15 Sayembara Tidak Berjalan Sesuai Aturan

Secara diam-diam, para pendekar itu sudah menakar kekuatan Sri Wulandari dan anak buahnya. Bukan hanya melihat empat pendekar andalan Sri Wulandari saja yang berasal dari Juku dan negri Tonggon. Namun, mereka juga memperhitungkan tentang kekuatan para pendekar dari Padepokan Iblis Merah yang sudah datang semuanya.

"Kenapa mereka hendak menyerangku?" desis Gentar sedikit waspada mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

Sejatinya, para pendekar itu berpikir 'Sekalipun berhasil dapat merebut keris itu, tentu tidak akan terlepas dari cengkraman murid-murid Sri Wulandari yang sudah berada di tempat tersebut. Oleh sebab itu, mereka pun saling menunggu, menunggu waktu yang tepat untuk mendapatkan keris pusaka itu.

Gentar matanya menyapu ke arah kerumunan para pendekar yang sudah mengurung dirinya, kemudian berkata dengan suara lantang, "Aku peringatkan sekali lagi, untuk pihak Padepokan Iblis Merah. Maka malam ini sudah tidak ada hak untuk turut ambil bagian dalam memperebutkan keris pusaka ini!"

Baru saja selesai berbicara. Tiba-tiba saja dari kerumunan para pendekar itu, terdengar suara bentakan keras, "Diam kau, Anak muda!"

Kemudian disusul oleh bergeraknya dua bayangan orang yang menerjang ke arah Gentar dengan gerakan yang sangat membahayakan, satu orang menyerang dengan sasaran wajah Gentar, sementara yang lainnya berusaha hendak merampas keris pusaka dari tangan Gentar.

"Sudah kuduga mereka benar-benar licik," ujar Gentar berkata dalam hati. Lalu, ia tertawa dingin, "Ha ... ha ... ha ...." Tangannya lantas membalik. Kemudian, keris pusaka itu ia jadikan senjata.

Dengan demikian, Gentar langsung memukul dan menotok urat nadi orang yang hendak merebut keris pusaka dari tangannya. Sedangkan tangan satunya lagi, ia kibaskan untuk menyerang orang yang satunya lagi yang sudah berada di hadapannya.

Mereka yang berusaha menyerang bersamaan itu, adalah Rawinta dan Tonggala. Mereka adalah dua pendekar yang terkenal di penjuru kota Ponti.

Meskipun sudah terkena pukulan dari Gentar, namun keduanya tidak merasa jera, mereka kembali bangkit. Kemudian Rawinta berusaha untuk kembali merebut keris pusaka tersebut dari tangan Gentar.

Ketika tangannya hendak menyentuh keris pusaka itu, tiba-tiba saja datang sambaran angin yang sangat kencang, dan tanpa disadari oleh Rawinta tangan Gentar sudah berhasil menotok kembali lehernya dengan sangat keras.

Dalam keadaan seperti itu, Rawinta menarik tangannya dengan cepat, badannya juga lantas bergerak jumpalitan, kemudian melesat miring ke kiri. Tampak jelas luka lebam di lehernya mulai membiru.

Belum sempat terjatuh, Rawinta memekik keras merasa kesakitan di batang lehernya. Lantas, tubuhnya pun melesat setinggi dua tombak, terus melayang menjauh dari tempat tersebut.

Melesatnya tubuh Rawinta, bukanlah karena totokan keras dari Gentar.

Ternyata itu adalah perbuatan Sangkala sang pendekar dari Jiran, yang sudah memanfaatkan kesempatan selagi Rawinta mengalami kekalahan oleh Gentar, Sangkala telah melancarkan serangan gelap secara mendadak, hingga Rawinta tewas seketika.

Pendekar buas yang kedua–Tonggala juga mendapatkan nasib naas yang serupa dengan yang dialami oleh Rawinta.

Tubuh Tonggala melesat ke udara, lantas mengadu kekuatan dengan kekuatan ilmu dalam yang dimiliki oleh Gentar.

Sungguh naas nasib Tonggala, begitu kekuatannya berbenturan dengan kekuatan Gentar, tanpa ampun kekuatan Gentar langsung menghempaskan kekuatannya. Sehingga, ia pun memekik keras, tubuhnya langsung melayang ke udara.

Ketika tubuhnya menyentuh tanah, napasnya pun sudah berhenti dan denyut jantungnya sudah tidak bekerja lagi. Tonggala tewas seketika.

Gentar sungguh tidak menduga bahwa kekuatan tenaga dalamnya ternyata sangat hebat, sampai ia sendiri pun bingung. Seakan-akan, Gentar tidak percaya dengan kekuatan yang ia miliki.

"Mustahil! Kenapa kekuatanku semakin bertambah?" bertanya Gentar dalam hati. "Ya, Allah! Ampuni dosaku, karena telah melenyapkan nyawa orang itu," sambung Gentar menyesali perbuatannya.

Gentar tampak merasa bersalah, karena sudah membunuh lawannya. Itu adalah pertama kalinya Gentar melakukan pembunuhan dalam sejarah hidupnya. Gentar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan pikirannya.

Tetapi ketika matanya terbentur dengan sorot mata para pendekar yang berada di sekitarnya, yang menunjukkan sifat mereka yang jahat, kegusarannya timbul pula, ia lalu berkata dengan suara dingin.

"Pendekar itu mati bukan karena kehendakku. Aku tidak berniat menghabisi nyawanya, aku mengundang kalian untuk bertanding adu kekuatan ilmu bela diri yang kalian punya, untuk menetapkan siapa yang berhak mendapatkan keris pusaka ini. Kalau cara yang sudah dilakukan oleh pendekar tadi, tentu imbalannya adalah maut. Karena itu, bukan cara sehat dalam bersaing!"

Demikianlah, para pendekar itu langsung mundur. Tiba-tiba, dari arah belakang kerumunan para pendekar itu, terdengar suara seruan dari seorang wanita.

"Persoalan ini terjadi karena kesalahpahaman antara aku dengan pendekar sakti itu. Aku harap Ki Sanak semua mengurungkan niat dari persaingan ini!"

Mendengar seruan tersebut, maka para murid dari Padepokan Iblis Merah langsung membentuk suatu barisan setengah lingkaran. Perlahan-lahan, mereka melangkah masuk ke dalam arena.

Orang yang berbicara tadi adalah Sri Wulandari dari Padepokan Iblis Merah. Ia sebagai ketua dari salah satu perguruan silat terbesar di negri itu, yang memimpin rimba persilatan sudah bertahun-tahun lamanya, sikapnya begitu ramah, bicaranya sangat berwibawa, hingga para pendekar yang berkerumun itu lantas membelah barisan untuk memberi jalan kepada rombongan Sri Wulandari.

"Akhirnya dia datang juga," desis Gentar tersenyum-senyum.

Perlahan, wanita paruh baya yang dijuluki wanita iblis itu, melangkah menghampiri Gentar, lalu berhenti di depan pendekar muda itu.

Sri Wulandari merangkapkan kedua tangannya di bagian dada, seraya memberi hormat kepada Gentar. Lantas, ia berkata, "Maaf, Pendekar. Dari mana Pendekar mendapatkan keris pusaka ini? Sudi kiranya, Pendekar memberi tahu kami!"

Gentar sengaja angkuh, sambil mendongakkan kepala ia menjawab, "Benda sederhana ini, apakah ada perhatian juga dari pemimpin Padepokan Iblis? Apa ini semua tidak keliru?"

Sri Wulandari tersenyum, ia benar-benar mempunyai kesabaran luar biasa, sekalipun diperlakukan demikian oleh seorang pendekar muda seperti Gentar, sedikit pun tidak marah.

"Keris pusaka itu adalah benda kuno peninggalan leluhur kami," kata Sri Wulandari tersenyum dan bersikap ramah.

Betapa pun besarnya keberanian yang dimiliki oleh Sri Wulandari yang berjuluk wanita iblis itu. Ia tidak berani menghina keris pusaka tersebut, sudah tentu pula tidak akan membiarkan keris pusaka itu jatuh ke tangan sembarang orang.

"Aku akan memberi tahumu," jawab Gentar.

"Katakan saja, Pendekar!" sahut Sri Wulandari.

Dengan demikian, Gentar pun langsung mengatakan semuanya di hadapan wanita paruh baya itu, "Atas perintah guruku, keris pusaka ini aku bawa untuk dikembalikan kepadamu. Tapi sayang, ketika aku ke tempatmu aku tidak berhasil bertemu denganmu. Bahkan, anak buahmu sudah berlaku kasar terhadap aku, dan dia juga sudah menyatakan melepaskan haknya atas keris pusaka ini. Sehingga, terjadilah malam sayembara ini," kata Gentar menuturkan.

*

avataravatar
Next chapter