1 PROLOG

Geni Langit

Genre: Tragedi, Intrik, Sikiopatik, Romansa

Rating: Dewasa

Summarry: "Jangan menyerah. Jangan takut. Jangan pula khawatir. Sebab Allah selalu melihat apa yang sebenarnya ada di hati kita." (Geni Langit)

.

.

PROLOG

Rukmana Zalia

Pagi. Masih musim hujan pada tahun 2018. Aku berjalan menyusuri gang-gang pasar Desa Pacing ini. Sendirian. Tanpa ditemani sepeda mini kesayanganku. Tanpa sapaan ramah dari penjual-penjual itu. Pun tanpa identitas sebagai seorang guru.

Sungguh.

Semuanya terasa asing. Padahal 8 tahun lalu, lingkungan berisik disini adalah rumah bagiku. Yah... meskipun waktu itu aku baru bisa menyewa satu rusun. Tapi tetap saja rasanya masih bersahabat hingga kuputuskan pindah ke kota lain.

Alasannya satu: aku tidak ingin terlibat lagi dengan masalah apapun di desa ini. Dan jika ada yang bertanya... memang separah apa? Maka aku akan menjawab... itu cukup membuatku ingin jadi sosok yang baru.

Hmph, terkesan menarik, kan?

Karena itu, aku akan ceritakan satu kisah kepada kalian. Tentang seseorang yang terlihat serampangan, namun justru berakhir lekat di hati siapapun. Setidaknya yang tinggal di desa ini.

Namanya adalah Geni Langit. Yang sering dipanggil Geni, meskipun awalnya aku sendiri takut hanya dengan mengetahuinya.

Geni adalah anak tunggal mantan berandalan legendaris bernama Gaman Patih. Dia terkenal hebat berkelahi dan melakukan kejahatan seperti sang ayah... namun siapa sangka sosoknya juga mampu melebarkan sayap-sayap ajaib pada suatu hari. Padahal kudengar dia tak pernah sekolah dan baru merasakan hebatnya kehidupan pesantren setelah sang ibu menghembuskan napas terakhir.

"Kamu hebat," kataku padanya waktu itu.

Dia justru terkekeh pelan. "Hebat apanya," sangkalnya sambil menuntunkan sepedaku sepanjang jalan. "Manusia sesemrawut ini kok kamu puji sebegitunya."

Aku tersenyum. "Itu kan hakku," kataku pelan. Lalu kupandangi luka-luka baru yang membekas di tubuhnya. Semua karena telah menolongku dari tiga perampok beberapa saat lalu. "Buktinya nasib gajiku baru selamat berkat kamu."

"Hmph, begitu," katanya. Tanpa mengalihkan fokus dari jalan. Membuatku tak sungkan untuk menitinya lebih jauh.

Mulai dari rambut ikal sepunggung itu, kaus lengan pendek itu, sarung kotak-kotak itu, baru kemudian kakinya yang tak memakai sandal. Ralat. Lebih tepatnya baru saja kehilangan sandal karena sibuk berkelahi untuk menolongku.

"Tapi hal ini kan memang sudah seharusnya dilakukan," katanya.

"Hmph, begitu," balasku. Menirukan caranya bicara. "Yang pasti terima kasih, ya..." imbuhku dengan senyuman melebar.

Dia menatapku dengan mata tajam itu. "Barusan adalah yang ketiga," katanya. "Saya jadi pengen tahu... apa kamu bakal bilang lagi atau ndak."

Seketika, tawaku pun pecah. "Hahaha... tergantung kamu lah!" seruku geli. "Salah sendiri mau kubalas budi pakai uang malah tidak mau."

Dia justru kembali memandang jalan. Tampak berpikir. "Berarti jadi salah saya pada akhirnya..." gumamnya pelan.

"Heh, apa?" tanyaku. Antara heran dan tidak terlalu dengar. "Memang ada kaitannya, ya?"

"Mungkin..." gumamnya lagi. Kali ini ekspresinya terlihat linglung sekali.

"Ya sudah... oke. Kalau begitu bagaimana kalau niatku diganti saja?" tawarku. "Misal karena sudah nuntunin sepedaku sampai rumah?"

Dia menggeleng dan terseyum padaku. "Ndak usah, Neng. Ndak perlu," jawabnya seringan nafas.

"Lho, kenapa lagi memang?" tanyaku bingung.

"Soalnya Abah Yai pernah ngendikan..." katanya lamat-lamat. "...kalau ada santri yang mulai ngabdi, berarti semua tindakannya ndak layak diukur uang."

"Maksudmu tidak layak?" tanyaku, semakin bingung.

Dia justru nyengir. "Ya, pokoknya begitu lah..." katanya. Membuatku berkedip-kedip seperti orang bodoh. "Yang pasti apapun perbuatanku, biar Allah saja yang balas. Hehe..."

Aku pun tertular cengirannya. Sok paham. Dan sok mengerti semua perasaan yang dia pendam.

"Begitu..." desahku pelan. Padahal setelah pulang, aku benar-benar tertarik memikirkan seluruh kata-katanya sendirian.

***

avataravatar
Next chapter