6 Bagian 5

Langit hitam bermandikan rembulan menyambut kedatangan Akira di Galaxy Hotel, salah satu hotel mewah di kawasan perbelanjaan Galaxy Mall, sebuah pusat perbelajaan terbesar di Jakarta Selatan. Kemewahan dari gedung-gedung pencakar langit dan lalu lalang kendaraan bermotor hingga pejalan kaki menjadi pemandangannya saat ia tiba di depan hotel berlantai 20 itu, sebuah hotel mewah yang berada tepat di depan Galaxy Mall.

Seorang pegawai resepsionis menyapa Akira dalam bahasa Inggrisnya yang fasih dan bukannya menyapa dalam bahasa yang sama ia malah berbicara dalam bahasa Indonesia hingga membuat pegawai resepsionis itu terkejut. Ini bukan kali pertama Akira dikira turis, wajahnya yang oriental dengan rambut pirang dan mata birunya yang cerah membuat ia kerap dikira turis bahkan di tanah kelahirannya sendiri, Tokyo. Ibu kandung Akira adalah perempuan Jepang berdarah Eropa hingga tak heran kalau sisi Eropa dan oriental mengalir deras pada wajah bahkan tubuhnya. Akira hanya mewarisi sifat dari ayahnya bukan tampilan fisiknya yang lebih mirip turis daripada orang Indonesia.

Akira sebenarnya tidak nyaman setiap kali memikirkannya apalagi saat ini seorang pria sedang memandanginya. Akira bukan berpikir buruk mengenai pria itu karena ia tak nyaman dipandangi seorang pria dengan tatapan seperti itu, membuat ia teringat cara mantan kekasihnya memandangi dirinya dan saat ini Akira benar-benar tak ingin berurusan dengan siapa pun yang memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Tujuannya datang kemari hanya untuk menemui adik-adiknya dan bukan mencari perkara dengan orang-orang semacam itu.

"Atas nama Akira Suroso?" mendengar namanya disebut Akira sejenak melupakan keberadaan pria di sampingnya itu dan lebih memusatkan perhatian dengan pengurusan kamar yang cukup memakan waktu beberapa menit untuk pencocokan identitas dengan nama pemesan. "Kamar anda berada di lantai 12, pelayan kami akan mengantar anda" pegawai resepsionis di hadapan Akira berkata sembari menyerahkan kunci kamar Akira yang berupa selembar kartu berbentuk menyerupai kartu ATM. Akira menerimanya dan bergegas pergi karena sudah tak tahan dengan tatapan pria di sampingnya itu yang sudah membuat suasana hatinya kacau.

Dengan langkah secepat mungkin Akira berjalan menuju pintu lift sembari menyeret koper miliknya meninggalkan pelayan hotel yang semula hendak membantunya membawa koper. Sikap Akira yang terlihat seperti tergesa-gesa membuat pelayan itu tak bisa mengikuti langkah kakinya yang sudah terlebih dahulu tiba di dalam lift sebelum benar-benar bisa mendekat. Dalam beberapa detik pintu lift tertutup dan dengan cepat membawa Akira meluncur ke lantai 12 tempat kamarnya berada.

Tiba di lantai 12 Akira segera menuju kamar bernomer 207 seperti yang tertera pada kartu di tangannya dan dengan cekatan ia memasukkan kartu itu pada lubang tipis di samping pintu. Dengan cekatan begitu pintu terbuka ia pun segera masuk dan menarik kopernya secepat yang ia bisa.

"Ini benar-benar gila" keluh Akira begitu pintu kamarnya tertutup dan saat itulah ia baru benar-benar merasa lega. Setidaknya di sini ia bisa sedikit aman, pria aneh itu tak akan berani mengejarnya sampai ke kamar. Namun baru beberapa detik ia merasa tenang pintu kamarnya tiba-tiba digedor dengan suara keras dan mengacak-acak ketenangan Akira dalam sekejap. Dengan perasaan takut Akira berjalan mendekat ke arah pintu dan melihat siapa yang berani mengedor pintu kamarnya seganas itu dari balik kaca bulat berukuran mini di tengah pintu. Pria tadi yang ia kira tak akan berani ke kamarnya benar-benar mendatangi kamarnya.

"Ada perlu apa anda mengikuti saya sampai kemari?" kata Raka sambil menekan tombol disamping pintu yang terhubung dengan sisi luar pintu dan pria berbicara dengan suara lantang.

"Kak, ijinkan aku masuk, aku bukan ingin merampokmu" kata pria itu.

Akira terkejut mendengarnya dan entah karena kaget atau ada yang salah dengan otaknya dengan mudahnya ia membuka pintu kamarnya untuk pria itu.

"Aku Ruby" kata pria itu setelah Raka membuka pintu kamarnya dan tanpa menunggu ijinnya dia langsung menerobos masuk.

"Ruby?"

Nama pria itu mengingatkannya pada adik lelakinya, putra sang ayah dari ibu tirinya.

"Kenapa diam? kak Akira tidak ingat padaku?" lanjutnya.

"Ruby?" Akira menatapnya sejenak dan sorot mata pria itu sulit ia abaikan bahwa sorot matanya saat ini sangat mirip dengan tatapan mata adik lelakinya, Ruby.

"Iya, kakak tidak mengenaliku?" tanya Ruby sembari menutup pintu kamar di belakangnya.

"Ruby" tanpa sadar Akira langsung memeluk adiknya dan sejujurnya Ruby agah risih mendapatkan pelukan semacam itu. Bagaimana pun ia seorang pria dan tidak terbiasa dengan pelukan kecuali pelukan sang ibunda, adik perempuan atau kekasihnya tapi bukan kakak lelakinya. Namun mengingat bagaimana sikap kakak lelakinya itu yang kadang agak seperti perempuan maka ia pun membiarkan sang kakak memeluknya terlebih mereka sudah sangat lama tidak pernah bertemu. Ia bisa memaklumi mengapa sang kakak memeluknya sedemikian eratnya.

"Aku pergi dari rumah saat kau belum sedewasa ini" kata Akira sambil melepaskan pelukannya dan kembali mengingat wajah adik lelakinya itu saat ia meninggalkan rumah.

"Iya dan kakak membuat cuby menangis semalaman, sakit, bahkan mogok makan"

"Maafkan aku, sekarang bagaimana keadaannya?" ribuan kata sesal tak akan cukup mengobati penyesalannya jika dia mengingat bagaimana adik perempuannya itu ketika ia pergi meninggalkan rumah. Tapi apa daya ia tak bisa tetap tinggal ketika ayahnya sendiri bahkan tak ingin melihatnya lagi.

"Sekarang dia menjadi gadis pembangkang, bersikap seenaknya sendiri"

"Apa ini karena aku?"

"Ini salah kalian berdua, kakak bertindak semau kakak dan ayah bertindak semaunya, kalau saja kalian bersikap bijak, memikirkan apa yang akan terjadi pada keluarga kita, mungkin keadaan tidak akan menjadi seburuk ini"

"Ruby…"

"Pulanglah kak, aku sudah lelah melihat sikap Tiara yang seperti itu, dia bahkan tidak mau mendengar siapa pun, mungkin kalau kakak pulang sikapnya bisa menjadi lebih lunak" kata Ruby yang sejujurnya ia sudah sejak lama ingin menemukan keberadaan kakak sulungnya tapi tak pernah berhasil dan kini sebuah keajaiban ia bertemu dengan sang kakak ketika sedang berkunjung ke salah satu hotel miliknya meski pun sayangnya sang kakak tidak langsung mengenalinya.

"Aku tak bisa pulang tapi mungkin aku bisa kembali pada kalian" kata Akira yang sejak ia memutuskan pulang ke Jakarta ia sudah mengambil keputusan bahwa apa pun yang terjadi dia akan menemui adik-adiknya betapa pun sang ayah akan melarangnya. Selama ini Akira menahan diri untuk melakukan semua itu dan hasilnya ia malah terluka tiap kali mengingat bagaimana kesedihan di mata adik-adiknya saat ia pergi dari rumah karena ayahnya tapi meski demikian pulang ke rumah bukan rencananya. Ia hanya berencana kembali menemui adik-adiknya tapi bukan pulang.

"Kak…"

"Untuk sekarang inilah yang terbaik, setidaknya aku kembali pada kalian"

"Kapan kakak akan bertemu Tiara? beberapa hari ini dia sering pulang malam"

"Oh ya aku dengar dia sedang sibuk dengan persiapan fashion show?"

"Iya, kakak tahu?"

"Aku malah sudah dapat undangannya"

"Wow…." kata Ruby sama sekali tak mengira kakaknya bahkan sudah dapat undangan fashion show sang adik padahal pulang saja tidak pernah.

"Ada yang memberikan undangan itu padaku"

"Siapa?" tanya Ruby.

"Sigit"

"Ah dia..." kata Ruby nada bicaranya terdengar sinis.

"Kau ingat?"

"Dia yang sudah menjerumuskan kakak, bagaimana aku bisa lupa" tegas Ruby yang membuat Akira seketika terdiam. Sejak dulu Ruby selalu menyalahkan Sigit atas apa yang terjadi padanya dan Akira tak terlalu kaget mendengar kemarahan yang masih terdengar dari nada bicaranya. "Sudahlah, tak perlu membicarakannya"

"Hubunganku dengannya sudah berakhir, jadi berhentilah menyalahkan dia terus"

"Benarkah?"

"Iya dan aku tak sanggup kehilangan kalian sekalipun itu demi Sigit"

"Aku lega mendengarnya, kenapa tidak dari dulu kakak berpikir seperti ini?"

"Aku butuh waktu untuk menyadari banyak hal, maaf sudah mengacaukan segalanya"

"Tak apa-apa kak, selama kakak bersedia kembali itu sudah cukup"

***

Suasana pagi hari di kediaman pribadi Hariadi Suroso terlihat tenang, para pekerja di rumah besar itu bekerja dengan tenang dan demikian juga Tiara ia menyantap hidangannya dengan tenang tanpa suara. Meski demikian bukan berarti Tiara merasa nyaman dengan suasana tenang itu, tapi sebaliknya Tiara merasa kesepian karena selalu saja suasana tenang ini menjadi pemandangan di rumahnya hingga ia tak pernah betah berada di rumah. Tiara benci suasana yang terlalu tenang seperti di rumahnya, ia lebih senang berada di tempat ramai atau di kantornya yang meski pun kadang berisik tapi ia menikmati suasana di sana. Sementara di rumahnya meski pun tenang Tiara tak pernah merasa nyaman apalagi tidak banyak pelayan yang berani mengobrol dengannya. Berbeda halnya dengan para pegawai Tiara yang sesopan apa pun mereka Tiara masih bisa mengajak ngobrol mereka atau kadang bercanda. Itulah sebabnya berada di kantor jauh lebih menyenangkan bagi Tiara daripada berada di rumahnya yang tenang atau istana negara tempat kedua orangtuanya tinggal yang selama ayahnya menjabat sebagai president yang tak sekali pernah ditinggalinya. Alasannya bukan karena ia tidak senang dengan bangunannya yang merupakan peninggalan sejarah itu tapi lebih karena di sana ia hanya bisa melihat ayahnya sebagai president bukan sebagai ayahnya. Tak heran jika akhirnya Tiara lebih memilih untuk tinggal di rumah kediaman pribadi sang ayah dan membiarkan para pengawal sang ayah diam-diam mengawalnya daripada tinggal di istana negara. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada hidup dikediaman president yang hanya bisa membawanya bertemu dengan para pejabat dan mendengar pembicaraan berat soal permasalah rakyat yang sama sekali bukan pembicaraan ringan yang ingin didengarnya.

"Non Tiara sudah mau pergi lagi?" bik Ina salah satu pelayan di rumah Tiara menegurnya sembari membawakan semangkuk nasi goreng di hadapannya.

"Rapat di kantor mulai jam 8 jadi Tiara harus berangkat pagi"

"Tapikan non baru pulang tengah malam tadi"

"Tiara sudah cukup istirahat, jadi sekarang saatnya kerja lagi"

"Non, ingat kesehatan non juga harus diperhatikan jangan cuma fashion shownya aja"

"Bibik tenang aja, Tiara ini kuat"

"Non…"

"Bibik kenapa jadi cerewet kayak mama sih" protes Tiara menanggapi sikap pelayan kepercayaan ibunya yang makin hari makin mirip cerewetnya dengan sang ibunda.

"Oh ya non kemarin nyonya marah-marah, soalnya non ditelphone sama sekali gak ngangkat, sesekali angkatlah non, kasihan nyonya"

"Tiara lagi gak pingin bahas soal ayah, bilang sama mama kalau telephone cuma buat ngomongin soal ayah mending gak usah" kata Tiara sembari mengambil nasi goreng di hadapannya dan tepat saat itu sang ibunda Rahayu Widianto muncul dengan wajah kesal menatap Tiara yang sejak kemarin tidak mau menjawab telphonenya. "Mama ngapain melototin Tiara kayak gitu?" tanya Tiara langsung saat melihat tatapan tajam mata sang ibunda.

"Mama masih gak ngerti sama kamu, ditelphone gak ngangkat, sms gak dibalas, wa cuma diread doank, telephone ke kantor kamu juga gak mau jawab, apa sih maumu sebenarnya?"

"Mam, Tiara lagi gak ingin ngomongin soal ayah"

"Tiara…"

"Tiara tahu mama mau ngomongin masalah apa, sudah Tiara bilang, kita bicaraan itu setelah fashion show Tiara selesai" jelas Tiara berusaha membuat ibundanya mengerti betapa ia sedang tidak ingin memikirkan masalah keluarga terlebih soal ayahnya yang sejak beberapa hari ini terus menerus berusaha mengajaknya bicara lebih tepatnya memaksa dan semua itu karena sang ayah ingin Tiara beserta sang kakak bersedia tinggal di istana negara. Tapi Tiara setali tiga uang dengan kakaknya, ia masih bersikeras tak mau dan sang ayah seperti biasa memakai ibunya sebagai alat untuk memaksa dirinya. Namun hal itu tidak lagi berguna saat ini karena baik Tiara dan sang kakak sudah tak mau lagi merubah keputusan mereka untuk menjauh dari dunia politik sang ayah betapa pun sang ayah menggunakan sang ibunda untuk merubah pendirian mereka.

"Apa kau akan bersikap seperti ini terus pada papamu?"

"Tiara gak ngerti"

"Papamu hanya minta kau dan kakakmu tinggal di istana negara, papa hanya ingin bisa tinggal serumah dengan buah hatinya, jadi mama mohon…."

"Maaf mam, Tiara gak bisa kecuali kedua kakak Tiara tinggal di sana" tegas Tiara dan mendengarnya sang ibunda hanya bisa terdiam memandangi Tiara yang sedang menyantap sarapan paginya dengan ekpresi dingin tak sedikitpun terlihat menikmati makanan yang sedang disantapnya. Ibu Rahayu benar-benar tak tahu lagi harus bagaimana untuk melunakkan hati kedua buah hatinya yang sama-sama keras dan ia semakin bingung saat memikirkan sang suami yang juga masih bersikeras tak ingin Akira kembali padahal Akiralah yang menjadi solusi atas permasalah ini. Jika saja sang suami mau sedikit melunak dan membiarkan Akira kembali mungkin kedua buah hatinya itu tak akan lagi bersikap keras ini.

"Kalian benar-benar membuatku gila, tidak suami, tidak anak, sama saja" kata ibu Rahayu sembari berlalu pergi meninggalkan Tiara yang hanya bisa diam mendengar ucapan sang ibunda. Bagaimana pun Tiara tak bisa berbuat banyak jika ayahnya tidak merubah keputusannya untuk tidak membawa kakak sulungnya kembali.

Jujur saja Tiara sebenarnya tak ingin bertengkar dengan ibunya apalagi membuat sang ibunda merasa tertekan diusianya yang sudah tidak muda lagi. Tapi Tiara tak ada cara lain untuk bisa menyatukan kembali keluarganya. Kadang ia berharap ayahnya lengser dari jabatan politiknya tapi tentu saja Tiara tak bisa melakukan hal itu di mana sang ayah memiliki kebanggaan dan kebahagiaan dengan jabatan politiknya saat ini seperti bangganya sang ayah kepada kakeknya.

"Kalau papa tidak mengusir kak Akira gak akan Tiara sekeras ini" gumam Tiara pada dirinya sendiri.

"Non udah non, genjatan senjata saja sama bapak, gak ada untungnya" kata bik Ina berusaha menasehati Tiara.

"Memangnya Tiara lagi perang?"

"Yang bibik lihat begitu"

"Kami bukan perang, Tiara begini hanya untuk memaksa papa membawa kak Akira kembali, coba bayangin kalau bibik dalam posisi Tiara, apa bibik akan diam aja?"

"Itu…."bik Ina akhirnya kehilangan kata-kata karena jika ia dalam posisi Tiara tak akan bisa ia diam saja melihat keretakan keluarganya. Melihat anaknya bercerai saja ia sudah sedih bukan main apalagi melihat keretakan keluarga seperti yang dialami keluarga majikannya. Sebagai pelayan bik Ina satu-satunya pelayan dirumah ini yang mendapat ruang untuk bicara karena ia sudah dianggap seperti keluarga bahkan bagi kedua orangtua Tiara sekalipun.

"Tiara udah selesai sarapan, bibi tolong beresin" kata Tiara bangkit dari kursi sembari meraih tas tangan di sampingnya.

"Non Tiara pulang jam berapa hari ini?"

"Gak tahu bik, kenapa?"

"Nanti biar bibik siapin makanan kesukaannya non"

"Gak usah bik, tar pulang kerja Tiara mau makan malam sama temen-temen, mungkin pulang larut"

"Lagi non?" tanya bik Ina tak habis pikir kenapa majikannya yang satu ini hobi sekali pulang malam tapi sebagai pelayan ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali berusaha menasehati Tiara meski ia tak yakin nasehatnya akan didengar.

"Bibi tenang aja Adit juga ikut kok"

"Jangan terlalu malam ya non"

"Soal itu gak bisa bik, soalnya dah lama kita gak ngumpul, bibik tenang aja, Tiara bakal jaga diri kok"

avataravatar
Next chapter