webnovel

1- Akhir dan Awal Hidup Baru?

Langit malam tampak hitam. Hanya ada bulan yang bersinar sendirian, sedangkan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya tidak terlihat karena terangnya lampu kota.

Di sebuah jalan, kerumunan orang berdesakan menyaksikan sesuatu. Suara bisikan mereka menggaung seperti capung. Orang-orang memegang ponsel, kilatan cahaya putih menyambar dengan cepat. Beberapa orang di barisan belakang berjinjit, berusaha mendapat potret objek yang menjadi pusat perhatian.

Tidak jauh dari kerumunan, seorang perempuan mengangkat ponsel di atas kepala. Dia menatap layar ponsel yang memantulkan wajahnya. Dengan ekpresi terkesan kaget, bercampur sedikit heboh, dia menyampaikan kabar pada ratusan penonton yang menyaksikan live stream-nya.

"Ya ampun, aku enggak ada maksud bikin ini jadi konten. Tapi harus ada orang yang kasih kabar."

Perempuan itu menghirup nafas dalam-dalam, seolah perlu persiapan.

"Baru saja terjadi kecelakaan. Korbannya laki-laki, kelihatan masih muda. Kemungkinan masih anak SMA. Sedangkan pelaku penabrak langsung melarikan diri sehabis kejadian. Sekarang korban masih terkapar di tengah jalan. Ambulan sudah dipanggil, tapi belum datang juga. Kasihan lihat kondisi korban."

Seperti buaya, ujung sela matanya keluar bulir air mata.

"Ciri-ciri kendaran, truk pick-up warna putih, nomor plat xx-xxxx-xx. Jadi temen-temen, tolong bantu 'share' live stream ini, supaya sopirnya tertangkap!"

Di tengah pusat kerumunan, beberapa pria berusaha membubarkan keramaian. Tapi orang-orang masih bersikukuh mengabadikan momen menyedihkan ini.

"Tolong jangan berkerumun, ini bukan tontonan. Bubar! Memangnya kalian wartawan?"

Di sisi lain, pemuda yang menjadi pusat perhatian meregang nyawa. Kaos putih yang dia kenakan bersimbah darah, layaknya kanvas yang ditoreh cat merah.

Nama pemuda yang sekarat itu Willy.

Dari waktu ke waktu nafasnya semakin pendek. Dada mengembang kemudian mengempis, mengikuti ritme tarikan nafas. Tangannya tidak berhenti bergetar, kakinya terasa dingin. Kedua bola mata Willy terpaku pada langit malam. Willy sudah tidak bisa lagi mengendalikan tubuhnya. Sedangkan pikirannya sekarang hanya ada satu.

'Mama...'

Willy bisa dibilang tidak beruntung. Lahir dari keluarga miskin dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Ibunya membesarkan Willy seorang diri, tanpa bantuan. Sebab ibu Willy sebatang kara, sedangkan keluarga ayahnya tidak ada yang mau membantu sama sekali. Bagi Willy, ibunya merupakan pahlawan. Pahlawan yang memberinya kasih sayang. Pahlawan yang melindunginya sepanjang waktu. Pahlawan yang rela mengorbankan apa saja demi Willy.

'Jadi begini akhir hidupku?'

Air mata mulai mengalir. Tidak ada satu pun orang yang mengerumuni Willy sadar.

'Seumur hidup, aku tidak pernah melanggar aturan. Menjalani hidup dengan baik. Menahan ejekan, hinaan, rundungan. Mendengar segala omong kosong orang-orang. Menerima seluruh kehidupanku yang menyedihkan. Tidak pernah ... tidak pernah sekali saja mengeluh. Tapi kenapa begini?'

Hidup Willy penuh perjuangan. Selama 19 tahun hidup, dia telah mengalami banyak penderitaan. Terutama ketika dia di SMA. Willy menjadi sasaran perundungan.

Willy tidak punya kawan, satu saja tidak. Semua orang menjauhinya. Orang yang mendekatinya akan bernasib sama dengan Willy. Gara-gara itu juga Willly tidak pernah menyatakan perasaan pada orang yang dia suka. Takut perempuan yang dia suka ikut jadi sasaran, dan takut menghadapi penolakan brutal.

Sepulang sekolah Willy harus mencuci piring di restoran cina. Dia bekerja sambilan agar tidak membebani ibunya. Setelah lelah bekerja dari sore hingga malam, dia masih harus belajar supaya bisa diterima di universitas. Ibu Willy tidak menyimpan harapan tinggi, tapi sebagai seorang anak, Willy ingin membanggakan ibunya.

Nasib buruk tidak pandang bulu.

'KENAPA BERAKHIR BEGINI?!'

Kehangatan di tubuh Willy mulai pudar, begitu juga dengan penglihatannya. Namun memori tentang ibunya semakin kuat.

'Inikah akhirnya? Maafkan Willy, Mama.'

Nafas terhenti. Kelopak mata perlahan tertutup. Tangan yang sedari dari tadi bergetar kini kaku seperti batu. Jantung sudah tidak berdenyut lagi. Setelah berjuang cukup lama, hidup Willy akhirnya berakhir.

Paling tidak di dunia ini.

Willy merasa seperti tenggelam dalam lautan dalam. Matanya tertutup, tapi tahu dia berada dalam kegelapan tak terhingga. Tubuhnya terasa terus tenggelam. Dalam, dalam, dan semakin dalam. Seolah tidak pernah menyentuh dasar. Tiba-tiba punggung Willy merasakan sebuah kehangatan. Kemudian kehangatan itu menyebar ke seluruh tubuh.

'Hangat.'

Sebuah cahaya terang menembus kelopak mata Willy.

*Wuung*

Willy membuka mata perlahan. Dia melihat sekeliling.

'Dimana ini?'

Willy berdiri di atas jalan yang tersusun oleh bebatuan. Obor dengan nyala api biru tua berjajar sepanjang jalan. Di ujung jalan terdapat sebuah sumur, dan di sana berdiri sesosok kakek mengenakan jubah hitam.

Kakek itu melihat Willy dari kejauhan, seperti telah lama menunggu kehadirannya. Hati Willy berkata untuk menghampirinya. Biasanya dia selalu punya firasat buruk kalau bertemu dengan orang yang punya niat jahat, tapi kali ini tidak. Tanpa keraguan, Willy berjalan menuju orang tua itu.

Mata hijau zamrud menatap ke dalam mata Willy, seolah bisa melihat semua yang pernah Willy alami.

"Bagaimana? Lumayan berat, bukan?" tanya kakek itu.

Dahi Willy mengernyit, dia sedikit bingung dengan perkataan orang yang ada di hadapannya.

"Maaf, aku tidak paham. Kau siapa? Dan dimana ini?"

"Bukan 'dimana ini', tapi 'tempat apa ini'. Aku yakin kau sudah sadar."

'Ah, betul juga. Aku sudah mati.'

"Betul," sahut Si Kakek.

Willy terkejut, sedangkan Si Kakek tersenyum simpul.

"Kau bisa mendengar pikiranku?" Mata Willy menyipit, menatap ke arah Kakek itu.

"Tentu saja. Aku ini Dewa. Tuhan, Roh suci, Malaikat Maut, Iblis. Ada banyak nama, tapi aku lebih suka dipanggil, Deus."

Kedua alas Willy terangkat, seolah berkata 'oh'. Sebetulnya dia tidak begitu percaya dengan hal-hal mistik. Tuhan, dewa, malaikat, iblis, atau roh. Baginya itu cuma takhayul. Tapi siapa sangka, sekarang entitas itu berdiri di hadapannya.

"Akhirat, hah? Jujur, aku bukan orang beriman. Apa aku akan masuk ke sana? Neraka?" Willy berkata dengan santai, tapi jantungnya berdetak kencang. Dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran.

"Hahaha. Yah, kau memang akan masuk ke sana. Tapi malam ini kau beruntung," jawab Deus. Guratan di wajahnya melebar.

Dengan sedikit keraguan, Willy bertanya, "Aku masuk Surga?"

"Yah, tidak sebaik Surga, tapi bagi beberapa jauh lebih baik."

"Kalau begitu aku akan dimasukan kemana?" Dahi Willy mengernyit.

"Tempat yang setiap orang harapkan, terutama bagi mereka yang hidupnya penuh penderitaan. Tempat untuk memulai hidup baru. Sebuah kehidupan yang penuh kebahagiaan." Deus mengelus janggutnya yang seputih salju. "Kau akan dikirim ke dunia lain. Kau akan di-isekai."

Mendengar jawaban Deus, Willy terkejut bukan main.

'Hah? Isekai? Dewa otaku?!'

"Hei! Apa salahnya jadi otaku. Setiap orang punya hobi masing-masing. Orang-orang yang tidak punya hobi ialah makhluk paling menyedihkan. Lihatlah dirimu, Willy. Kau tidak punya hobi, tidak tahu keinginanmu, hanya terpaku pada masa depan. Dan lihat, apa kau sempat mencicipi kebahagian? Tidak." Nada kesal bercampur hinaan keluar dari mulut Deus.

Willy lupa kalau orang yang ada di hadapannya sekarang bisa mendengar pikiran. Selain itu Willy terkejut mendengar jawaban Deus, seolah dia menghina Deus karena menjadi seorang otaku. Padahal tidak ada maksud menyinggung.

"Aku tidak bermaksud menyinggung. Aku cuma terkejut kalau ternyata Dewa menyukai kebudayaan manusia."

Deus salah tingkah. Dia baru sadar, Willy tidak bermaksud menyinggungnya. Hanya Deus saja yang sensitif. Dengan begini, malah terlihat dia sendiri yang berpikir menjadi otaku ialah sebuah aib.

"Ehem." Deus berdehem, berusaha mengembalikan kewibawaan. "Baiklah, mari aku antar sekarang. Menuju dunia barumu."

"Tunggu dulu, kenapa aku terpilih?"

Salah satu alis Deus terangkat.

"Kenapa? Orang-orang yang pernah aku kirim gembira ketika kuberitahu mereka akan ke dunia lain."

"Aku bukan mereka."

Deus mengangguk sambil mengelus janggut.

"Baiklah, kalau kau ingin tahu. Sebetulnya kau cuma beruntung. Tidak ada yang spesial," jawab Deus.

'Hah?'

Willy kesal mendengar jawaban Deus. Sebagai seorang dewa, Deus tidak mencerminkan sama sekali. Meski begitu, Willy tetap menahan diri. Dia tidak tahu apa yang bisa Dewa perbuat ketika marah.

"Ugh... Aku tahu ini terkesan tidak tahu diri. Tapi bisakah aku kembali ke duniaku. Aku lebih suka di sana, selain itu tidak tega rasanya meninggalkan ibuku sendirian."

Willy menatap mata Deus penuh harapan, berharap mendapat pengertian. Karena Deus ini Dewa, dan Dewa identik dengan belas kasihan. Willy berharap bisa dimaklumi dan dikirim kembali ke dunianya.

Tapi itu tidak akan terjadi.

"Hah? Kau menolak tawaranku? Tawaran yang setiap orang inginkan."

Bukan belas kasihan, melainkan perasaan terhina yang muncul di dada Deus. Bagi Deus, penolakan merupakan penghinaan.

"Bukan begitu. Deus, tawaranmu sangat menggiurkan. Jujur aku sangat menginginkannya," dusta Willy.

Deus mendekatkan muka ke Willy. Matanya memancarkan kemurkaan.

"Jangan berbohong, Willy. Kau pikir bisa menipu Dewa? Kenapa kau menolak?"

Deus bisa melihat semuanya. Termasuk hati Willy. Tapi dia tetap ingin jawaban yang keluar dari mulut Willy.

"Aku suka duniaku. Meski di sana payah dan menyedihkan. Tapi setidaknya aku bisa bersama ibuku."

"Cuih." Deus meludah. "Omong kosong. Kau belum merasakan indahnya kehidupan barumu. Makanya kau menolak. Sini! Tidak usah banyak omong, aku antar ke dunia barumu."

Willy sudah tidak tahan lagi dengan Deus.

"Seumur hidup, aku berjuang sendiri dengan kedua tanganku. Menentukan nasibku sendiri. Kau, yang mengaku Dewa, kemana saat aku membutuhkanmu? Aku menahan penderitaan selama bertahun-tahun. Kurang sedikit lagi aku bisa membahagiakan ibuku. Lalu tiba-tiba kau mencambut nyawaku dan memaksaku pergi ke dunia lain. Ini lebih pantas disebut kesialan dari pada keberuntungan."

Bagai menuang minyak pada api, perkataan Willy membuat Deus makin murka. Matanya berapi-api, siap untuk menghancurkan dunia dan seisinya.

"Kau bilang apa? Menentukan nasibmu? Baiklah kalau begitu."

Tangan kasar mencengkram leher Willy dari belakang. Kemudian dia dihempaskan ke mulut sumur. Dada Willy menghantam kerasnya batu.

"Kau bilang menentukan nasibmu sendiri, kan? Maka buktikan. Kau lihat itu?" Deus menunjuk ke dalam sumur berisi air keruh.

"Air keruh itu yang akan menjadi dunia barumu. Di sana sepuluh kali lebih menyedihkan dari duniamu sebelumnya. Kalau kau bisa bertahan hidup dan keluar dari dunia itu, tidak hanya kukembalikan kau ke dunia asalmu, atau hidup bahagia bersama ibumu. Akan kukabulkan semua permintaanmu.

Carilah Prophet. Dia akan mengirimmu kembali padaku. Itulah caramu agar bisa keluar dari sana. Setelah kau berhasil keluar, minta apa saja, akan aku kabulkan. Tapi perlu kau tahu, di sana dunia yang penuh kekejaman. Darah dan kematian, kau akan sering menciumnya. Setelah itu kau akan sadar, betapa bodohnya menolak kehidupan baru yang aku tawarkan."

Mulut Deus mendekat ke telinga Willy.

"Tidak ada keluarga bahagia, kekuatan super bawaan lahir, atau kerajaan harem. Hanya ada kedua tangan yang kau banggakan itu!"

Nafas Willy semakin cepat, begitu juga dengan jantungnya. Dia mendapat firasat buruk. Penyesalan muncul. Willy berubah pikiran, dia berusaha menjelaskan kembali ke Deus.

"Tu-tunggu dulu bu--"

Sayangnya, Willy sudah terlambat.

"Aaarrrgggh!"

Next chapter