18 Pertemuan Gentar dengan Lian Mei

Mendengar pertanyaan tersebut, pria paruh baya itu tampak tercengang dan sikapnya mulai gugup.

"Maaf, Den. Saya tidak tahu apa-apa tentang masalah itu," jawab sang pemilik warung, wajahnya tampak memucat dan penuh ketegangan.

Gentar menarik napas dalam-dalam. Kemudian berkata lagi, "Aku hanya merasa aneh saja, Ki. Banyak pendekar yang mencurigai aku. Apakah wajahku mirip dengan pembunuh itu?" desis Wanara lirih sambil menatap wajah pria paruh baya itu.

Sang pemilik warung hanya diam menyimak apa yang diutarakan oleh Gentar.

"Bahkan para penduduk yang ada di sekitar Masjid mendadak takut kepadaku. Apakah mereka mengira dengan kesaktian yang aku miliki, lantas disangkut-pautkan dengan pelaku pembunuhan itu?"

Sang pemilik warung, kemudian berpaling ke arah Gentar. "Saya percaya bukan kamu pelakunya, Raden orang baik," ucap pria paruh baya itu. "Tidak mungkin ilmu yang Raden miliki dengan segampang itu dipergunakan untuk membunuh sesama apalagi membunuh seorang pengurus Masjid. Daska adalah orang yang berasal dari penganut aliran sesat. Dia dan anak buahnya termasuk pemuja iblis, sangat masuk akal jika mereka berkehendak membinasakan Raden," sambungnya lirih.

Gentar sangat terkejut mendengar pernyataan dari sang pemilik warung itu. Lantas, ia pun bertanya, "Kenapa Aki bisa tahu semua?"

Pria paruh baya itu hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan dari Gentar, ia bangkit dan langsung berlalu dari hadapan Gentar untuk melayani pengunjung warung yang sudah mulai berdatangan.

"Ya, Allah! Apa yang harus aku lakukan untuk dapat keluar dari persoalan ini," berkata Gentar dalam hatinya.

Di kala Gentar sedang terbenam dalam alam pikirannya. Tiba-tiba saja, terdengar suara halus merdu menyapanya.

"Hai, Pendekar muda! Kau tampak santai makan dan minum sendiri, apakah dirimu tidak merasa jemu dan kesepian?"

Gentar terperanjat dan sedikit merasa kaget dengan suara teguran itu, ia tampak tercengang ketika mengetahui orang yang menyapanya itu, ternyata seorang wanita muda berparas cantik, berdiri tegak di sampingnya.

"Kenapa wanita ini wajahnya mirip sekali dengan wajahku?" desis Gentar dalam hati.

Wanita muda itu parasnya memang cantik. Akan tetapi, dari sinar mata dan raut wajahnya tampak sekali keberingasan dan tampak jelas pula bahwa wanita itu mempunyai karakter yang kejam dan bengis.

Wanita itu kemudian menyibak rambutnya yang terurai. Lalu, ia berkata lirih, "Pendekar kau ini dari mana? Perasaan, aku baru melihatmu di kota ini?"

Gentar tampak gugup ketika bola matanya beradu pandangan dengan sorot mata tajam wanita itu. "Namaku Gentar, aku asli penduduk kota ini. Namun, aku baru saja kembali dari pulau Juku," jawab Gentar.

"Nama ayahmu?" tanya wanita itu penuh selidik.

"Semenjak kecil, aku sudah ditinggal oleh ayahku. Entah masih hidup atau sudah meninggal, aku tidak tahu. Bahkan namanya pun aku tidak mengetahuinya," jawab Gentar terus memandangi wajah cantik wanita itu.

Kening wanita itu mengerenyit, ia merasa heran dengan jawaban pendekar muda itu. Kemudian, ia bertanya lagi, "Nama gurumu siapa?"

"Mohon maaf, aku tidak bisa memberi tahukan tentang nama guruku." Gentar tidak mau menjawab pertanyaan yang penuh selidik itu. Ia tampak tidak senang dengan sikap wanita itu yang terus bertanya-tanya, apalagi ketika bertanya tentang nama gurunya.

"Apa perlumu, sehingga kau bertanya begitu detail?" tanya Gentar ketus.

Wanita itu hanya tersenyum, kemudian meminta izin kepada Gentar untuk duduk, "Bolehkah aku duduk di sini?!" ucapnya lembut.

Dengan senang hati Gentar pun mengizinkan wanita itu duduk di hadapannya, "Silahkan!" jawab Gentar lirih.

"Aku adalah Lian Mei para pendekar di kota ini biasa menyapaku dengan nama pendekar Mei. Aku lahir di pulau Kaliwana, ayahku asli dari kekaisaran Tonggon dan ibuku berasal dari pulau Juku. Kedua orang tuaku menetap di pulau ini semenjak mereka menikah," jawab wanita cantik itu memperkenalkan diri.

Gentar terus memandangi wajah wanita itu. "Tapi, kenapa wajahmu mirip denganku?" Gentar bertanya lagi, seakan-akan terselip rasa penasaran dalam dirinya.

Gentar tetap bersikap baik, meskipun ia tidak begitu suka terhadap wanita muda yang mengaku Lian Mei itu. Gentar menyebutnya sebagai Mei, Lian Mei tampak semringah.

Dengan sangat mesra ia memanggil Gentar pendekar tampan.

"Entahlah, mungkin ini hanya kebetulan saja," jawab Lian Mei tersenyum manis penuh tebaran pesona.

Mereka tampak akrab, meskipun awalnya Gentar tidak menyukai kehadiran Lian Mei. Keduanya terus berbincang sambil menikmati segarnya suasana pagi.

Tiba-tiba saja, Gentar merasa pusing, mendadak wajahnya berkeringat dingin dan pandangannya pun mulai redup.

"Kamu kenapa, Pendekar tampan?" tanya Lian Mei tampak seperti cemas melihat kondisi Gentar yang tiba-tiba memegang kepala.

Raut wajahnya pun tampak pucat, seperti sedang mengalami rasa sakit yang begitu hebat.

"Kepalaku sakit, semalaman aku belum tidur," jawab Gentar meringis menahan sakit di kepala.

"Baiklah, aku antar kau pulang," kata Lian Mei.

Ia langsung bangkit dan segera membayar makanan dan minuman pesanan Gentar.

"Di mana kau tinggal?" tanya Lian Mei meluruskan pandangannya ke wajah Gentar.

"Aku tinggal di penginapan dekat dengan pasar," jawab Gentar sambil meringis-ringis.

"Baiklah, aku akan mengantarmu." Lian Mei langsung bangkit dan membantu Gentar untuk segera berdiri, dengan senang hati Lian Mei langsung mengantarkan Gentar pulang ke penginapannya.

Lian Mei memegangi tubuh Gentar yang tampak lemas itu, sambil terus melangkah menuju pondok penginapan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari warung tersebut.

Setibanya di rumah penginapan, Gentar langsung dibaringkan di tempat tidur oleh Lian Mei. "Sebaiknya kamu beristirahat dulu!" kata Lian Mei.

"Terima kasih, Mei," jawab Gentar langsung memejamkan mata, saat itu ia sudah tidak kuat lagi karena merasa pusing tujuh keliling.

Dengan demikian, Gentar pun tidur pulas, sehingga lupa akan janzinya dengan Daska.

Lian Mei menyelimuti tubuh Gentar dengan sebuah selimut besar. Setelah itu, ia hanya duduk di samping pembaringan pemuda tampan itu, sambil terus mengamati keadaan Gentar.

"Wajah pemuda ini memang sangat mirip dengan wajahku. Entahlah, apakah dia adalah saudaraku atau mungkin dia adalah jodohku?" Lian Mei terus berdesis sambil memandangi wajah Gentar.

Gentar tampak kelelahan, tak terasa tidurnya begitu pulas hingga tiba ke waktu pagi berikutnya. Setelah terbangun, Gentar baru ingat perjanjiannya dengan Daska.

Gentar sangat menyesal, karena sebagai seorang yang berjiwa kesatria ia paling mengutamakan kepercayaan dari orang lain.

"Aku tidur begitu lama hingga lupa dengan janziku yang akan meladeni Daska bertarung," desis Gentar duduk termenung di atas pembaringannya. "Dan aku pun sudah lupa dengan kewajibanku sebagai seorang Muslim, astaghfirullaahal'adzim," sambung Gentar duduk di atas pembaringannya.

Di saat itu, ia mendengar kabar di luaran, bahwa semalam sudah terjadi pembantaian terhadap Daska dan puluhan anak buahnya. Entah siapa yang melakukan pembantaian tersebut? Kabar itu ia dapatkan dari warga yang ada di sekitaran rumah penginapan tersebut.

*

avataravatar
Next chapter