7 Bagian 6

Menjelang siang Raka akhirnya tiba di kantor Akira Mode seperti yang telah dijanjikan dan di sana Daniel sudah menunggunya bersama seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan.

"Nah ini dia sudah datang" kata Daniel pada wanita itu.

"Ah Raka Mardika, kenapa kau tidak bilang" kata wanita yang disapa Endang itu saat melihat Raka dan tampaknya ia terkejut. Entah sesingkat apa Daniel menjelaskan sampai dia tak tahu kalau model yang akan dimanajerinya adalah Raka Mahardika.

"Aku sudah bilang namanya Raka"

"Tapi kau tidak bilang Raka Mahardika, kau itu kebiasaan buruk ya, kalau kasih penjelasan gak pernah tuntas" kata Endang.

"Kenapa? kau keberatan?"

"Bukan, setidaknya aku akan siapkan body guard kalau Raka yang kau maksud ini"

"Body guard? untuk apa?" kata Daniel sebelum akhirnya ia tertawa seolah Endang sedang melontarkan lelucon sementara Raka hanya terdiam memandangi kedua orang yang tengah membicarakannya dan jujur cara Daniel tertawa sedikit membuatnya terhilang. Daniel seolah menganggap Raka bukan model sehebat itu yang akan mendapat banyak banyak gangguan dan ia mengesampingkan fakta bahwa sebelum skandal ibunda nya meledak ia adalah seorang model top bahkan bisa dibilang salah satu icon model Asia.

"Dini hari tadi sekitar pukul dua Tiara datang ketempatku" kata Endang.

"Duduklah" kata Daniel mempersilahkan Raka duduk di samping Endang. "Lalu apa yang dia bicarakan?" lanjut Daniel yang kadang benar-benar tak mengerti dengan

"Katanya dia ingin memintaku mengurus salah satu modelnya"

"Maksudmu Raka?"

"Iya, tapi dia ragu apakah akan meminta bantuanku untuk mencarikan manager atau tidak, dia hanya bilang agar aku bersiap kalau suatu saat dia membutuhkan bantuanku, tidak disangka Raka yang kau bicarakan semalam adalah Raka Mahardika, tahu begitu aku akan langsung menyetujuinya" kata Endang yang jujur saja ia cukup dibuat kaget dengan kedatangan Tiara ke rumahnya padahal pimpinan Akira Mode itu tak pernah mendatangi rumah seorang manager artis dini hari seperti kunjungan mendesak, dia lebih sering meminta orangnya tapi dini hari tadi pengecualian. Hanya saja ia tak berani mengatakan pada Daniel tentang pendapat Tiara soal Raka hingga sampai datang menemuinya dan tidak lain karena Tiara menganggap Raka model yang potensial hingga tak boleh disia-siakan. Sebenarnya Endang juga sependapat tapi kalau bukan Tiara yang mengajukan mana mungkin ia berani.

"Dia seperti model yang lainnya, tidak ada hal spesial, kau tak perlu memperlakukan seseorang berlebihan seperti itu"

"Karena skandal ibunya dan mengabaikan kelebihannya?"

"Endang"

"Kau orang yang sangat profesional tapi terhadap Raka kau agak jatuh pada penilaian pribadi, kalau Tiara tahu dia akan sangat kecewa pada sikapmu ini"

"Endang, kau ingin menjatuhkanku di depannya dengan mengkritikku terang-terangan di depan mukanya?"

"Oh ya Raka, perkenalkan aku Endang, kau bisa panggil aku Endang jangan pakek bu, aku tidak suka bahasa formal" kata Endang mengabaikan ucapan Daniel yang jelas langsung memasang wajah jengkel melihat Endang mengabaikan protesnya dan malah asik bicara dengan Raka. Sikap Endang memang kadang sangat menjengkelkan dan jujur cukup mirip dengan Tiara yang kalau sudah bicara tidak pernah disaring hingga Daniel sering dibuat jengkel oleh kedua wanita itu. Tapi sialnya ia tak berdaya melawan mereka terlebih Endang yang bicaranya kadang suka pedas bahkan tak lihat situasi dia tidak jarang mengkritik Daniel di depan orang lain tanpa peduli apapun kedudukan Daniel.

"Terima kasih sudah rela menjadi manager saya"

"Stop pakai bahasa formal, ok?"

"Baiklah"

"Jadi mulai hari ini agenda kegiatanmu akan di urus oleh Endang, tapi sebelum itu kau dan Endang harus menandatangani kontrak yang menyatakan bahwa menyetujui Endang sebagai managermu" kata Daniel berusaha meredakan emosinya dengan fokus pada pembahasan soal pekerjaan. Ia pun menyerahkan dua lembar kertas yang berisi kontrak perjanjian yang menyatakan Raka sebagai model Akira Mode di mana Endang sebagai managernya. Tak butuh waktu lama bagi Raka untuk menandatangani kontrak perjanjian kerja itu dan sebelum matahari semakin terik semua pembicaraan seputar kontrak kerja telah usai termasuk pembahasan soal agenda Raka kedepannya serta apa saja yang perlu Raka siapkan untuk pekerjaannya.

"Semua agenda kegiatan untuk besok dan seterusnya aku yang akan mengurusnya, apa saja yang kau butuhkan akan kupersiapkan"

"Terima kasih"

"Dan untuk pertama-tama kita akan lakukan pemotretan di aula tempat kau pemotretan kemarin, aku akan menemanimu"

"Sebelumnya ada yang mau saya diskusikan, ini mengenai adik perempuan saya, ayah saya lembur dan pekerjaan saya memakan waktu sampai malam, boleh beri saya ijin beberapa jam untuk mengurus masalah ini, saya harus cari seseorang untuk menjaganya selama saya pergi" kata Raka pada Daniel yang meski ia tak tahu apakah Daniel cukup peduli atau tidak tapi ia tetap harus menyampaikannya karena bagaimana pun dirinya tak bisa mengabaikan adik perempuannya itu bahkan sekalipun demi pekerjaan.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Endang yang tak berani sembarangan memutuskan karena soal pekerjaan Raka dengan perusahaan tetap berada di bawah kendali Daniel selaku wakil presdir.

"Baiklah, aku akan memberimu waktu sampai sore nanti untuk mengurusnya, empat jam rasanya cukup, pemotretannya hanya bisa ditunda maksimal jam 4, aku tak mau ada penundaan lebih dari waktu maksimal yang sudah ditentukan" tegas Daniel.

"Iya, aku tahu, masalah ini semalam sudah kudiskusikan dengan Adit"

"Baguslah kalau kau sudah mengerti"

"Ya udah kau urus masalah adikmu, nanti jam 4 aku akan menjemputmu atau kau perlu bantuan mencari pengasuh?" tanya Endang mencoba membantu Raka karena sebelum ia ditunjuk sebagai manager Raka dirinya sudah banyak mendengar tentang kondisi Raka dari Tiara yang membuatnya cukup prihatin.

"Saya bisa cari orang untuk mengurus adik saya, ibu tenang saja"

"Kok ibu sih? jadi kayak orang tua, panggil aja Endang" kaya Endang tertawa mendengarnya dipanggil ibu padahal menikah saja belum, usianya bahkan baru 30an.

"Maaf, lupa"

"It's ok"

"Kalau begitu kalian bisa pergi, sebentar lagi ruangan ini akan digunakan rapat dengan para manager"

"Oh ya rapatnya sebentar lagi, Tiara gimana?"

"Dia di ruangannya"

"Ya udah Raka, kamu balik dulu gih selesaikan urusan dengan adikmu, aku juga ada perlu mau ketemu Tiara"

"Oke, kalau gitu saya pergi pergi dulu" kata Raka berpamitan pada Daniel dan Endang. Pertemuan hari itu berjalan lancar dan begitu meninggalkan ruangan Daniel suasana ramai tampak di luar ruangan di mana beberapa orang terlihat memasuki ruangan Daniel.

***

Rapat pembahasan soal rancangan dan konsep acara benar-benar memakan waktu yang cukup lama juga melelahkan. Tiara bahkan baru bisa keluar dari ruang rapat menjelang sore dan untuk kesekian kalinya ia terpaksa makan siang di ruang rapat bersama para assitannya, sama sekali bukan suasana yang nyaman untuk menikmati makanan. Tapi inilah konsekuensi yang harus ia hadapi dan lagi-lagi membuatnya melewatkan makan siang yang nyaman di cafe langganannya.

"Lalu berapa lagi rancangan yang belum selesai?" tanya Tiara pada salah seorang assitannya yang lain sembari menghadap menu makan siang yang disajikan office boy ke ruang rapat.

"Hanya tinggal delapan, termasuk rancangan untuk model utama karena desainnya yang rumit kita harus berhati-hati dalam pengerjaannya" salah satu assitannya menjelaskan.

"Selesaikan sebulan sebelum hari H" tegas Tiara sambil meraih gelas mineral di hadapannya.

"Tenang saja, semuanya pasti beres karena kita punya orang-orang terbaik dan aku akan jamin semuanya beres" sela Yudha mencoba menenangkan kekhawatiran atasannya.

"Bagaimana dengan tata rias rambut dan make up?"

"Para hair stylist sedang menggarapnya dan make up sedang aku pikirkan konsepnya, dan akan aku tampilkan besok atau lusa saat pertemuan dengan para hair stylist"kata Yudha dan Tiara mendengarnya sambil meneguk air mineral di gelas kaca miliknya.

"Beberapa orang yang tadi aku tunjuk tolong hadir dalam rapat dengan para hair stylist dan sebagian tolong wakili aku untuk rapat dengan para sponsor"

"Oke" Yudha berkata mewakili jawaban rekan-rekannya.

"Ya udah kita makan siang dulu, kalau mau ada yang diobrolin nanti, kita ketemu lagi di aula" kata Tiara mengakhiri pembahasan dan menikmati makan siangnya. Selepas makan siang usai Tiara bangkit dari kursinya menuju ruangannya sementara para assitan masih mendiskusikan hasil rapat kecuali Yudha yang justru ikut bangkit dan berjalan mengikuti Tiara. Sebagai salah satu assistan senior Yudha memang tak perlu mengurus semuanya langsung, ia hanya perlu menyerahkan beberapa hal pada anak buahnya yang cukup banyak dan berkompeten, meski dalam beberapa urusan ia juga harus turun tangan sendiri.

"Orang itu menelphone lagi" kata Yudha menyampaikan apa yang harus ia hadapi sebelum rapat dan membuatnya jengkel setengah mati.

"Apa katanya?" kata Tiara datar.

"Dia ingin bertemu"

"Dasar politis amatiran" kata Tiara sambil lalu dan mendengar kata-kata kasar dari mulut atasannya Yudha hanya bisa terdiam. Ia tahu Tiara memang sosok yang bicara blak-blakan bahkan kadang juga terkesal kasar tapi ia tak pernah mendengar Tiara bicara sekasar itu apalagi kepada seorang berkedudukan bagus seperti seorang politisi muda yang belakangan sedang berusaha mendekati Tiara. "Apa kau tahu dia berusaha mendekatiku karena ingin mendapat dukungan politik papaku, aku tak habis pikir apa jabatan politik jauh lebih berharga daripada harga dirinya sebagai pria, benar-benar menggelikan"

"Dia mendekatimu? untuk jabatan politik? bukannya posisi dia sekarang cukup bagus untuk ukuran seorang politisi muda?"

"Keserahakan tak akan membuatnya merasa cukup"

"Tapi kenapa dia mencarimu, memangnya kau bisa membantunya?"

"Karena papanya ketua partai yang sedang berkoalisi dengan papaku jadi dia pikir dengan cara mendekatiku dia bisa mendapatkan dukungan papa"

"Bisa dimengerti"

"Karena hubunganku dengan papa tidak baik, itu bisa menjadi alasan kedua kenapa aku tak mau membantunya" kata Tiara dan mendengarnya Yudha hanya bisa diam meski pun ia juga tahu banyak soal hubungan atasannya dengan pak presiden. Ia bahkan pernah melihat bagaimana atasannya itu bicara dengan pak presiden yang sama sekali tidak menunjukkan ada kehangatan di antara mereka. Yudha yang cukup dekat dengan atasannya itu sejak di Paris banyak mendengar serta melihat bagaimana dingin serta kakunya hubungan sang atasan dengan pak presiden tapi ia tak pernah sekali pun berani berkomentar dan hanya bisa menjadi pendengar. "Jika dia berani datang kemari usir dia, tak peduli apapun jabatannya dia tak berhak masuk ke kantorku tanpa seijinku" lanjut Tiara saat teringat dengan ucapan terakhir politisi muda itu saat terakhir kali bertemu yang sampai sekarang meskipun berkali-kali ia menolaknya tetap saja dia berusaha untuk menemuinya. Tiara jelas tak bisa membiarkan hal itu karena ia tak pernah mau terseret dengan arus politik ayahnya.

"Oke, aku akan bilang sama satpam"

"Thank's" kata Tiara singkat sebari berjalan menuju lift dan setibanya di dalam lift suara ponselnya berdering. Nama Erlangga muncul di layar ponselnya dan tanpa menunggu lama Tiara langsung menjawabnya.

"Kau dimana?" suara pria membalas sapaan Tiara.

"Di kantor, kenapa?"

"Aku ingin bertemu, ada waktu?"

"Sekarang?"

"Kalau ada waktu atau mungkin nanti malam"

"Nanti malam aku ada janji makan malam dengan orang kantor"

"Lalu kapan kita bisa bertemu?"

"Sekarang bisa" kata Tiara dan tepat saat itu pintu lift terbuka. Suasana ramai lalu lalang para pegawai menyambut Tiara setibanya di lantai satu. Sesekali mereka terlihat menyapa Tiara dengan senyum atau anggukan kepala. Tiara seperti biasa membalas sapaan mereka dengan sikap ramahnya sembari berjalan ke pintu. "Kita bertemu di café Chi-Cha"

***

Tiba di café Chi-Cha yang berada tidak jauh dari kawasan kuningan Tiara disambut oleh pelayan café yang berseragam merah muda. Menu es cream dengan aneka rasa disodorkan pelayan itu padanya.

"Choco Vanila" kata Tiara menyebutkan menu es cream favoritenya.

"Baik, mohon ditunggu"

Tidak lama kemudian menu pesanan Tiara tiba dan tepat saat itu seorang pria berjalan masuk. Pria itu tampan, berambut coklat pirang dengan warna kulitnya yang cerah. Ia berjalan menuju meja di sebrang Tiara dan melihatnya Tiara pun menoleh mengamati wajah tampan pria itu. Jarang-jarang Tiara bisa melihat bule makan di café sekecil ini terlebih dia sendiri.

Entah karena terlalu mencolok memandanginya atau penampilannya yang menarik perhatian hingga membuat bule tampan itu menoleh ke arah Tiara dan selama beberapa detik mereka berpandangan tanpa bicara melainkan hanya saling menatap. Mata bule itu benar-benar indah, sangat biru dan Tiara adalah penggemar pria bermata biru. Saat di Paris sebagian besar pria yang pernah berkencan dengannya adalah mereka para pria Prancis bermata biru bukannya hijau. Kini pria bermata biru lagi yang berhasil menarik minatnya dan semakin tertarik minat Tiara saat pria itu yang berjalan mendekatnya bukannya sekedar melambai.

"Apa tidak masalah jika aku duduk denganmu?" tanya pria bermata biru itu dan bukan seperti dugaannya bule itu bisa berbahasa Indonesia dengan sangat lancar.

"Kau bisa bahasa Indonesia?"

"Jangankan bahasa Indonesia, aku bahkan mahir bahasa Prancis"

"Wow, keren"

"Kau Mutiara Suroso bukan?" tanya pria itu sembari menyeret kursi di hadapannya.

"Kau tahu?" tanya Tiara seraya memperhatikan pria yang duduk di hadapannya itu.

"Ada banyak media yang menampilkanmu sebagai berita mereka, jadi mana mungkin aku tidak mengenalmu"

"Ah…begitu rupanya" kata Tiara tak tahu harus mengatakan apa karena pria tampan itu sudah tahu siapa dirinya dan memang tak mengherankan kalau pria itu tahu siapa dirinya.

"Sedang sendiri?" tanya pria itu kemudian.

"Saat ini iya"

"Saat ini?"

"Ah sial…" maki Tiara pelan karena keceplosan bicara, seharusnya dia bilang saja sedang sendiri.

"Ada janji dengan seseorang?" tanya pria itu tersenyum lebar dan melihat senyum di wajahnya suasana hati Tiara mendadak hangat. Pria itu punya senyum yang indah dan menghangatkan, benar-benar senyum yang bisa membuat hati sebeku apa pun akan mencair.

"Begitulah tapi dia belum datang dan…"

"Aku akan di sini sampai pria itu datang"

"Sudah pesan sesuatu?"

"Baru akan pesan" kata pria itu mengangkat tangannya dan memanggil seorang pelayan yang segera menghampirinya. "Choco Vanila" kata pria itu menyebutkan pesanannya bahkan tanpa melihat daftar menu dan mendengarnya Tiara tertegun. Tiara tak tahu harus memikirkan apa mengetahui selera pria yang baru dikenalnya itu bisa sama persis dengannya.

"Wait a minutes" kata si pelayan sembari berlalu pergi.

"Kita punya selera yang sama" komentar Tiara.

"Benarkah?"

"Iya"

"Siapa dia?" tiba-tiba seorang pria muncul di samping Tiara dan menyela pembicaraan dua orang yang baru saling kenal itu. Pria itu adalah Erlangga teman kencannya.

"Sepertinya yang kau tunggu sudah datang" kata pria bermata biru itu segera beranjak meninggalkan meja Tiara dan melihatnya Tiara yang hendak mengatakan sesuatu akhirnya urung mengatakannya.

"Bahasa Indonesianya lancar sekali" kata Erlangga sembari duduk menempati kursi yang tadi ditempati si bule tampan itu.

"Aku juga heran kenapa bisa selancar itu"

"Dia temanmu?"

"Bukan, kami bahkan baru ngobrol beberapa menit lalu"

"Oh ya?"

"Sudahlah, gak usah bicarakan dia, kau pesen minum gih"

Erlangga baru hendak melambaikan tangannya tapi seorang pelayan sudah datang menghampirinya sembari membawa semangkuk es cream choco vanilla dan di letakkan di mejanya.

"Kapan aku pesan ini?" tanya Erlangga heran kenapa pelayan membawakan es cream padanya padahal ia bahkan belum memesan apa pun.

"Tapi tadi…" kata si pelayan bingung saat melihat pria yang duduk di hadapan pelanggannya bukan lagi si bule berambut coklat pirang tapi pria berambut hitam.

"Dia duduk di sana" kata Tiara menunju ke arah meja tempat si bule tampan itu sedang duduk.

"Maaf" kata pelayan mengambil kembali mangkuk es cream dan berjalan menuju tempat duduk si bule.

"Apa di sini tidak ada kopi?"

"Ini café es cream mana ada kopi di sini"

"Lalu kenapa kau memilih tempat seperti ini untuk kencan padahal kau tahu aku tidak suka es cream"

"Aku hanya ingin suasana baru, sesekali ikutin seleraku"

"Iya baiklah tuan putri"

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Tiara mengalihkan pembicaraan.

"Kacau"

"Kacau? kok bisa?" tanya Tiara pada Erlangga yang sebenarnya profesi mereka tak jauh beda hanya saja Erlangga lebih fokus dengan media. Erlangga adalah pemilik media massa yang fokus bergerak dibidang fashion dan sudah lebih dari lime belas tahun berdiri. Hingga bahkan bisa dikatakan perkenalannya dengan Tiara adalah saat perusahaannya sedang merakakah hadi jadi yang kedelapan dan saat itu Tiara menjadi tamu kehormatan perusahaan mengingat dia beberapa kali menjadi nara sumber untuk liputan media cetak terbitan perusahanannya.

"Nara sumber yang harus hadir dalam wawancara hari ini tiba-tiba tidak bisa dihubungi, beberapa menit lalu aku menerima kabar kalau dia mengalami serangan jantung"

"Astaga…"

"Jadinya wawancara terpaksa dibatalkan"

"Sayang sekali"

"Ya begitulah"

"Kau sungguh tidak mau kepesan apa pun, sayang lho ini café es cream paling enak"

"Aku makan punyamu saja, tidak apa-apakan?"

avataravatar
Next chapter