14 Bagian 13

Tiara benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kecelakaan itu adalah percobaan pembunuhan pada pamannya, ini benar-benar tak masuk akal. Selama ini yang ia tahu pamannya adalah seorang dosen dan bukannya mantan polisi. Tiara tak mengerti kenapa ia yang merupakan orang terdekat pamannya sampai tak tahu hal seperti ini bahkan sang paman juga tak pernah mengatakannya padahal mereka sudah banyak menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita tapi tidak sekalipun pamannya pernah menceritakan hal ini.

Tiara tak tahu apa yang harus ia pikirkan saat mendengar semua ini dan dengan segala kebingungan yang dialaminya ia berjalan menuju arah taman yang berada tak jauh dari kamar pamannya. Ia tak mungkin bisa kembali menemui sang paman dalam perasaan sekacau ini. Sambil memegangi dadanya yang terasa berdebar kencang Tiara duduk di bangku taman di bawah pohon berdaun merah sambil berusaha mengatur nafasnya. Tiara tak ingin jatuh pingsan lagi dan membuatnya harus kembali tak sadarkan diri selama empat hari yang baru dialaminya yang bisa jadi akan membuat pamannya cemas.

"Terjadi sesuatu?" suara pria menyentak kaget Tiara yang sedang berusaha menenangkan perasaannya dan mendengar suara itu Tiara sontak menoleh. Betapa terkejutnya ia saat melihat si bule yang beberapa hari lalu sempat ditemuinya di café es cream langganannya. Entah apa yang dilakukan bule itu dan lebih mengherankan lagi dia berbicara padanya seolah mereka adalah teman lama padahal Tiara baru sekali bertemu dengannya.

"Kau…pria di cafe tempo hari itukan? sedang apa kau di sini?"

"Menjenguk seseorang" jawab pria itu.

"Oh" kata Tiara dan lagi-lagi ia kembali terdiam. Sebenarnya ia penasaran siapa yang ingin dijenguk pria itu tapi pikirannya saat ini membuatnya tak ingin memikirkan hal lain apalagi tentang pria asing yang bukan apa-apanya.

"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu.

"Iya" kata Tiara sembari menatap bule tampan di sampingnya itu dan entah mengapa melihat mata biru yang bersinar lembut itu membuat perasaannya tenang. Tiara tak tahu kapan ia bisa merasa setenang ini hanya karena menatap mata seseorang yang bahkan belum ia ketahui namanya. "Ini kedua kalinya kita bertemu tapi aku belum tahu namamu"

"Namaku?"

"Iya"

"Aku…"

"Tiara" panggil Daniel yang mendadak muncul dan menyela pembicaraan mereka.

"Daniel?"

"Sepertinya sudah ada yang menemanimu dan kurasa kehadiranku tidak dibutuhkan di sini, aku permisi dulu" kata bule itu berlalu pergi dan Tiara belum sempat mendengar pria itu menyebutkan namanya tapi kehadiran Daniel sudah mencegahnya.

"Tepat waktu Daniel"kata Tiara kesal.

"Kenapa?"

"Aku baru mau kenalan dengannya kau sudah muncul dan membuatnya pergi"

"Di rumah sakit kau masih juga sempat mau kendalan dengan cowok?"

"Memang kenapa? dia ganteng"

"Kau benar-benar ya, aku kemari karena mencemaskanmu tapi kau malah asik mencari teman kencan"

"Aku bukan mencari dia sendiri yang mendatangiku"

***

Raka tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, kenapa perasaan aneh ini bisa muncul hanya karena melihat Tiara berdua dengan pria asing itu padahal mereka tak melakukan apa pun, hanya duduk berdua, sambil berbicara.

"Sedang apa di sini? kamar Tiara di sana" suara Adit menyentak kaget Raka yang sedang terdiam memandang ke arah taman tempat Tiara yang sekarang sudah bersama Daniel. Beberapa saat lalu pria asing itu pergi dan entah mengapa ia agak lega dengan kehadirna Daniel yang berhasil mengusir si bule.

"Kapan kalian datang?" kata Tiara saat akhirnya tiba di dekat Raka dan Adit.

"Kau baru sembuhkan? kenapa sudah keluar kamar?" tanya Adit mengikuti Tiara yang berjalan memasuki kamarnya dan tampak sudah sehat.

"Aku hanya pingsan, yang kecelakaan itu pamanku bukannya aku, lagian beberapa jam lagi statusku sebagai pasien akan dicabut" jawab Tiara datar sembari duduk di sofa yang ada di samping ranjangnya. Sikapnya sungguh tak seperti pasien, kembali ke kamarnya bukannya berbaring ia malah duduk di sofa.

"Kau sudah boleh pulang"

"Sudah"

"Serius?"

"Iiih dibilangin gak percaya banget"

"Untukmu" kata Raka menyodorkan tas karton yang ada di tangannya pada Tiara.

"Coklat?" kata Tiara saat melihat isi tas imut itu dan tampak seperti pemberian seorang kekasih. "Romantis sekali" lanjutnya sembari menatap Raka.

"Romantis?" tanya Raka heran tak mengerti apa hubungannya coklat yang ia berikan dengan kata romantis yang diucapkan Tiara. Ia memberikan coklat itu karena sepertinya Tiara suka coklat. Beberapa kali saat rapat, atau ketika sedang santai Tiara tak pernah lepas dari minuman atau cemilan berbahan coklat. Raka diam-diam sering mengamatinya meski Tiara tak pernah menyadarinya.

"Aku sering menerima hadiah coklat dari pria yang pernah berkencan denganku"

"Tapi aku bukan teman kencanmu" nada bicara Raka tiba-tiba terdengar kasar dan mendengarnya Tiara mengangkat tangan seperti penjahat yang sedang ditodong pistol oleh polisi hanya saja bibir gadis itu tersenyum. Namun melihat senyuman itu membuat Raka justru tak senang, ia tak sama dengan pria manapun yang pernah dikencani Tiara dan ia tak ingin disamakan dengan siapa pun, ia berbeda.

"Jangan marah, aku hanya bercanda, lagi pula mana berani aku mengencani sahabat baik sepupuku, tapi bagaimanapun terima kasih, kuanggap ini hadiah dari seorang teman"

"Terserah" kata Raka berlalu pergi dan melihatnya sikapnya Tiara benar-benar bingung, entah apa yang salah dengan Raka.

"Apa aku melakukan sesuatu? dia kelihatan marah" kata Tiara pada Adit yanga hanya tersenyum mendengarnya. "Dia bukan cemburu karena melihatku dengan pria itukan?" tanya Tiara yang beberapa saat lalu sempat melihat Raka memandang ke arahnya saat ia sedang berbincang dengan si bule tapi tentu saja Adit tak menyadarinya.

"Pria itu siapa?" tanya Adit bingung.

"Tadi aku ketemu si bule yang di café waktu aku lagi kencan, kayaknya sih Raka sempat liat aku ngobrol sama bule itu"

"Tiara, kau akan terus begini?" tanya Adit yang benar-benar tak tahan karena rasanya sepupunya itu makin lama terlihat seperti murahan bagaimana bisa dia begitu mudahnya berkenalanan dengan pria manapun tanpa lihat situasi.

"Oh ya bagaimana keadaan kantor?" tanya Tiara yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Adit malah bicara soal kantor.

"Gedungnya masih berdiri kokoh" jawab Adit dengan nada kesal.

"Aku tidak tanya gedungnya, gedung itu tidak akan roboh sekalipun aku pingsan selama sebulan, yang aku tanya bagaimana keadaan kantor, apa baik-baik saja, ada masalah karena aku tidak menghadiri rapat dan pertemuan dengan para klien?" kata Tiara sembari tertawa seolah tak menyadari suasana hati Adit yang sedang jengkel tapi ia tak khawatir Adit bukan tipe orang yang menyimpan perasaan jengkelnya dalam waktu lama.

"Semuanya baik, kau tidak perlu khawatir, Daniel sudah mengurus semuanya"

"Tapi aku masih tidak tenang" kata Tiara memikirkan pekerjaan di kantornya yang pasti sekarang ditangani oleh Daniel lantaran dirinya tak bisa datang ke kantor selama empat hari ini, itu benar-benar membuat Tiara khawatir.

"Jangan pikirkan pekerjaan, aku akan urus semuanya" kata Daniel yang akhirnya muncul setelah sempat pergi karena urusan "belakang" yang tadi sempat dikatakannya hingga membuat Tiara kembali ke kamarnya seorang diri.

"Baiklah, tapi tolong bawakan…"

"Tidak" tegas Daniel yang sudah tahu apa yang akan diminta atasannya itu dan tidak lain pasti akan memintanya membawakan beberapa pekerjaannya ke rumah sakit.

"Aku belum bicara apa-apa"

"Aku tahu apa yang akan kau minta, kau akan memintaku membawakan pekerjaanmu kemarikan?"

"Kau bisa membaca pikiranku?" tanya Tiara kaget dan sama sekali tak mengira Daniel bisa menebak dengan tepat isi pikirannya.

"Aku sangat mengenalmu"

"Kau mengerikan"

"Istirahatlah, urusan kantor biar aku yang urus, kalau ada masalah Adit akan membantuku, ok?"

avataravatar
Next chapter