mataku tak bisa berkedip ketika anak itu berlari dengan wajah menangis.

Aku mengalihkan pandangan. Saat menatap ke depan aku melihat sebuah gubuk tua. Tapi sepertinya bukan ide bagus untuk masuk ke sana. Pasalnya gubuk itu terlihat menyeramkan. Lampunya saja terlihat seperti tengkorak kepala manusia. Di halamannya terlihat sangat kotor dengan daun kering berguguran yang berserakan. Tapi mungkin saja kami bisa berlindung dari para tangan itu. Walaupun tak yakin jika gubuk itu memang bisa menahan mereka. "Ailin,ayo masuk ke rumah itu."

"Apa? Rumah itu? Aku tak yakin," ucap Ailin dengan napas naik turun karna sambil berlari.

"Ayolah,kita tak ada jalan lain," bujukku.

Saat kami mendekatinya rumah ini jadi terlihat lebih besar. Aku menoleh untuk melihat tangan-tangan tadi. Aku terdiam. Tangan-tangan itu tak mengejar lagi. Mereka seakan memiliki batas. Ailin ikut menoleh. Dia dengan napas naik turun tersenyum lega. Dia menjatuhkan dirinya di tanah karna sudah tak sanggup berdiri. Anak ini pasti sangat kelelahan.

Aku mengamati rumah ini. Rumah ini.... Bagaimana mengatakannya ya. Kotor,menyeramkan,mencurigakan karna ada di hutan dalam dan yang terpenting lampunya terlihat seperti tengkorak kepala manusia itu yang seram. Aku melihat sekeliling sekali lagi. Dalam satu kilatan mata aku melihat mahluk tinggi,kurus,berkulit hitam. Dia terlihat seperti mahluk yang bersama Baba Yaga. Ah,apakah ini adalah rumah...Baba Yaga.

Keraguan dalam hatiku kembali. Kalau ini memang rumah Baba Yaga maka aku harus memberikan Ailin. Untuk tujuanku, yaitu menjadi manusia kembali. Aku duduk di samping Ailin. "Ailin,apa kau percaya padaku?"

Ailin menoleh sambil tersenyum. "Ailin percaya. Sorin kan satu-satunya yang mau berteman denganku. Ibu juga sudah membuang Ailin. Jadi Ailin hanya akan mempercayai Sorin saja."

Ini salah.Pengakuannya membuatku merasa bersalah. Lebih baik jika aku mencari anak lain. Aku tak sanggup jika harus mengorbankan anak setulus Ailin. Aku menunduk. Padahal sudah sejauh ini aku membawanya. Ah,apa yang aku pikirkan sih. Aku berdiri. "Ailin,ayo kita pergi. Kita akan kembali ke desa."

Ailin terlihat bingung. "Kenapa? Sorin bilang kita akan ke suatu tempat. Apa Sorin juga ingin membuang Ailin."

Aku tersenyum. "Tidak,aku akan bersamamu. "

Aku meraih tangannya. "Tapi,untuk sekarang ayo kita kembali dulu ke desa," bujukku.

"Pergi?" tanya seseorang. Aku menoleh dengan mata membulat saat melihat Baba Yaga berdiri di atas lesung super besarnya. "Kau mau pergi sekarang? Kau tidak jadi memberikan dia?"

Aku menatap Ailin yang diam membeku di tempat. Aku kembali menatap Baba Yaga yang tersenyum jahat. "Ti-tidak,aku tak bisa" ucapku terbata-bata.

Aku harus lari bersama Ailin sekarang juga jika tak ingin melihat dia mati di tangan Baba Yaga. Seperti saat dia membunuh keluargaku.

"Ailin,kita harus lari," ucapku panik.

Ailin tak bergerak sedikitpun. Pandangannya pun lurus menatap Baba Yaga. Aku semakin panik. Ku tolehkan kepalaku melihat Baba Yaga yang turun dari lesungnya dan berjalan ke arah kami. Dia memegang pipi Ailin yang diam membeku di tempat. Udara di sekitarku jadi menipis. Baba Yaga menoleh padaku secepat kilat dengan mata melotot dan ekspresi marah.

Sepersekian detik kemudian aku tak merasakan apapun. Tempat ini menjadi sangat gelap. Saat membuka mata aku melihat diriku di kurung di sebuah tabung. Pandanganku masih kabur. "Apa..,ini apa?" gumanku bingung.

Mataku terbelalak saat menyadari melihat tubuhku sudah jadi manusia. Aku berdiri kaget. Pening langsung menghampiri kepalaku. Tubuhku langsung terduduk saat itu juga. Sebuah ingatan terbersit di pikiranku. "Jika aku jadi manusia maka Ailin..."

avataravatar
Next chapter