17 Daska kembali menantang Gentar

Salah seorang pendekar yang semenjak kedatangannya di tempat tersebut hanya diam tidak banyak bicara, dan tidak bereaksi apa-apa.

Namun, tiba-tiba saja salah satu dari mereka mulai angkat bicara, "Pendekar muda, kami ingin bertanya. Apakah Sayembara masih berlaku?"

"Ya, itu masih berlaku, Ki Sanak," sahut Gentar. "Namun, bagi pendekar yang tidak mengikuti aturan ini. Maka baginya sudah tidak ada hak lagi untuk ikut dalam sayembara ini!" sambung Gentar.

Baru saja selesai berbicara, tiba-tiba salah seorang pendekar meloncat tinggi dan mendarat di hadapan Gentar sambil berkata, "Bedebah, persetan dengan aturanmu!" Ia membentak sambil menggerakkan tubuhnya yang bergerak bagaikan sebilah tombak melesat ke arah Gentar.

Namun dengan segenap kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya, Sri Wulandari secepat kilat menyambar tubuh pendekar yang hendak menyerang Gentar, dan langsung mendorongnya hingga tubuh pendekar itu terbentur ke sebuah pohon besar yang ada di tempat tersebut.

Demikianlah, empat pendekar anak buahnya pun sudah berdiri sejajar dengannya. Bagaimanapun, Sri Wulandari masih mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rimba persilatan.

"Terima kasih, Nyai." Gentar berterima kasih kepada wanita paruh baya itu sambil menjura.

Sri Wulandari hanya tersenyum dan sedikit membungkukkan badan. Kemudian, ia berpaling ke arah para pendekar yang sudah menyalahi aturan.

"Datangnya masalah ini, sebenarnya karena sedikit ada kesalahpahaman. Pendekar muda itu menginginkan kalian untuk mundur dari sayembara ini, karena kalian sudah menyalahi aturan," kata wanita paruh baya itu menegaskan.

Dengan demikian, mereka sudah tidak berani menyela lagi. Saat itu juga, mereka langsung angkat kaki dari tempat tersebut.

Pendekar mata satu, merasa tidak enak ikut dalam sayembara tersebut. Apalagi ketika ia tahu bahwa Sri Wulandari ada di tempat itu. Secara diam-diam, ia pun berlalu meninggalkan arena sayembara tanpa pamit sedikit pun.

Di tempat tersebut, hanya tinggal beberapa pendekar saja. Sementara yang lainnya sudah berlalu tanpa berpamitan, mereka langsung meninggalkan tempat tersebut.

Para pendekar yang masih bertahan pun paham, bahwa mereka bukan tandingan Sri Wulandari. Namun, ada satu pendekar yang masih bertingkah jumawa menutupi kekurangan pada dirinya. Supaya tidak merasa dipermalukan ia pun berkoar-koar di hadapan Gentar dan Sri Wulandari.

"Sementara ini memang kalianlah yang berjaya malam ini. Tapi asal kalian tahu, kelak di kemudian hari. Kalian akan mengalami kesulitan!" Setelah berkata seperti itu, kemudian pendekar itu pun langsung melompat tinggi dan berlalu dari tempat tersebut.

Dengan berlalunya beberapa pendekar itu, para pendekar lainnya pun langsung minggat meninggalkan arena sayembara itu. Hingga pada akhirnya, tidak ada satu pun pendekar yang tersisa, hanya Gentar dan Sri Wulandari saja serta beberapa anak buahnya.

Demikianlah, Gentar langsung mengeluarkan keris pusaka tersebut, yang ia selipkan di balik ikat pinggangnya. Dengan dua tangan ia serahkan kepada Sri Wulandari sembari berkata, "Maafkan aku karena sudah diselimuti rasa emosi. Tidak menyangka tindakanku ini, sudah menimbulkan kegaduhan. Jujur saja, atas nama guruku aku mohon maaf kepadamu, Nyai."

Sri Wulandari hanya tersenyum, kemudian meraih keris pusaka itu sambil membungkukkan badan seraya memberi penghormatan terhadap pusaka leluhurnya itu.

"Ini semua salah kami, kau tidak bersalah, Anak muda."

"Aku yang bersalah dan aku wajib meminta maaf kepadamu, Nyai." Gentar merapatkan kedua telapak tangannya sambil membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada Sri Wulandari.

Mereka berbincang-bincang sebentar, kemudian di akhir perbincangan tersebut. Mereka saling memberi hormat untuk berpisah. Hanya sekejap saja, Gentar sudah menghilang ditelan kegelapan.

Hal tersebut tidak akan mungkin terjadi, jika sikap pengurus di Padepokan Iblis Merah tidak memandang rendah Gentar Almaliki, ketika datang jauh-jauh hanya untuk mengembalikan keris pusaka milik wanita paruh baya yang dijuluki sebagai pendekar wanita iblis.

Setelah hampir bertahun-tahun lamanya, malam itu keris pusaka tersebut kembali menggemparkan dunia persilatan. Beruntung tidak memakan korban nyawa seperti yang terjadi di masa lalu.

***

Setibanya di rumah penginapan, Gentar hanya duduk termenung sambil menantikan waktu subuh tiba. Ia merasa bersalah, karena sudah membuat gaduh dan mengumpulkan banyak pendekar hanya untuk bertikai.

Tidak terasa waktu subuh pun telah tiba, Gentar bergegas melaksanakan Salat Subuh. Setelah selesai, ia memutuskan untuk keluar lagi dan berjalan-jalan di jalanan kota Ponti yang masih tampak sunyi.

Di dalam perjalanan tersebut, Gentar kembali bertemu dengan Daska dan para pendekar yang dulu pernah bertarung dengannya.

Gentar tidak mengindahkan kehadiran para pendekar itu, ia berusaha untuk menghindari dan tetap melanjutkan perjalanan sambil menundukkan kepala.

Tiba-tiba saja, Daska tertawa sambil menyeru, "Ha ... ha ... ha ... Hai, Anak muda! Jika kau mempunyai nyali, pagi nanti menjelang matahari terbit. Apakah kau berani datang ke bukit Datar untuk kembali bertarung denganku?!"

Mendengar perkataan kasar dari Daska, Gentar tampak emosi dan merasa kesal. "Kalian berandalan yang selalu mencari masalah denganku. Apa mau kalian?" Gentar balas membentak.

Daska tertawa lepas sambil menepuk-nepuk keningnya, "Ha ... ha ... ha ...."

Kemudian, ia berkata, "Aku hanya memastikan apakah nyalimu masih kencang atau sudah kendor?" Daska tampak sinis dan sedikit menyepelekan Gentar. "Terserah, kau mau datang berapa orang. Bebas mau mau minta bantuan kepada siapa saja, untuk melawanku," sambungnya.

"Aku tidak pernah takut sama siapa pun. Aku hanya takut dengan Tuhanku," tandas Gentar menjawab dengan sikap dingin.

"Bagus sekali, Anak muda."

"Aku pasti akan datang, dan aku akan segera mematahkan batang lehermu!" pungkas Gentar langsung berlalu dari hadapan para pendekar itu.

Gentar merasa bingung, karena dirinya baru saja keluar dari pertapaan. Tiba-tiba saja, banyak pendekar yang memusuhinya tanpa alasan jelas.

Kebetulan pagi itu ada warung kecil di pinggiran jalan tersebut yang sudah buka. Gentar langsung melangkah menuju warung tersebut.

Tiba di warung tersebut, Gentar disambut ramah oleh sang pemilik warung. "Silahkan duduk, Tuan!" ucap sang pemilik warung.

Gentar hanya tersenyum, kemudian duduk dan langsung memesan makanan serta wedang jahe untuk menghangatkan tubuh.

"Buatkan aku makanan dan wedang jahe!"

"Baik, Tuan. Mohon ditunggu sebentar!" Pemilik warung itu, langsung melangkah untuk segera menyiapkan pesanan Gentar.

Hanya seorang diri ia menikmati makan dan minum, sedang dalam hatinya terus memikirkan persoalan yang telah terjadi. "Siapa yang sudah membunuh Datuk Usman? Mereka tega sekali melakukan tindakan keji itu," desis Gentar dalam hatinya.

Ia tak habis pikir, kenapa orang-orang tersebut tega menghabisi nyawa Datuk Usman sang pengurus Masjid. Bahkan para pendekar dari kelompok Daska seperti mencurigai dirinya sebagai pelaku pembunuhan itu.

"Ki!" panggil Gentar mengarah kepada sang pemilik warung.

"Iya, Den." Pemilik warung itu langsung melangkah menghampiri Gentar.

"Duduklah, Ki! Ada hal yang ingin aku bicarakan!" pinta Gentar lirih.

Sang pemilik warung itu pun langsung duduk di hadapan Gentar.

"Apakah Aki tahu, siapakah yang sudah membunuh Datuk Usman?" tanya Gentar menatap wajah sang pemilik warung.

*

avataravatar
Next chapter