13 Sayembara

Pria paruh baya yang sedari tadi diam, tiba-tiba tertawa lepas sembari berkata, "Apa kau sudah yakin pelakunya adalah pemuda itu?" tanya pria paruh baya itu.

Daska berpaling ke arah pria paruh baya itu. Lalu menyahut, "Kalau bukan Gentar, Lantas siapa lagi? Hanya dia yang mempunyai ilmu yang begitu hebat?" kata Daska sambil tertawa.

"Dugaanmu salah, kau hanya menilai dari sekecil lubang jarum saja. Tidak menilai dengan pikiran luas!" kata pria paruh baya itu. "Apa kau kira sudah tidak ada lagi pendekar yang mempunyai ilmu tinggi selain pemuda itu?" tanya pria paruh baya itu menambahkan.

"Persetan dengan pertanyaanmu," jawab Daska geram.

Mendengar jawaban kasar dari Daska, pria paruh baya itu tersenyum-tersenyum. Kemudian, wanita muda yang ada di sebelahnya ikut angkat bicara.

"Hanya orang yang berpikiran bodoh yang berani menuduh tanpa bukti yang kuat," timpal wanita muda itu.

Dengan demikian, Daska wajahnya sedikit memerah terkena sindiran dari wanita itu. Namun, ia sangat pandai menyembunyikan perasaannya tersebut.

"Kalau seperti itu. Berarti kau juga seorang wanita yang tinggi ilmu?" tanya Daska sambil tertawa hambar.

"Aku memang bukan pendekar yang pandai ilmu. Tapi ingat, aku tidak seperti kalian yang hanya berani mengeroyok satu orang rame-rame!" tandas wanita itu.

Daska kedudukannya setingkat lebih tinggi dari kedua rekannya. Jika ia ikut mengeroyok satu orang, itu saja sudah merupakan satu perbuatan yang memalukan, apalagi dalam pertarungan tersebut, malah dapat dikalahkan oleh lawannya.

Setelah mendengar ucapan sedemikian rupa dari wanita tersebut. Seketika, Daska lantas merasa malu, untuk menutup rasa malunya, ia kemudian membentak dengan suara keras.

"Jika kau tidak suka, maka kau juga boleh menghadapi aku. Ayo kita bertarung!" tantang Daska.

Dengan tenang wanita muda itu menghunus pedangnya, lalu dengan jari tangannya ia menyentil ujung pedangnya dua kali, sehingga terdengarlah suara nyaring pedang tersebut.

Tapi ia segera memasukkan kembali pedangnya ke dalam selongsongnya, kemudian berkata sambil tertawa lepas, "Aku tidak ingin mengotori pedang pusaka ini, dengan darah kotormu."

Setelah itu, wanita tersebut membalikkan badannya. Lalu menghilang dari hadapan Daska dan kawan-kawannya.

Sikap dan kelakuan wanita itu, sungguh membuat hati Daska kesal. Namun, ia hanya diam dan tidak bisa bertindak apa-apa.

Kemudian, pria paruh baya yang merupakan teman si wanita muda itu pun tertawa lepas sambil berkata, "Perbuatanmu hanya mencari malu sendiri. Ingat di atas langit masih ada langit!"

Setelah berkata demikian, orangnya langsung melesat seperti kilat meninggalkan tempat tersebut. Hanya sebentar saja sudah tidak kelihatan batang hidungnya.

Beberapa pendekar itu sudah dikalahkan oleh Gentar dalam pertempuran, kemudian kembali dihina oleh dua orang tersebut, terpaksa mereka pun pergi dari bukit tersebut sambil menggerutu.

Gentar pun sudah kembali ke rumah penginapan, ia masih merasa bingung atas kelakuan para pendekar tadi terhadap dirinya. Namun, ia segera menduga bahwa dalam hal ini pasti ada sebabnya.

"Aku pikir mereka sudah salah lihat, aku dianggap sebagai orang yang sedang mereka cari," desis Gentar berkesimpulan.

Gentar berpikiran seperti itu, karena ia meyakini bahwa dirinya baru keluar dari pertapaan. Mana mungkin bisa mempunyai musuh? Meskipun demikian, tapi ia sudah tidak tahu kepada siapa lagi harus mencari keterangan.

Tiba-tiba saja, ia teringat kepada Sri Wulandari, seorang wanita yang dijuluki sebagai wanita iblis. "Desa Caringin berada di pulau Juku. Tapi menurut keterangan guruku, wanita itu berada di desa Tamoho, bukankah dekat sekali letaknya dengan kota ini?"

Besok pagi Gentar bertekad hendak mengantarkan titipan dari gurunya kepada Sri Wulandari, sekaligus hendak mencari keterangan tentang kejadian tersebut.

Karena Gentar percaya, bahwa Sri Wulandari sudah berpengalaman di dunia persilatan yang ada di kota tersebut. Sudah barang tentu, ia banyak mengetahui persoalan yang terjadi di dunia persilatan yang ada di kota itu.

Esok harinya, pagi-pagi sekali. Setelah selesai melaksanakan Salat Subuh, Gentar sudah melakukan perjalanan menuju ke desa Tamoho untuk menemui Sri Wulandari si wanita iblis.

Untuk tiba di desa tersebut, Gentar hanya berjalan sekitar dua puluh menit saja dari rumah penginapannya. "Alhamdulillah, akhirnya sampai juga," desis Gentar melangkah menuju pintu gerbang padepokan tersebut.

Setelah tiba, di depan pintu padepokan. Gentar berdiri dan menjura memberi hormat kepada dua penjaga pintu padepokan tersebut.

"Siapa kau, Anak muda? Ada urusan apa kau datang ke sini?" tanya penjaga itu.

Kemudian, Gentar menjawab, "Aku bernama Gentar datang dari kota Ponti, ada urusan penting ingin menemui Sri Wulandari. Aku membawa benda yang sangat penting untuknya, tolong laporkan tentang kedatanganku ini!"

Dua penjaga pintu tersebut mengerutkan kening, mereka merasa heran. Walaupun demikian, mereka tetap menjawab.

"Ya, kau tunggu dulu. Aku akan segera melaporkan kedatanganmu!" jawab salah seorang penjaga pintu padepokan tersebut. Kemudian, ia melangkah masuk ke dalam padepokan.

Gentar tersenyum dan tampak semringah melihat sikap baik para penjaga padepokan tersebut.

Tidak lama kemudian, dari pendapa dalam ada keluar seorang pengurus padepokan berbadan tinggi besar dengan mengenakan jubah hitam dan ikat kepala mereka sesuai sekte dari padepokan silat tersebut.

Setibanya di hadapan Gentar, orang tersebut memandangi Gentar dari atas sampai ke bawah, kemudian bertanya dengan suaranya yang ketus, "Ada urusan apa kau hendak menemui guru?"

"Aku hendak bertemu sendiri dengannya untuk menyerahkan benda berharga," jawab Gentar.

"Aku adalah kepercayaan guru, jika kau ingin menyerahkan sesuatu. Maka, serahkan kepadaku!" kata orang itu mengulurkan tangan ke arah Gentar hendak menerima benda yang akan diserahkan oleh Gentar untuk Sri Wulandari.

Dengan tegas Gentar menolaknya, dan ia tidak mau menyerahkan benda tersebut selain kepada Sri Wulandari.

"Tidak bisa, benda ini harus aku serahkan langsung kepada Sri Wulandari sendiri, kalau tidak, aku terpaksa akan membawa pulang lagi!"

"Anak muda, kau ini berpikir seperti anak kecil," ujar orang itu mentertawakan Gentar. "Sri Wulandari itu pimpinan padepokan ini. Mana mungkin sembarangan menemui orang seperti kamu!" sambung orang tersebut tampak menyepelekan Gentar.

Gentar seumur hidupnya sudah kenyang menelan hinaan dan cacian, sesungguhnya ia tidak menyangka bahwa kedatangannya yang hendak mengantarkan benda penting, masih disambut dengan sikap tidak ramah dan mendapatkan hinaan sedemikian rupa.

Sambil tertawa dingin, lantas ia berkata, "Baiklah, yang penting aku sudah berusaha untuk mengantarkan benda ini. Tapi, kalian tidak memberiku izin untuk menyerahkannya langsung. Maka untuk selanjutnya, kalian sudah tidak ada hak lagi untuk menanyakan keberadaan benda ini!" tegas Gentar.

Orang tersebut, hanya memandang Gentar sebelah mata. Ia tidak menduga kalau Gentar akan berani terhadapnya, sehingga orang itu pun murka dan langsung mengusir Gentar untuk segera pergi dari hadapannya.

"Pergi kau dari hadapanku, kau terlalu banyak bicara!" bentaknya.

*

avataravatar
Next chapter