10 Tantangan bagi Gentar

Namun, Gentar kemudian membantah pikirannya tersebut, "Tidak mungkin mereka takut karena aku menyanggul pedang. Di sekitar kota ini pun banyak orang asing berlalu-lalang dengan membawa pedang dan golok sepertiku. Tapi, mereka bersikap biasa-biasa saja, sementara melihatku mereka takut."

Sambil melangkah, Gentar terus mengamati sikap warga kota tersebut. Mereka tidak seperti dulu yang gemar menghina dan mengolok-oloknya. Kini, mereka seperti ketakutan ketika melihat kehadiran dirinya.

"Aku rasa, ini pasti ada sebabnya?" desis Gentar sambil terus melangkah, dan mulai memasuki area halaman Masjid.

Mendadak ia menghentikan langkah, seperti mendapat firasat tidak baik. "Masjid di waktu tengah hari seperti ini bisanya ramai dikunjungi para jamaah yang hendak beribadah. Tapi, kenapa hari ini sepi tidak terlihat jejak para jamaah Masjid?" Genta berkata lirih sambil mengamati keadaan Masjid yang tampak sunyi.

Gentar semakin merasa penasaran. Lalu, ia melangkah dan terus mengamati keadaan Masjid tersebut. Matanya terus memeriksa keadaan di sekitaran luar Masjid itu.

"Masya Allah!" ucap Gentar terkagetkan ketika melihat bercak-bercak darah berceceran dimana-mana.

Lantas, ia pun melihat ada bercak darah di dinding tempat ibadah itu. Gentar pun menyimpulkan, bahwa di tempat ibadah tersebut, sudah terjadi peristiwa pembunuhan besar-besaran.

"Bagaimana mereka bisa mengalami peristiwa sekeji ini? Sungguh sangat aneh!" desis Gentar mengerutkan keningnya.

Sejatinya, Usman dan para pengurus Masjid tersebut, mempunyai keahlian bela diri. Tapi, mereka tidak mempunyai golongan kuat, dan hanya berjumlah beberapa orang saja, serta tidak mempunyai pengalaman tinggi dalam dunia persilatan. Mungkin itu alasan utama, sehingga para pengurus Masjid tersebut, dengan begitu mudahnya dibantai oleh para penjahat.

"Di manakah mayat-mayat mereka?"

Gentar kemudian, membersihkan bercak-bercak darah itu. Setelah selesai, kemudian ia pun segera berwudlu dan langsung melaksanakan Salat Zuhur seorang diri.

Usai melaksanakan salat, Gentar langsung melangkah keluar meninggalkan Masjid tersebut, ia hendak mencari orang yang dikenalnya untuk mencari tahu tentang kejadian yang menimpa imam dan pengurus Masjid tersebut.

Namun dalam pencariannya itu, Gentar tidak menemukan kenalan lamanya. Sekali pun Gentar berpapasan dengan orang yang ia kenal, mereka hanya tertunduk dan pura-pura tidak mengenali Gentar.

Melihat sikap orang-orang yang ia kenal seperti itu, Gentar pun mulai gusar, maka lantas mengejar dan menarik tangan salah seorang di antaranya, dengan sikap ramah-tamah Gentar kemudian bertanya kepada orang tersebut.

"Ki Sanak, apakah kau tahu? Sudah terjadi peristiwa apa di Masjid?"

Orang tersebut tidak menjawab pertanyaan Gentar, tubuhnya tampak menggigil, orang itu tampak ketakutan saat berhadapan dengan Gentar. Seakan-akan, ia sedang berhadapan dengan seorang penjahat besar saja, lantas orang itu pun berlutut di hadapan Gentar sambil menyembah-nyembah.

"Percuma saja aku bertanya, jika kau tidak mau menjawab." Gentar langsung melepaskan pegangan tangannya dan membiarkan orang itu berlalu dari hadapannya.

Gentar langsung melangkah menuju ke pusat keramaian kota, ia masih penasaran dan ingin bertanya mengenai peristiwa yang telah terjadi di Masjid itu.

Kota itu keadaannya sangat ramai dan merupakan kota pusat perdagangan, tanpa tujuan Gentar berjalan seorang diri, melihat lihat keadaan kota kemudian ia melangkah menuju ke sebuah warung makan.

"Aku harus beristirahat dan makan dulu sambil mencari informasi tentang peristiwa yang terjadi di Masjid itu." Gentar langsung masuk ke dalam warung makan yang ada di pinggiran jalan utama kota tersebut.

"Selamat datang, Tuan. Silahkan masuk!" sambut seorang pelayan dengan ramahnya.

"Terima kasih, Ki." Gentar langsung melangkah masuk ke dalam warung tersebut.

Pelayan tersebut mengarahkan Gentar ke salah satu meja kosong yang ada di sudut ruangan itu.

"Silahkan duduk, Tuan!"

Gentar pun langsung duduk, dan segera memesan makanan kepada pelayan tersebut, setelah menerima pesanan beberapa rupa makanan, pelayan itu pun berlalu dari hadapan Gentar untuk melayani pengunjung warung yang lainnya.

Maksud kedatangan Gentar ke dalam warung tersebut, bukan hanya untuk sekadar makan saja. Namun setelah mendapat tempat duduk, Gentar langsung mengamati gerak-gerik orang-orang yang ada di dalam warung tersebut.

Di dalam warung itu, ternyata terdapat banyak orang terdiri dari berbagai golongan, tapi yang paling menonjol ialah seorang musafir berjanggut putih yang badannya tinggi besar, dan seorang wanita muda berpakaian serba merah dan menyanggul sebilah pedang di punggungnya.

Ada juga beberapa pria paruh baya duduk santai sambil menikmati makanan yang sudah tersaji di hadapan mereka. Orang-orang tersebut, menjadi perhatian khusus bagi Gentar, ketika ia menoleh ke arah wanita muda yang mengenakan pakaian serba merah itu. Ternyata, diam-diam wanita tersebut memperhatikan gerak-gerik Gentar sedari tadi.

Sorot matanya yang tajam, seakan-akan menembus ulu hati Gentar, dan membuat dirinya salah tingkah. Namun, ia bersikap seolah-olah tidak memperhatikan wanita tersebut, lalu mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain.

Akan tetapi, ketika sorot matanya mengarah ke tempat lain. Secara tidak sengaja pandangannya bentrok dengan para pria paruh baya itu, yang sedari tadi memang memperhatikan gerak-gerik Gentar. Dengan sorot mata tajam, mereka terus mengawasi Gentar.

Gentar mulai berpikir tidak baik terhadap orang-orang tersebut. Hatinya pun sedikit panas, ia merasa tersinggung dengan sikap orang-orang itu. Lantas, Gentar pun berkata, "Apakah kalian masih mengira bahwa aku ini masih seperti dulu yang mudah diperhina?"

Gentar balas menatap tajam wajah orang-orang itu. Sehingga tanpa ia sadari, tumbuh sebuah kekuatan tenaga dalam dari sorot matanya itu, dan mengeluarkan sinar tajam menyapu ke arah orang-orang yang sedari tadi mengawasi gerak-geriknya.

Dengan demikian, orang-orang tersebut merasa kaget. Mereka tergesa-gesa bangkit dan langsung membayar uang makannya dan kemudian berlalu dari warung tersebut.

Wanita cantik yang mengenakan pakaian serba merah itu tertawa cekikikan, hingga membuat Gentar merasa heran dan mengawasi wanita itu dengan perasaan bingung, sepertinya hendak bertanya, 'Mengapa mereka pergi?' Wanita baju merah itu sehabis tertawa. Namun, urung dilakukannya. Ia hanya tersenyum dan hanya sedikit menoleh ke arah Gentar. Lalu, bangkit dan berlalu dari tempat tersebut.

Gentar tidak mempedulikan kepergian wanita itu. Ia menundukkan kepalanya fokus menyantap makanan yang sudah ia pesan di warung tersebut, Gentar buru-buru menghabiskan makanannya. Setelah itu, ia kembali mencoba meminta keterangan dari beberapa orang yang ada di dalam warung tersebut. Namun jawaban yang ia dapatkan sama saja, tidak ada seorang pun yang berani menjawab sejujurnya.

Karena merasa kecewa tidak mendapatkan jawaban, lantas ia langsung pergi dari warung itu dan segera mencari tempat penginapan. Ketika sudah mendapatkan tempat penginapan, Gentar langsung dipersilahkan masuk oleh sang pemilik penginapan tersebut.

"Silahkan, Tuan. Ini kuncinya! Jika butuh apa-apa, panggil saja saya!" ucap sang pemilik rumah penginapan itu dengan sikap ramah dan sopan.

"Iya, Ki. Terima kasih," jawab Gentar balas bersikap ramah.

*

avataravatar
Next chapter