10 Bagian 9

"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi terhadapnya" keluh Hariadi pada sang kakak yang baru saja duduk di sofa ruang tamu kediaman pribadinya. Mendengarnya Unggul Suroso hanya tersenyum, ia tak langsung menjawab. Ini bukan kali pertama adiknya itu mengeluhkan soal sikap Tiara yang susah diatur dan tidak mau lagi mendengar kata-katanya. Namun Unggul tak bisa menyalahkan Tiara sepenuhnya, bagaimana pun semua ini imbas dari sikap adiknya yang tidak bisa bijaksana dalam menentukan sikap hingga sebagai imbasnya Tiara menjadi gadis pemberontak.

"Enam tahun aku tinggal dengannya dan selama itu aku merasa dia sangat menderita" kata Unggul akhirnya bicara karena ia tak mungkin terus menerus hanya berdiam diri dan hanya menjadi pendengar. Saat ini ia merasa perlu untuk memberitahu adiknya apa yang harus disudahi dan apa yang harus dipertahankan. Baginya meraih cita-cita, harapan dan impian adalah penting tapi meraih kebahagiaan keluarga jauh lebih penting dari segalanya yang tak bisa sebanding oleh kepentingan apapun termasuk politik. "Aku bisa mengerti jika dia begitu marah padamu, ayah yang sangat ia cintai justru menyusir kakaknya sendiri, itu jelas bukan hal yang bisa diterima, aku juga sependapat"

"Kakak menyalahkanku? aku lakukan semua itu untuk…"

"Untuk apa? harga diri? nama baik? jabatan politik atau apa? tidak ada alasan apapun yang membenarkan seseorang mengusir putra kandungnya sendiri dan aku tak tahu asas politik mana yang kau pakai sampai membuatmu perlu mengorbankan buah hatimu sendiri"

"Kak cukup" kata Hariadi tak tahan lagi mendengar kata-kata sang kakak yang membuat ia merasa begitu buruk sebagai seorang ayah .

"Kau meminta pendapatku dan inilah pendapatku, lagi pula aku tidak bisa berhenti, kau harus mendengar semuanya dan setelah itu kau mau tetap berkeras hati atau sedikit melunak aku tak akan ikut campur lagi, kau bukan adik kecilku lagi yang setiap membuat salah harus kumarahi, kau sudah terlalu tua untuk mendapatkan perlakuan seperti itu dariku" kata Unggul yang sejak dulu sebagai anak tertua ia hampir selalu mengambil kendali atas adik-adiknya termasuk Hariadi, adik bungsunya tapi ketika sudah memasuki ranah persoalan rumah tangga ia tahu batasannya. Unggul tak bisa terlalu masuk dalam urusan rumah tangga bahkan meski itu rumah tangga adiknya. Terlebih lagi beberapa tahun ini ia jarang di Indonesia dan lebih banyak berada di Paris sebagai seorang pengajar di sebuah universitas ternama di kota itu. Selama bertahun-tahun ia hidup cukup lama dengan Tiara hingga ia bisa mengenal baik seperti apa masalah yang dihadapi keponakannya termasuk perubahan sifat Tiara dari gadis penurut menjadi gadis pemberontak.

"Kak..."

"Aku bukan politisi sepertimu yang tahu caranya bersilat lidah, aku hanya bisa mengatakan apa yang aku tahu" potong Unggul yang sejujurnya ia sudah lama merasa karakter adik kecilnya itu telah berubah menjadi sosok menyebalkan. Bagaimana tidak Hariadi adik kecilnya telah menjadi pribadi yang pandai bersilat lidah, mencari pembenaran atas segala sikapnya dibalik kata martabat dan sungguh ia sudah muak dengan semua itu. Namun ia tak bisa mengatakan dengan mudah ketika yang bermasalah adalah ayah dan anak, hingga selama bertahun-tahun Unggul memilih diam. Kini saatnya ia bicara karena entah kapan lagi Unggul bisa mengatakan semuanya ketika ia bisa bersama dengan adiknya tanpa gangguan dari orang-orang disekitar yang bisa jadi akan menjadi pengacau dari pikiran adiknya.

"Apa Tiara mengatakan sesuatu pada kakak yang aku tidak tahu"

"Soal itu aku tidak tahu pasti tapi ada satu hal yang aku tahu dia tak akan pernah mengatakannya padamu"

"Apa?"

"Dia telah kehilangan ayahnya"

"Maksud kakak apa?"

"Ya, kau memang masih hidup tapi bagi Tiara kau sudah mati, ayah yang penuh cinta, lembut sudah tidak ada lagi, sekarang hanya ada arogansi pada sifatmu dan bagi tiada itu bukanlah sifat ayahnya, karena dari arogansi itu dia kehilangan ayah juga kakak tersayangnya"

Sejak mengusir putra tertuanya semenjadi hari itu ia tak pernah lagi bicara dengan Tiara. Dulu ia pikir kemarahan putrinya hanya karena marah atas tindakannya tapi ternyata ia salah. Gadis kecil itu telah menganggap ayahnya mati dan perlahan telah mengubahnya sampai saat ini hingga sampai hati beberapa tahun lalu Tiara meninggalkan Jakarta demi tinggal di Paris bersama kakak tertua Hariadi yang bahkan kini jauh lebih dekat dengan putrinya daripada ia ayah kandungnya sendiri.

"Aku tidak tahu kalau sikapku akan membuatnya berpikir seperti itu, andai aku bisa menjelaskannya, menjadi politisi…"

"Harus banyak yang dikorbankan" lanjut Unggul yang sudah tahu kata-kata apa yang hendak keluar dari mulut adiknya.

"Kak, jangan hakimi aku seperti ini"

"Aku tidak menghamikimu aku hanya mencoba meluruskan cara pandangmu, para pejuang kita dulu tidak ada yang menghancurkan perasaan hati anak-anaknya untuk sebuah perjuangan kau tahu kenapa? mereka berjuang untuk negara bukan singgasana"

"Kak…"

"Kau sedang memperjuangkan jabatanmu bukan negaramu karena jika negara yang kau perjuangkan keluargamu tidak akan menderita, satu-satunya yang sengsara hanya para politisi yang akan membangkak padamu selebihnya semua orang anak bahagia"

Bahagia adalah satu kata sederhana tapi belakangan begitu sulit terucap dari mulutnya. Rasanya Hariadi sudah lama sekali tak pernah bisa mengatakan satu kata itu karena yang ada dalam benaknya, pikirannya adalah beban hidup, penderitaan dan juga tekanan terlebih sejak ia menduduki posisi orang nomer satu di Indonesia. Dulu ia begitu bangga bisa mewarisi jabatan ayahnya yang membuat sang ayah begitu disegani bahkan meski tidak lagi menjadi pejabat tapi sayangnya keadaan Hadiadi berbeda dengan ayahnya, ia harus menghadapi keadaan yang bahkan tak pernah ia bayangkan akan menimpa keluarganya.

"Apa selama ini itu yang ada dalam pikiran kakak?"

"Iya, karena itu aku tidak mendukungmu dalam jabatanmu, aku tidak mau menjadi pendukung politisi serakah, bahkan dulu jika ayah berlaku sama sepertimu aku juga tidak akan segan angkat kaki dari rumah"

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana"

"Lepaskan saja jabatanmu kalau itu berat, jika memang harus dipertahankan lakukan dengan cara yang benar bukan seperti ini, keluarga adalah martabatamu, mahkotamu dan hartamu bukan jabatan atau posisimu saat ini, kau tak akan bahagia dengan menjadi politisi tapi kau akan bahagia saat menjadi seorang negarawan yang memperjuangkan negara bersama dukungan keluarga, seperti ayah kita" kata Hadiadi akhirnya ia menyampaikan semua yang ada dalam pikiranna kepada sang adik dan tentu saja itu akan mengejutkan bagi Hariadi karena selama ini kakaknya tak pernah sekalipun menceramahinya tentang politik atau bagaimana seharusnya ia memperjuangkan posisinya. Ini pertama kalinya bagi Hariadi dan cukup mengejutlkan.

"Kak Unggul? kapan datang?" kata Rahayu mendadak muncul dan melihat adiknya iparnya itu Unggul tersenyum.

"Sudah lumayan lama, kenapa?"

"Sejak semalam Tiara tidak pulang, dia telephone juga gak diangkat"

"Sepertinya dia menginap di apartement Adit"

"Di apartement Adit?" tanya Rahayu terkejut karena biasanya putrinya itu selalu pulang ke rumah dan jarang menginap di apartement Adit apalagi sampai tidak pulang ke rumah. Tapi belakangan ini putrinya itu memang benar-benar semakin jauh darinya dan juga suaminya yang selalu menggunakan pekerjaan sebagai alasan.

"Iya dan sepertinya itu karena suamimu berada di rumah"

"Aku?"

"Seperti yang kukatakan tadi pikirkan baik-baik" kata Unggul seraya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar pintu tapi langkah kakinya terhenti tiba-tiba saat ia teringat pada apa yang sempat dibicarakan salah seorangnya temannya kemarin malam. " Oh ya aku hampir lupa, putra Wijaya Rahardi, dia sedang berusaha mendekati putrimu, dan saat ini emosi Tiara sedang berada diubun-ubun, jangan mengabaikan sesuatu yang bisa kau cegah, oke?" kata Unggul menyampaikan kekhawatirannya dan berlalu pergi yang saat itu ucapannya membuat Hariadi terdiam seketika. Ia memang tahu kalau belakangan emosi putrinya sedang meledak-ledak bahkan masalah kecil di rumah ini bisa menjadi besar dan hanya saat bersama teman-temannya Tiara tidak melepaskan emosinya tapi ia tak yakin jika berhadapan dengan putra Wijaya Rahardi putrinya tetap bersikap lunak. Tanpa diperingatkan Hariadi sebenarnya sudah tahu kalau putra dari koleganya itu memang berniat mendekati putrinya demi mengamankan jabatannya hanya saja Hariadi bersiap seolah tak tahu apa-apa. Tapi peringatan sang kakak membuatnya tak bisa mengabaikan hal itu dan sepertinya ia harus menghentikan pemuda itu sebelum dia menjadi sasaran kemarahan putrinya.

"Anak muda itu, aku harus memperingatkannya"

***

Sementara itu persiapan fashion show semakin menyibukkan Tiara. Kegiatan promosi, pemotretan hingga persiapan busana yang akan di tampilkan dalam ajang fashion show itu kian membuat Tiara sibuk. Hampir Tiara tak punya waktu memikirkan hal lain di tengah kesibukannya dan beberapa hari ini ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor termasuk memperhatikan persiapan para model yang akan tampil di fashion shownya nanti. Raka juga sering menghabiskan waktu bersamanya dan mereka menjadi cukup dekat karena hampir setiap waktu dirinya bersama dengan Raka karena secara khusus Tiara harus menyiapkan Raka untuk ajang fashion shownya. Bagaimanapun Raka sudah cukup lama tidak mengikuti ajang fashion show selepasnya dari Sun Agensi dan ini membuatnya harus kembali beradabtasi. Apalagi Akira Mode memiliki cara kerja dan konsep yang tidak bisa disamakan dengan perusahaan mode lainnya. Di sini proses produksi mulai dari nol di lakukan terlebih lagi Akira Mode bukan sekedar perusaahaan dengan produk busana tapi bahan baku dari setiap rancangannya juga diproduksi disini dan sedikit juga dijual bebas di pasaran hingga cukup banyak produk yang dihasilkan sampai pekerjaan marketing perusahaan menjadi yang paling berat di Akira Mode.

Hingga tak heran ketika persiapan fashion show mulai dilakukan bergadang hingga menginap di kantor bukan hal asing lagi. Termasuk malam itu ketika Tiara dan orang-orangnya baru menyelesaikan pekerjaan mereka menjelang pukul sebelas malam saat perusahaan lain sudah berjam-jam lalu memulangkan karyawannya tapi Akira Mode masih terlihat sibuk dengan aktifitas pekerjaan mereka dan baru sekitar pukul sebelas para karyawan mulai bisa meninggalkan perusahaan.

"Kalian cepatlah pulang, besok kita punya banyak pekerjaan" pamit Tiara sembari menatap Adit dan Raka yang baru menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya jadwal pemotretan dan latihan para model sudah selesai sekitar pukul delapan tadi. Tapi Raka masih tetap tinggal untuk membantu pekerjaan Adit yang cukup menyita waktu apalagi dia punya cukup kemampuan editing foto selain sekedar menjadi model. Sayangnya karena ia masih merasa kemampuan editingnya kalah jauh dengan Adit ia tak terlalu percaya diri melakukannya dan jika bukan karena Adit memintanya barang kali ia tidak akan berani memperlihatkan kemampuannya di bidang editing itu.

"Kau mau pulang ke rumah atau tidur di apartementku?" tanya Adit kemudian.

"Ke rumah deh kayaknya, soalnya ada beberapa barang yang aku butuhin di rumah"

"Oke deh, hati-hati ya"

"Beres, ya udah balik dulu ya, oh ya Raka besok pemotretannya di luar gedung jadi mending kamu berangkat bareng Adit, dia yang tahu lokasinya"

"Oke"

"Oke semuanya aku balik dulu" kata Tiara berpamitan dan saat itu ponsel Adit berdering. Tapi meski demikian Tiara tidak berhenti dan tetap berjalan menuju pintu keluar tapi tiba-tiba Adit berteriak memanggilnya. Saking kerasnya suara Adit sampai membuat Tiara kaget. Ia pun sontak berbalik dan saat itu ia melihat Adit berlari ke arahnya dengan wajah yang terlihat panik.

"Ada apa?" tanya Tiara heran.

"Kita harus ke rumah sakit"

"Apa?" tanya Tiara bingung.

"Ayah kecelakaan"

"Siapa?" Tiara kaget saat mendengar nama pamannya yang baru sudah beberapa minggu ini tak sempat ia temui padahal pagi tadi sang paman sempat ke apartement Adit tapi sayangnya ia sudah berangkat ke kantor saat sang paman tiba di sana. Akhirnya ia hanya bisa bicara dengan pamannya di telephone dan berjanji akan menemui sang paman besok atau lusa di waktu makan siang.

"Aku serius Tiara, tadi itu telephone dari paman Hari, dia memintaku segera mencarimu dan pergi ke rumah sakit"

"Gak mungkin" kata Tiara segera berjalan menuju tangga lift yang ada di dekat pintu aula dengan perasaan cemas.

"Kecelakaannya beberapa menit lalu"

"Aku numpang mobilmu, Raka biar bareng sama sopirku, boleh?"

"Oke"

"Biarkan aku ikut" kata Raka yang jelas tak akan membiarkan sahabatnya itu menghadapi keadaan seperti ini sendiri. Maka berangkatlah malam itu mereka bertiga ke rumah sakit tempat Unggul Suroso di rawat.

avataravatar
Next chapter