13 Bagian 12

Entah mimpi atau halusinasi Tiara merasa sepertinya ia mendengar seseorang memanggil namanya dengan cara yang sama persis seperti kakak sulungnya. Tapi Tiara tak bisa bergerak mau pun membuka matanya, hingga ia tak bisa melihat atau memastikan siapa yang memanggil namanya dengan cara seperti kakak sulungnya itu. Ia hanya bisa mendengar suara itu memanggil namanya bersama sentuhan lembut yang menyentuh lengan dan perlahan Tiara membuka matanya. Tapi kedua matanya justru menatap Ruby yang tampak cemas menatapnya dan sungguh suarayang tadi didengarnya bukan suara Ruby.

"Akhirnya kau sadar, kakak benar-benar khawatir" kata Ruby sembari membelai lembut puncak kepala Tiara.

"Tiara di mana?" tanya Tiara bingung saat melihat interior ruangan itu yang sepertinya sangat berbeda dengan kamarnya.

"Di rumah sakit"

"Apa?" tanya Tiara kaget dan seketika berusaha bangkit tapi tiba-tiba gerakannya terhenti saat ia melihat sebuah selang yang terhubung dengan botol infus terarah pada pergelangan tangannya. Seketika Tiara menatap ke arah pergelangan tangan kakaknya dan sebuah jatuh infus menancap di sana.

"Sudah empat hari kau pingsan"

"Aku pingsan? empat hari?" tanya Tiara kaget sama sekali tak mengira dirinya pingsan selama itu. "Apa yang terjadi?" gumam Tiara mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan dan seketika ingatan itu muncul membuat perasan bingungnya lenyap berganti perasaan panik saat teringat tentang sang paman yang sedang kritis pasca kecelakaan yang dialaminya.

"Kau tiba-tiba pingsan dan beberapa hari ini kau tidak sadarkan diri" kata Ruby yang jujur saja ia sangat terkejut kalau pingsannya Tiara akan membuatnya harus menunggui adiknya itu selama empat hari padahal ia pikir Tiara hanya pingsan karena shock.

"Paman…" kata Tiara berusaha bangkit dari ranjang saat teringat tentang pamannya.

"Tenang, paman baik-baik saja"

"Baik-baik saja?" tanya Tiara kaget.

"Tiga hari lalu paman sadar dan sudah sejak pagi tadi paman ribut ingin pulang"

"Tiara ingin ketemu paman"

"Tapi kau baru…"

"Kak…Tiara pingin ketemu paman"

***

Sementara itu di kamarnya Unggul Suroso terlihat bersandar di ranjangnya dengan wajah bosan sembari menatap keluar jendela. Sudah sejak pagi ia memaksa ingin segera pulang tapi dokter dan para suster sepertinya kompak untuk melarangnya pulang dengan alasan lukanya belum kering juga beragam alasan lain. Parahnya lagi kedua adik kembarnya juga mendukung larangan dokter benar-benar membuatnya kesal.

"Paman?" suara Tiara seketika menarik perhatian Unggul yang langsung menoleh ke arah pintu dan melihatnya ia terkejut. Seingatnya keponakannya itu sudah empat hari tidak sadarkan diri dan kini tiba-tiba muncul di kamarnya.

"Tiara..." ucapan Unggul terhenti seketika saat Tiara tiba-tiba menghampirinya dengan kursi roda yang di dorong oleh Raka ke arahnya.

"Paman udah baikan?" tanya Tiara begitu sampai di dekatnya.

"Harusnya paman yang bertanya seperti itu, kau empat hari tidak sadarkan diri lebih lama dari pamanmu yang mengalami kecelakaan ini" kata Unggul yang sebenarnya ingin mengunjungi Tiara saat mendengar gadis itu pingsan karena shock mengetahui apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu. Tapi ia tak bisa melakukannya ketika para petugas medis melarangnya meninggalkan kamar dan didukung oleh adik-adiknya.

"Tiara gak apap-apa, terus paman gimana?"

"Paman sudah tidak apa-apa, hanya belum diijinkan pulang saja" kata sang paman tersenyum menatap Tiara dan tiba-tiba ia teringat niatnya menyantap apel merah yang sejak tadi diinginkannya tapi karena malas ia jadi harus menahan diri sampai seseorang datang untuk membantunya. Adik atau keponakannya yang lain tidak bisa disuruh-suruh dan memerintah pengawal untuk melakukannya sama sekali bukan ide bagus. Mereka bukan akan memberinya apel dengan potongan bagus malah bisa-bisa mereka hanya akan menyerahkan sebuah apel dalam wujud mengerikan karena para pengawal itu hanya bisa memukuli orang bukan membentuk potongan indah untuk disajikan padanya tidak seperti Tiara. Kini keberadaan Tiara memberinya ide.

"Apa?" tanya Tiara bingung saat melihat senyum lebar pamannya.

"Pamanmu ini sedang sakit dan harusnya kau membantu pria lemah sepertiku" kata sang paman menatap ke arah apel merah di atas meja.

"Yang sakitkan kepala paman kenapa tangan paman yang tidak bisa bergerak" kata Tiara saat memahami maksud pamannya dan betapa pun ia menyayangi pamannya tapi gadis itu jarang mau disuruh. Tiara memang bukan orang yang suka disuruh tapi sebaliknya gadis itu lebih suka menyuruh orang daripada disuruh.

"Ayolah, tubuh paman sedang pegal-pegal" bujuk Unggul yang meskipun ia tahu Tiara tak akan dengan mudah menyetujui permintaannya tapi ia tak peduli, hari ini ia sedang ingin sedikit bermanja dengan keponakannya yang sangat ia rindukan itu. Apalagi ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan keponakananya itu dan seperti biasanya ia selalu mengobrol dengan keponakannya sambil menyantap makanan untuk mencairkan suasana.

"Iya-iya Tiara kupasin" akhirnya Tiara setuju.

"Anak baik" kata Unggul sembari menepuk pelan pipi Tiara.

"Permisi, boleh kami menganggu sebentar?"

Tiara menoleh seketika mendengar suara bernada rendah itu dan tiga orang pria berseragam polisi berdiri di dekat pintu.

"Polisi?" kata Tiara menatap sang paman.

"Silahkan masuk" kata Unggul mempersilahkan ketiga polisi itu.

"Apa yang mereka lakukan di sini? paman tidak terlibat kriminalkan?" tanya Tiara dan mendengarnya Unggul tertawa. Ia sungguh tak menyangka keponakannya itu bisa berpikir dirinya terlibat kriminal padahal dalam kasus kecelakaan yang terjadi ia adalah korban bukannya pelaku penabrakan.

"Mana mungkin pamanmu yang tampan ini terlibat kriminal, memangnya paman ada tampang kriminal?"

"Terus kenapa polisi kemari?"

"Tiara keluar dulu ya, nanti paman jelaskan" pinta sang paman.

"Tapi…"

"Apelnya kupaskan nanti saja, ada yang perlu paman bicarakan dengan mereka" pinta sang paman dan mendengar permintaan pamannya Tiara menurut sembari meletakkan apel di meja sang paman kemudian berlalu pergi.

Tidak, aku harus tahu untuk apa mereka kemari, pikir Tiara sekeluarnya ia dari kamar inap sang paman dan untuk kali pertama dirinya benar-benar melakukan tindakan terlarang itu, menguping pembicaraan orangtua. Tapi rasa penasaran membuat Tiara tak bisa menahan diri dan diam-diam menguping pembicaraan sang paman dengan ketiga polisi itu.

"Ada yang ingin kami tanyakan, ini berhubungan dengan kecelakaan yang menimpa anda" salah seorang polisi yang duduk di samping Unggul mulai mengajukan pertanyaan.

"Tanyakan saja"

"Dulu saat anda bekerja sebagai polisi, apa anda pernah melakukan penyergapan terhadap seorang bandar narkotika?" tanya salah seorang polisi itu dan mendengarnya Unggul benar-benar terkejut. Sudah lama sekali tak ada yang mengungkit profesi lamanya apalagi soal kasus bandar narkoba yang pernah di tanganinya tapi itu sudah lama sekali. Kejadiannya bertahun-tahun lalu saat masih berusia sekitar tiga puluhan dan Unggul hampir tak pernah memikirkannya lagi.

"Kalian kemari ingin menanyakan soal itu?"

"Ini berkaitan dengan pelaku"

"Pelaku?"

"Beberapa saksi mata di lokasi kejadian mengatakan mobil jep yang menabrak anda sengaja melawan arah dan menabrakkan body depannya ke mobil anda, besar kemungkinan ini disengaja"

"Maksud kalian ada yang berniat membunuhku?"

"Sejauh ini hanya berupa dugaan"

"Lalu apa hubungannya kecelakaan yang kualami dengan profesi lamaku?"

"Salah seorang pengawal pribadi pak president yang menangkapnya mengatakan kalau orang itu hanya orang suruhan dan orang yang menyuruhnya adalah adik dari bandar narkoba yang tewas saat penyergapan ketika anda melakukan penangkapan beberapa tahun lalu, kami menduga ini semacam balas dendam"

"Balas dendam? maksud kalian dia berniat membunuhku untuk balas dendam? tapi itu sudah lama sekali ketika aku masih menjadi polisi"

"Dendam tak akan hilang meski waktu telah lama berlalu, taapi itu baru dugaan, belum bisa dipastikan kebenarannya"

"Tapi kenapa?"

"Mungkin karena anda membunuhnya?"

"Sebaiknya kalian cari tahu informasi yang benar dari atasan kalian sebelum kalian menyimpulkan sesuatu" kata Unggul kesal karena dituduh sudah membunuh bandar narkoba itu, padahal kematian bandar itu bukan atas perbuatannya, ia bahkan tidak benar-benar menarik pelatuknya tapi bandar itu sudah jatuh tertembak dan tak lain dari peluru anak buahnya hingga akhirnya karena ketidak becusannya memimpin anak buahnya ia harus menerima nasib diberhentikan dari kesatuannya dan membuatnya terpaksa melepas seragam polisinya.

"Maaf, kami…"

"Keluar dari kamarku"

"Tapi ada yang masih…"

"Apa aku harus berteriak baru kalian akan keluar?"

"Baik, kami akan keluar, permisi"

avataravatar
Next chapter