3 Bagian 2

Ubud, Bali

Langit biru bermandikan mentari dengan hijaunya persawahan menjadi pemandangan pagi itu. Akira Suroso, pemuda berusia 29 tahun itu tampak menikmatinya sembari duduk di teras depan sebuah vila bergaya etnik. Sudah hampir 15 tahun ia tak pernah menginjakkan kakinya di Bali setelah kunjungan terakhirnya dan kini untuk kali pertama ia kembali datang ke pulau dewata ini tapi malah membuatnya merasa kesepian. Sepi karena hanya berteman kenangan tanpa keluarga yang dulu menjadi kemeriahan hidupnya.

Kekayaan berlimpah, paras tampan, dan kesuksesan karier seakan tak ada artinya bagi Akira saat kesunyian harus dihadapinya tatkala ia harus menjalani hidupnya tanpa keluarga. Kesuksesannya sebagai sutradara tak membuatnya mampu mengembalikan apa yang telah hilang dalam hidupnya. Dipelupuk birunya langit ia hanya bisa menelan sepi dan sesal.

Sejak awal Akira sudah mengira keputusannya pergi dari rumah takkan membuatnya jauh lebih baik tapi saat itu emosi benar-benar sudah menguasainya terlebih sang ayah sudah mengusirnya. Harga diri dan karier politik sang ayah benar-benar sedang dipertaruhkan saat itu hingga Akira tak punya pilihan kecuali pergi dari rumah terlebih ia juga sudah muak dengan segala tekanan yang kerap diberikan ayahnya.

Waktu telah berlalu dan tak ada yang bisa diubah kecuali menyesali apa yang sudah terjadi serta menjalani apa yang bisa ia jalani. Kehidupan tanpa kebahagiaan dan rasa hampa meski bermandikan kekayaan seakan menjadi jamuan hari-hrinya sejak saat itu. Seandainya waktu bisa diputar keadaan mampu dikenalikan ia akan mengubah segalanya tapi waktu tak akan pernah mundur meski pun ia menyarah atau melawan keadaan.

"Ternyata benar kau di sini" suara pria mengagetkan Akira yang sedang duduk melamun memikirkan masa lalunya. Mengenali suara itu Akira mendongak dan tepat di hadapan matanya seorang pemuda sedang berdiri menatapnya dengan senyuman lebar.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Akira datar. Ia benar-benar tidak berharap akan bertemu dengan pria di hadapannya itu yang hanya akan membuat hatinya pedih tapi tak ada yang bisa ia lakukan karena dia sudah muncul di hadapannya betapa pun ia tak menginginkannya.

"Jangan bersikap sedingin itu, aku kemari bukan ingin memintamu kembali" kata pemuda itu, Sigit, mantan kekasihnya. Sejak putus kedua mantan kekasih itu tak pernah lagi bertemu, Akira tak pernah berusaha menemuinya dan sama halnya dengan Sigit yang juga tidak berusaha menghubunginya. Tapi kini setelah hampir satu bulan mereka putus tiba-tiba saja tanpa diduga Sigit muncul di hadapan Akira yang benar-benar tak ingin melihatnya lagi.

"Apa yang kau inginkan?"

"Boleh aku duduk?" tanya Sigit menunjuk kursi di samping Akira.

"Terserah"

"Aku tahu kenapa kau ingin putus dariku"

"Apa?" tanya Akira saat mendengar ucapan Sigit. Selama ini ia tak pernah sekali pun mengatakan alasannya putus dengan Sigit dan membiarkannya menebak-nebak. Kini mendengar apa yang dikatakan Sigit membuat Akira terkejut dan heran memikirkan bagaimana mantan kekasihnya itu bisa tahu sementara ia tak pernah mengatakan apa pun padanya karena ia juga tak sanggup mengatakan hal sebenarnya. Namun entah bagaimana Sigit tiba-tiba mengetahui hal itu sementara Akira bahkan tak ingat pernah mengatakannya pada siapa pun.

Jika boleh jujur Akira saat itu mengalami dilemma yang sangat besar. Kenyataan bahwa ia penyuka sesama jenis dan Sigit adalah orang yang cintai membuatnya berat untuk mengambil keputusan mengakhiri hubungan mereka. Terlebih lagi ia meninggalkan rumah juga karena Sigit ketika sang ayah memergoki dirinya bermesraan dengan Sigit yang hari itu adalah awal keretakan di keluarganya. Sang ayah yang malu memiliki anak seorang gay jelas tak terima dengan kenyataan itu dan terus memaksanya meninggalkan Sigit bahkan memaksa Akira hidup seperti anak laki-laki normal lainnya tanpa sekalipun berusaha memahami atau mencari solusi atas masalahnya. Hingga puncaknya Akira tak tahan lagi dan melawan ayahnya yang berujung pada sikap sang ayah mengusirnya. Lantaran emosi dan memberatkan perasaannya terhadap Sigit ia pergi dari rumah tapi kenyataannya ia tak pernah bahagia dengan melakukan semua itu yang akhirnya mengakhiri kisah cintanya dengan Sigit menjadi keputusan finalnya.

"Aku mendengarnya dari Louis" jawab Sigit kemudian.

"Louis?" tanya Akira kaget sekaligus heran kenapa nama teman lamanya itu disebut-sebut, memang Louis tahu apa? Akira bahkan tak pernah mengatakan apa pun soal kehidupan pribadinya pada Louis yang hanya beberapa kali ditemuinya saat ia sedang berada di Itali. Selama bersama Louis ia hanya minum atau kadang makan malam bersama tidak ada pembicaraan pribadi di antara mereka berdua. Louis sama seperti juga Akira dan Sigit, dia seorang gay. Namun berbeda dengan Louis dan Sigit, Akira lebih memilih menyembunyikan bahwa dirinya seorang gay bahkan saat masih tinggal bersama Sigit tak satu pun orang yang menyadari bahwa ia dan Sigit adalah pasangan kekasih bahkan hingga mereka putus. Bagi Akira kenyataan dirinya adalah seorang gay tetaplah aib yang tak sanggup ia buka bahkan di hadapan keluarganya sekalipun.

Ia memang berbeda dengan Louis mau pun Sigit yang bukan dibesarkan dilingkungan keluarga terpandang sepertinya. Sigit, dia besar dan lahir dilingkungan yang sama buruknya dengan lingkungan Louis, sama-sama memiliki ayah yang pernah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya di dalam penjara. Ayah Sigit pernah mendekam di penjara hampir 7 tahun lamanya karena kasus pembunuhan dan tak jauh beda dengan Louis ayahnya bahkan ditembak mati saat melawan petugas yang hendak menangkapnya atas kasus perampokan yang menewaskan lebih dari lima orang karyawan sebuah perusahaan besar di London.

"Saat kau mabuk dia sedang bersamamu dan mendengar semuanya"

"Saat mabuk? mendengar semuanya? apa maksudmu?"

"Kau tidak ingat?"

"Ingat soal apa?"

"Semuanya, apa yang kau katakan ketika kau mabuk"

"Apa?" Akira benar-benar tak mengerti dengan maksud ucapan Sigit apalagi ia tak bisa mengingat apa saja yang pernah ia katakan pada Louis saat dirinya sedang mabuk. Akira memang sering minum dengan Louis bahkan kadang sampai tak sadarkan diri dan membuat Louis harus mengantar pulang karena Akira tak sanggup lagi mengendarai mobil. Tapi meski demikian Louis tak pernah membahas apa yang terjadi saat dirinya sedang mabuk. Louis bahkan tak pernah mengatakan apa yang dibicarakannya saat ia sedang mabuk hingga Akira tak pernah berpikir telah membongkar rahasianya pada Louis. Kali ini Akira baru menyadarinya bahwa ia sudah menelanjangi dirinya sendiri di hadapan Louis yang akhirnya membongkar semua rahasianya pada Sigit. Brengsek kau Louis, maki Akira dalam hati.

"Jangan salahkan Louis, aku yang memaksanya"

"Memaksa?"

"Iya, aku yang memaksa dia mengatakan semua, orang mabuk biasanya sering lepas kontrol dan kupikir sebagai orang yang sering menemanimu minum Louis mungkin sudah mendengar banyak hal yang tanpa sadar keluar dari mulutmu saat kau mabuk, karena itu aku memaksanya bicara, mengatakan apa yang sudah dia dengar saat kau mabuk"

"Untuk apa?"

"Karena aku ingin tahu kenapa kau ingin putus dariku, kita sudah pacaran selama 14 tahun dan tidak mungkin kau mengakhiri hibungan kita hanya karena bosan"

"Sigit, kau…"

"Maaf kalau aku harus melakukan hal seperti ini, aku hanya ingin tahu dan sekarang aku sudah tahu, jadi aku bisa melepasmu dengan rela" ucap Sigit dan mendengar kata-kata dari mantan kekasihnya itu Akira hanya bisa terdiam, ia tidak tahu harus mengatakan apa karena sepertinya Sigit sudah tahu semua yang membuat dirinya mengakhiri kisah cinta mereka. Sebuah alasan yang entah kenapa baru-baru ini saja terpikir olehnya padahal dulu terlintaspun dalam pikirannya tak pernah. "Aku tahu suatu saat kau akan memilih kembali pada mereka dan pergi meninggalkanku, kau tidak sepertiku yang bisa hidup tanpa keluarga, jadi aku selalu siap ketika saat itu tiba" lanjut Sigit yang sejak awal ia sudah tahu bahwa Akira tak pernah benar-benar ingin meninggalkan keluarganya dan suatu saat nanti pasti kembali pada mereka, meninggalkannya meskipun jauh dalam hati ia tetap berat melepas Akira.

"Maafkan aku" kata Akira tak tahu harus mengatakan apa lagi selain maaf karena hanya itu yang bisa ia katakan saat ini.

"Karena itu aku datang kemari, aku ingin membantumu kembali pada keluargamu"

"Kau akan membantuku?"

"Hanya bantuan kecil dan semoga saja ini cukup berguna"

"Bantuan seperti apa?"

"Aku dengar adikmu akan mengadakan fashion show tiga bulan lagi, saat itu ayahmu pasti datang, jadi kenapa tidak sekalian saja kau datang menemui mereka di sana" lanjut Sigit.

"Entahlah" kata Akira bingung karena ia sendiri juga sempat memikirkannya bahkan sempat berpikir untuk mendapatkan undangan acara itu melalui perusahaannya tapi ia urung melakukannya karena ia tak yakin benar-benar bisa menemui keluarganya di sana terlebih sang ayah. Akira terlalu takut untuk bertemu kembali dengan sang ayah dan kembali menimbulkan pertengkaran hebat di antara mereka yang 12 tahun lalu pernah terjadi hingga membuatnya pergi dari rumah. Akira tak ingin mengulang hal itu lagi yang bahkan memikirkannya saja ia sudah sakit bukan main.

"Datanglah, ini hal terakhir yang bisa kulakukan untukmu" kata Sigit menyerahkan sebuah amplop putih bertuliskan Batik Fashion Show di bagian depannya dengan logo merak berwarna emas di bawahnya.

"Kau dapat darimana?"

"Temanku dari Indonesia yang memberikannya, sebenarnya dia ingin aku datang tapi daripada aku sepertinya kau yang lebih perlu datang ke acara ini"

"Sigit aku tak tahu harus mengatakan apa"

"Tidak perlu mengatakan apa pun, aku melakukannya dengan rela"

"Terima kasih" kata Akira

"Hiduplah bahagia karena hanya itu alasanku melepasmu, melihatmu hidup bahagia" kata Sigit sebelum meninggalkan Akira dan demikian kisah mereka benar-benar berakhir. Akira tak tahu apakah ia bisa seperti orang lain yang menjalani kisah cinta normal, jatuh cinta pada wanita bukannya pria namun satu hal pasti baginya, ia tak ingin hidup dengan pasangan laki-laki. Bila ia tak sanggup jatuh cinta dengan wanita mungkin sendiri jauh lebih baik daripada harus hidup dengan laki-laki yang akan menebarkan air kemana-mana saat orang-orang tahu ia seorang penyuka sesama jenis. Satu hal yang paling benar dan menjadi beban terbesarnya adalah adik-adiknya ia tak bisa membayangkan akan seperti apa orang-orang memandang mereka jika ketertarikan Akira kepada sesama jenis sampai diketahui khalayak.

***

Hari sudah siang saat Hariadi Suroso tiba di Istana Negara dan gerimis menghiasi suasana siang hari itu. Para menteri yang diundangnya ke Istana Negara mulai berdatangan. Hariadi Suroso yang sudah hampir 5 tahun menduduki jabatan president memang sering mengadakan rapat evaluasi dengan para menterinya. Itulah mengapa kian hari ia semakin bertambah sibuk hingga jarang berkunjung ke kediaman pribadinya di Kuningan dan tak heran bila ia tak banyak tahu soal apa yang dilakukan kedua buah hatinya di sana. Mereka tidak seperti sang istri yang bersedia tinggal di Istana Negara, kedua buah hatinya itu lebih memilih tetap berada di kediaman pribadinya daripada hidup di Istana Negara tempat tinggalnya selama menjadi president. Kadang ia merasa sedih memikirkannya, ketika kedua buah hatinya justru lebih memilih tinggal di kediaman pribadinya daripada ikut pindah ke istana negara padahal beberapa president sebelumnya tinggal bersama keluarga mereka di sini termasuk juga ayahnya yang dulu pernah 10 tahun menjabat sebagai president. Ia bahkan pernah sempat mengalami hari-hari di mana dirinya hidup di istana negara bersama ayah, ibu, serta saudara-saudaranya. Namun tentu saja yang terjadi pada hidup ayahnya sangat berbeda dengan hidupnya. Sang ayah tak pernah mengalami masa-masa sulit ketika harus menikah dua kali dan menanggung beban memiliki putra yang memiliki ketertarikan pada sesama jenis. Itulah sebabnya mengapa Hariadi Suroso merasa lebih berat menjalani hidupnya daripada sang ayah meski pun sama-sama terjun ke dunia politik. Terlebih lagi ia dulu pernah kehilangan istri pertamanya yang meninggal dalam kecelakaan dan semua itu kian berat harus ia hadapi terlebih saat mengetahui putra sulungnya gay. Ia benar-benar malu dan rasa malu itu telah membuatnya tega mengusir putra kandungnya sendiri, tindakan yang akhirnya membuat sang ayah marah dan menudingnya sebagai ayah yang tak bertanggung jawab karena bertindak tanpa memikirkan akibatnya. Kini ia sudah tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah karena masalah yang dihadapinya jauh lebih rumit darimasa politik dalam negeri yang harus ia selesaikan. Tidak disangka keberhasilannya sebagai politisi tak membuatnya berhasil menjadi kepala keluarga karena ia justru gagal mengarahkan buah hatinya dan itu terbukti kedua buah hatinya melawannya dengan tidak mematuhi keinginannya untuk mengajak mereka tinggal di istana negara. Ia tak tahu dosa apa yang sudah ia lakukan sampai layak menerima hukuman seperti ini dan ketika ia berusaha menjauhkan aib itu dari hidupnya ia malah dimusuhi keluarganya sendiri.

"Pak, putri kita akan mengadakan acara fashion show, bapak datang ya" kata sang istri sebelum Hariadi menemui para mentrinya.

"Ibu saja yang datang, bapak yakin dia tak akan mengharapkan kehadiran bapak"

"Mau sampai kapan kalian akan terus seperti ini, ibu sudah tidak tahan lagi"

"Bapak juga tidak berharap kita seperti ini, tapi apa boleh buat"

"Karier politik bapak benar-benar sudah menghancurkan keluarga kita"

"Bu! Bu!" sekali lagi ia kembali bersitegang dengan sang istri yang memang sejak awal tak begitu mendukung karier politiknya, ia hanya mengikutinya karena kewajibannya sebagai istri tapi sekarang melihat bagaimana anak-anak mereka menjauh membuat sang istri semakin tidak mendukung karier politik Hariadi.

***

"Apa kau akan memakai mereka semua?" tanya Adit pada Tiara yang sedang membaca satu persatu profile para model sementara Adit sibuk membantu menyelipkan foto-foto para model dengan lembaran profile yang sudah selesai dibaca Tiara.

"Ini fashion show besar, aku butuh banyak model untuk memakai semua rancanganku"

"Jadi kau memakai mereka semua?"

"Iya, dan karena itu aku minta bantuanmu sebagai fotografer mereka"

"Aku tahu disini fotografer yang bisa memotret dengan cepat dan hasil terbaik hanya aku tapi masalahnya apa para assitandmu itu sanggup menggurusi para modelmu?"

"Aku tinggal pecat kalau mereka tidak sanggup" jawab Tiara santai dan mendengarnya Adit tercengang, ia benar-benar tak mengerti kenapa kata-kata pecat seakan begitu mudah keluar dari mulut sepupunya itu. Dia seakan tak peduli betapa menakutkannya kata-kata itu ditelinga para pekerjanya.

"Ayahmu president tapi kenapa jiwamu sama sekali tidak merakyat"

"Aku hanya berusaha bersikap professional"

"Profesional dengan memecat orang-orangmu?"

"Banyak sekali pengangguran di luar sana dan tidak sedikit mereka orang-orang berbakat, jadi untuk apa aku mempertahankan orang-orang yang tidak berbakat di perusahaanku sementara aku bahkan bisa mendapatkan penganti yang jauh lebih baik dari mereka"

"Astaga…pemikiranmu menakutkan"

Tiba-tiba ponsel Tiara berdering menyela pembicaraan mereka. Tiara menoleh sejenak menatap layar ponselnya dan tulisan "mama" terlihat di layar ponselnya. Tapi bukannya menjawab ia malah merejectnya. Sudah beberapa kali dalam sehari ini Tiara mendapat telephone dari ibunya yang tak sekali pun dijawabnya bahkan wa atau sms dari sang ibunda juga tidak ia balas. Tiara sedang tidak ingin bicara dengan ibunya yang hanya akan membuat suasana hatinya memburuk sementara ia butuh ketenangan setidaknya sampai acara fashion shownya usai.

"Ini sudah delapan kalinya kau menolak panggilan di ponselmju, memangnya siapa yang menelphone?" kata Adit yang sepertinya menyadari betapa seringnya ponsel Tiara berdering tapi tak pernah sekali pun dijawabnya.

"Sudah jam 2, ayo ke aula, mereka pasti sudah datang" kata Tiara tak menjawab pertanyaan Adit dan justru beranjak bangkit dari kursi.

"Kau ini…"

avataravatar
Next chapter