20 Gentar dan Lian Mei

Gentar mulai tersulut amarahnya, dengan suara keras ia membentak wanita tersebut, "Kalau kau tidak mau menghentikan serangan ini. Maka, aku akan bertindak kejam terhadapmu!"

"Persetan dengan perkataanmu!" Pendekar wanita itu balas membentak, dan kembali menyabetkan pedang secara membabi-buta ke arah Gentar.

Tanpa basa-basi lagi, Gentar langsung menghunus pedangnya. Mendadak sinar kuning keemasan berkilauan dalam pandangan pendekar wanita itu.

Gentar sudah memegang pedang pusaka Almaliki. Dengan demikian, Gentar langsung memainkan jurus pedang andalannya dalam melakukan serangkaian serangan balasan terhadap wanita sombong itu.

Seketika alur serangan yang dilancarkan oleh pendekar wanita itu mulai kendor, tidak seganas seperti sebelumnya. Gentar memanfaatkan situasi tersebut, ia terus menggencarkan serangan. Sehingga pendekar wanita itu mulai terdesak.

Satu pukulan keras tepat mengenai wajah wanita itu. Akan tetapi, Gentar merasa menyesal karena sudah memukul seorang wanita. Lantas, ia pun segera mundur dan menghentikan serangannya.

"Maafkan aku, tidak ada niat aku memukulmu. Di antara kita tidak ada permusuhan, kau sudah salah paham, dan sudah memfitnahku," kata Gentar berdiri jauh dari arah wanita itu.

Melihat sikap Gentar yang sangat menyesali perbuatannya karena sudah melakukan pemukulan. Maka, wanita itu mulai meredam emosi dalam dirinya.

"Pendekar! Namamu siapa?" tanya wanita itu.

"Aku Gentar Almaliki, aku lahir di kota ini dan dibesarkan di kota ini juga. Namun, aku baru saja kembali dari perkelanaan," jawab Gentar.

Wanita itu sedikit melangkah mendekati Gentar. Kemudian, ia bertanya lagi, "Yakin kalau kau tidak mempunyai musuh di kota ini?"

"Aku baru saja kembali ke kota ini dan baru muncul di rimba persilatan, mana mungkin aku mempunyai musuh. Sedangkan aku tidak pernah melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan," jawab Gentar, tampak keningnya mengerut seakan-akan ia bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya.

"Pernahkah kau berpikir ada sesuatu yang mencurigakan dari persoalan yang kau hadapi?" Wanita itu bertanya lagi sambil menatap tajam wajah Gentar.

Gentar menghela napas dalam-dalam. Kemudian menjawab lirih pertanyaan wanita tersebut, "Yah, aku memang berpikir demikian. Aku curiga ada sesuatu, namun setiap kali aku mencoba untuk mencari keterangan kepada orang-orang di kota ini. Tapi sia-sia, mereka tak ada satu pun yang mau memberi tahuku."

"Sebaiknya kau hati-hati dan waspada terhadap orang-orang di kota ini. Aku mohon maaf sudah mencurigaimu!" kata Wanita itu tersenyum menatap wajah Gentar.

Gentar pun balas tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lantas berkata, "Terima kasih banyak karena kau sudah mempercayai penjelasanku. Mohon maaf sebelumnya, namamu siapa?"

Senyuman manisnya tampak lekat mewarnai keindahan bentuk wajahnya. Dengan lirihnya, ia menjawab, "Panggil saja Dewi Rara Sati! Kau jangan bertanya bagaimana aku bisa mengenali Ki Ageng Raksanagara, kelak kau akan tahu sendiri!" pintanya.

Setelah itu, Dewi Rara Sati langsung pamit kepada Gentar. Dalam sekejap mata, ia sudah menghilang dari pandangan Gentar.

"Dewi Rara Sati? Nama yang indah seindah wajahnya," desis Gentar bergumam sendiri.

Gentar pun merasa bingung dari mana Dewi Rara Sati berasal? Sehingga ia mengenali Ki Ageng Raksanagara.

Setelah itu, Gentar langsung membalikkan badan dan kembali melangkah menuju pulang ke arah penginapan.

Dalam perjalanan, ia terus berkata-kata sendiri, "Aku harus harus tinggal di pinggiran kota ini, tidak seharusnya aku bertahan lama di rumah penginapan," bisik Gentar sambil terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan utama kota Ponti.

Setibanya di pintu gerbang rumah penginapan, Gentar sudah disambut oleh senyuman manis gadis cantik berkulit putih. Gadis itu adalah Lian Mei yang wajahnya sangat mirip dengan Gentar.

"Gentar, kamu ke mana saja?" sambut Lian Mei tampak semringah melihat kedatangan Gentar.

"Kita duduk saja dulu di teras. Nanti aku ceritakan semua!" jawab Gentar langsung mengajak Lian Mei untuk segera duduk di teras rumah penginapan itu.

Tanpa banyak bicara, Lian Mei langsung berjalan mengikuti langkah Gentar menuju teras rumah. Mereka langsung duduk di atas kursi yang ada di beranda rumah tersebut.

Setelah duduk, Gentar pun langsung menceritakan apa yang sudah terjadi pada dirinya.

"Aku beritahu kamu, hidup di kota Ponti ini kehidupannya keras. Jika kau menemukan pendekar angkuh dan jumawa, sebaiknya jangan kau dekati mereka!" ujar Lian Mei di sela perbincangannya dengan Gentar.

"Aku tahu itu, tapi agamaku melarang jika umatnya berlaku sombong terhadap orang sombong," jawab Gentar.

"Kau ini keras kepala. Kau tahu sendiri, mereka pun menjalankan hidup penuh kesewenang-wenangan! Kenapa kau harus bersikap baik terhadap mereka?"

Mendengar ucapan Lian Mei, Gentar hanya diam. Namun, ia terus berpikir di dalam hatinya, bagaimana caranya agar terlepas dari persoalan yang sedang dihadapinya.

"Kau harus jaga jarak dengan para pendekar di kota ini!" kata Lian Mei.

Gentar mengerutkan keningnya, ia merasa tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Lian Mei. "Maksudmu?" Gentar bertanya lagi.

Lian Mei hanya tersenyum tanpa memberi tahukan alasan perkataan yang terlontar dari mulutnya, Gentar pun tidak terlalu banyak bertanya. Ia hanya diam ketika tidak mendapatkan jawaban dari Lian Mei.

Melihat sikap diam yang ditunjukkan oleh Gentar, Lian Mei hanya tersenyum, kemudian mengalihkan pembicaraan kepada persoalan lain.

"Kau yakin, kembali ke sini bukan untuk membalas dendam?" tanya Lian Mei memandang lekat wajah Gentar.

"Aku kembali ke kota ini, Karena aku masih penasaran dengan keberadaan ayahku. Meskipun guruku pernah bilang, kalau ayahku sudah meninggal," jawab Gentar lirih, air mukanya berubah menjadi mendung.

"Selain itu, tidak ada lagi?" Gadis cantik itu kembali bertanya tak hentinya memandangi wajah Gentar.

Gentar menghela napas dalam-dalam, bola matanya bergulir balas memandang wajah Lian Mei. "Aku mendapatkan tugas dari guruku, untuk menyerahkan keris pusaka kepada Sri Wulandari.

"Maksudmu pendekar Iblis Merah?" Lian Mei semakin penasaran dan mulai dirasuki rasa keingintahuannya.

"Benar, dia pendekar Iblis Merah," jawab Gentar.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Lian Mei kembali melanjutkan pertanyaannya, "Lantas, keris pusaka itu memang benar milik Sri Wulandari?"

"Keris pusaka itu merupakan benda kuno milik nenek moyang Sri Wulandari. Jika aku tidak menyerahkan keris tersebut, maka kejahatan akan terus ia perbuat. Oleh sebab itu guruku memerintahkan aku untuk mengantarkan benda pusaka tersebut," tutur Gentar menjawab pertanyaan dari gadis cantik bermata sipit itu.

Raut wajah Lian Mei berubah mendadak, seperti merasa kaget dan terkejut mendengar penuturan dari Gentar. Namun, tidak berlangsung lama, ia pun kembali tersenyum dan menampakkan wajah seperti biasa lagi.

"Lantas langkah selanjutnya kau akan ke mana, Tampan?" tanya Lian Mei tersenyum-senyum sedikit menggoda Gentar.

"Aku akan menepi ke sebuah hutan yang ada di pinggiran kota ini, aku mau membangun rumah di sebuah perbukitan yang ada di ujung selatan sana," jawab Gentar lirih.

*

avataravatar
Next chapter