15 Bagian 14

"Ayah baru pulang?" tanya Raka pada sang ayah yang sedang duduk di kamarnya. Sudah hampir seminggu ayahnya tak pernah pulang dan selama itu ia tak pernah sekalipun berhasil menghubungi ayahnya. Ayahnya memang bukan pergi diam-diam dan saat pergi seminggu lalu sang ayah berpamitan untuk lembur di kantor tapi tetap saja lembur selama itu, tanpa pulang maupun memberi kabar serasa aneh bagi Raka. Tapi meski demikian Raka tak bisa mencurigai sang ayah melakukan sesuatu yang tidak benar di luar sana sementara ia tahu persis ayahnya bukan pria yang akan menghabiskan waktu selama itu untuk berbuat "nakal" karena saat pulang sang ayah membawa uang cukup banyak dan cukup membuktikan ayahnya benar-benar kerja lembur.

"Ini memang tidak banyak tapi cukup untuk keperluan kita dua bulan kedepan" kata sang ayah sembari menunjuk lembaran uang ratusan ribu di hadapannya.

"Ayah tidak perlu kerja lembur lagi" kata Raka sembari memasukkan kembali lembaran uang di meja sang ayah ke dalam amplop.

"Apa maksudmu?"

"Raka baru dapat kontrak, nilainya lumayan, lebih dari cukup untuk mencukupi segala kebutuhan kita"

"Apa?"

"Ayah tahu Akira Mode?" tanya Raka sembari duduk di hadapan sang ayah dan mulai menceritakan apa saja yang sudah terjadi selama ayahnya pergi termasuk pekerjaan bagus yang ia dapatkan kembali saat ayahnya tidak ada di rumah. Mendengarnya sang ayah tentu saja terkejut, sudah lama ia tak mendengar putranya mendapat kontrak dari perusahaan besar saat skandal mantan istrinya terkuak dan menguncang hebat karier model putranya itu.

"Bagaimana kau mendapatkan kontrak dari mereka?"

"Adit yang membantuku, sepupunya adalah pemilik perusahaan besar itu"

"Adit…temanmu yang fotografer itu?" kata sang ayah dan tentu saja nama Adit tidaklah asing bagi ayah Raka yang sejak dulu sudah mengenal sahabat baik Raka itu bahkan sang ayah juga sering bertemu Adit saat Adit datang berkunjung ke rumah.

"Dia menyelipkan fotoku di antara foto para model yang dia kirimkan"

"Dan sepupunya memilihmu"

"Iya dan memasangkanku dengan model utama" jelas Raka dan mendengarnya wajah bahagia tergambar di wajah sang ayah. Raka senang melihatnya, sudah lama sekali tak lagi melihat kebahagiaan di wajah sang ayah yang lenyap tatkala sang ibunda mengkhianatinya. "Jadi ayah…jangan lagi kerja lembur, segala kebutuhan biar Raka yang bantu" "Raka…"

"Penghasilan Raka sebagai model lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kita, bahkan jika perlu ayah bisa berhenti dari pekerjaan ayah dan membangun kembali usaha ayah yang dulu"

"Apa itu mungkin?"

"Sangat mungkin, tapi Raka tak akan memaksa jika ayah tidak ingin, lakukan apapun yang ayah inginkan, Raka akan mendukung ayah" kata Raka dan mendengar kata-kata buah hatinya itu Dadang Mahardika tersenyum. Ia sangat bersyukur setelah semua yang dialaminya selama ini termasuk pengkhianatan menyakitkan mantan istrinya ia masih bisa diberi kebahagiaan melalui kedua buah hatinya yang berbakti.

"Dan wanita di taman tadi? siapa dia? sepertinya ayah pernah melihatnya" tanya Dadang yang teringat dengan wanita muda saat tiba di rumahnya dan ia merasa tak asing dengan wanita itu meski ia tak ingat kapan pernah melihatnya.

"Dia tetangga kakek di desa dan sudah hampir seminggu ini dia bekerja di sini,"

"Tetangga kakekmu di desa?"

"Iya, namanya Neneng, yang tinggal di depan rumah kakek"

"Neneng anaknya buruh tani yang menggarap sawah kakekmu?"

"Iya dan sepertinya dia lumayan bisa mengurus rumah, dia juga bisa menjaga Rani dengan baik" jelas Raka menjelaskan apa saja yang sudah dilakukan Neneng selama hampir seminggu ini dan sangat membantu Raka. Dia juga cukup bagus mengurus rumah bahkan dia tahu bagaimana menghadapi Rani yang rewel dan super bawel hingga adiknya itu tidak lagi protes dengan keberadaan Neneng yang pandai mengambil hati adiknya.

"Ayah minta maaf gara-gara bercerai dengan ibumu tanggung jawab menjaga Rani harus kau yang mengurusnya sampai meminta bantuan orang lain"

"Tidak apa-apa, Raka tidak keberatan, lagi pula kita juga jauh lebih baik tanpa ibu"

***

"Jangan meremehkan kesehatan, sehat itu mahal" kata Unggul saat ia mendengar rencana Tiara kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan dan juga janji keponakannya untuk sering-sering datang mengunjunginya setelah selesai bekerja.

"Iya, Tiara tahu, Tiara akan banyak istirahat dan jaga kesehatan," kata Tiara menanggapi nasehat bijak sang paman dan mendengarnya Ruby yang sedang berada di kanar itu hanya tersenyum. Ia tak habis pikir Tiara yang begitu pembangkan pada sang ayah bisa begitu penurut pada pamannya.

"Anak baik…" kata sang paman sembari membelai lembut pipi Tiara dan melihatnya Ruby diam memandang kehangatan mereka. Mereka terlihat seperti ayah dan anak sungguhan, hal yang berbeda dari yang disaksikannya ketika melihat Tiara sedang bersama ayahnya yang justru terlihat seperti dua orang asing. Jujur saja Ruby sangat sedih memikirkan hal itu, sang ayah yang merupakan ayah kandung adiknya justru terlihat seperti orang asing di mata adik kandungnya sendiri bahkan juga di matanya.

Kalau saja papa bisa seperti paman, mungkin keadaan akan sangat berbeda, pikir Ruby sembari menatap adik dan pamannya yang saling berpelukan. Ini bukan kali pertama Ruby melihat kedekatan adiknya dengan sang paman, bahkan saat datang berkunjung ke Paris ketika Tiara masih tinggal di kota mode itu ia juga sudah melihat kedekatan mereka yang tak ubahnya seperti ayah dan anak hal yang sudah tak dilihatnya antara Tiara dan ayahnya. Dulu saat ayahnya saat belum menduduki jabatan politik apapun mereka juga sangat dekat. Sang ayah bahkan menjadi teman bermain Tiara selain dirinya dan kakak sulungnya. Saat itu benar-benar menyenangkan, ada banyak waktu yang bisa dihabiskan sang ayah bersama Tiara, sang kakak mau pun dirinya. Segalanya terasa indah saat itu sampai sang ayah duduk di jabatan politik sebagai ketua partai, perlahan tapi pasti jarak pun tercipta di antara mereka hingga puncaknya saat sang ayah mengusir kakak sulungnya. Dalam sekejap segalanya berubah, termasuk sikap Tiara, dirinya pada sang ayah yang tak bisa lagi bersikap seperti dulu ketika ayah mereka belum berubah.

"Oke, jalan dulu ya"

"Hati-hati di jalan, Ruby jaga adikmu"

"Iya paman tidak perlu khawatir"

"Daaaa paman" kata Tiara berpamitan dan Ruby juga.

Tak lama setelah mereka pergi meninggalkan kamar sang paman, dua orang polisi datang ke kamar Unggul. Sempat Tiara menoleh ke arah mereka tapi hanya sekilas sebelum akhirnya kembali mengikuti Ruby yang berjalan di depannya.

"Akhir-akhir ini Tiara jadi sering melihat polisi"

"Wajar saja, paman itu korban kecelakaan yang hampir saja tewas"

"Bukan karena itu" gumam Tiara.

"Apa maksudmu?"

"Bukan apa-apa, ayo jalan" kata Tiara tak ingin menjelaskan lebih panjang tentang apa yang sempat ia dengar dari pembicaraan sang paman dan tiga polisi yang datang dua hari lalu.

"Tiara, kau tidak menyembunyikan apapun darikukan?"

avataravatar
Next chapter