webnovel

HMT 2 - GENGGAMAN POSESIF

Pukul dua sore mobil Limosin putih yang membawa Theresa tiba di sebuah panthouse mewah. Aaron segera maju lantas membukakan pintu mobil untuk Theresa. Dia sangat kaget melihat wajah Theresa dibanjiri air matanya.

Sementara Theresa buru-buru mengusap kedua pipinya saat Aaron membukakan pintu mobil. Dia tak ingin siapa pun mengetahui seperti apa hubungan pernikahannya dengan Presiden Direktur Charles Bosley. Apa lagi Aaron yang baru bekerja hari ini padanya.

Selama ini ada banyak musuh yang mengincar dirinya juga Charles. Terlebih sejak Charles menjadi pemimpin partai politik di Manhattan. Para musuh bisa saja melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan dirinya dan Charles. Oleh karena itu dia selalu menyembunyikan kebusukan suaminya dan pernikahan buruk ini.

"Nyonya, pukul delapan malam Anda dan Presdir diundang pada pesta Tuan Edward di Hotel My Berry," ucap asisten Theresa yang bernama Bianca. Wanita itu langsung menghadang Theresa di depan teras.

"Aku tahu," balas Theresa masih dengan wajah dilema. Bahkan dia tidak mau menoleh pada Bianca yang sedang berdiri di sampingnya.

Bianca membungkuk hormat pada Theresa. Ekor matanya kemudian melihat pada pria tampan yang sedang berdiri di belakang Theresa. Siapa pria itu? Dia baru kali ini melihatnya.

"Aku ingin beristirahat." Theresa segera melanjutkan langkahnya memasuki mansion. Mood-nya masih sangat buruk. Dia ingin menenangkan diri di kamarnya.

Aaron segera mengapit langkah Theresa dari belakangnya. Entah kenapa hatinya merasa gelisah melihat Theresa yang tampak sangat bersedih. Memang, dirinya ditugaskan untuk melindungi Theresa dari ancaman para musuh. Namun perasaan ini terasa sangat berlebihan.

"Silakan, Nyonya." Aaron membukakan pintu kamar untuk Theresa. Diam-diam dia melirik wanita cantik di sampingnya itu. Jantungnya terasa berdebar-debar tak karuan. Dia tak mengerti dengan perasaan aneh ini.

"Kamu boleh pergi," tukas Theresa setelah memasuki kamar. Dia memalingkan wajahnya dari Aaron lantas berjalan menuju sofa panjang di sudut ruangan itu.

Aaron hanya mengangguk dan segera menarik knop pintu dari luar. Hatinya merasa penasaran dengan sikap dingin Theresa. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa wanita itu tampak sangat bersedih.

Apakah ada musuh yang sedang mengancamnya? Beragam pertanyaan tiba-tiba melintas di kepalanya.

Karena merasa mencemaskan Theresa, Aaron pun mendorong pintu kamar itu perlahan. Dia mengintai dari celah kecil untuk melihat keadaan Theresa.

Theresa sedang duduk pada sofa panjang di kamarnya. Wanita itu tampak sedang menangis tersedu-sedu. Aaron membulatkan matanya melihat hal itu. Kenapa Theresa menangis? Tanpa pikir apa-apa lagi dia segera mendorong pintu itu dan melangkah masuk.

Theresa sedang meratapi nasibnya. Pernikahan ini sungguh membuatnya sangat tersiksa. Charles lagi-lagi membawa jalang ke kantornya. Dianggap apa dirinya oleh suaminya itu? Sampah, kah? Kenapa malang benar hidupnya kini setelah kedua orang tuanya tiada.

Langkah panjang Aaron tiba di depan Theresa. Sepasang mata Theresa terangkat pada wajah Aaron.

Dia sangat kaget melihat pria itu memasuki kamarnya.

"Nyonya, maafkan aku. Aku melihat Anda sedang menangis. Gunakanlah ini," tukas Aaron sembari menyodorkan sapu tangan warna putih pada Theresa. Dia melihat wajah wanita itu yang sudah dibanjiri air matanya.

Theresa masih tertegum menatap pria tampan di hadapannya. Sepasang netranya turun pada sapu tangan putih yang masih tergantung di depannya. Dengan perasaan tak karuan dia pun meraih sapu tangan itu lalu menyeka air matanya perlahan.

Aaron merasa lega melihat Theresa mulai tenang. Kemudian dia berjalan menuju meja dimana terdapat air mineral di sana. Dia segera menuangkan air itu pada gelas kecil lalu membawanya pada Theresa.

"Minumlah, Anda pasti sangat haus." Aaron menyodorkan gelas berisikan air putih itu pada Theresa.

Sementara Theresa masih tertegum melihat perlakuan Aaron padanya. Seumur hidup tak ada seorang pun yang perduli padanya selama ini. Theresa pun terharu dan kembali menitikan air matanya.

Aaron hanya menjatuhkan wajahnya melihat Theresa menangis. Perlahan tangannya terangkat ingin menyentuh bahu wanita malang itu. Namun ini sangat lancang baginya. Dia pun menggelengkan kepalanya dan menarik kembali tangannya.

"Istirahatlah, Nyonya. Aku akan berdiri di depan pintu." Aaron berdiri di samping ranjang king size dimana Theresa sudah membaringkan tubuhnya. Setelah semua emosinya berhasil dicurahkan, Aaron pun mengantar Theresa menuju tempat tidurnya.

Wanita itu hanya mengangguk. Theresa merasa lebih baik karena perhatian Aaron padanya. Dia pun memalingkan wajahnya dari senyum manis Aaron padanya. Ekor matanya melirik punggung kekar pria itu yang sudah menjauh darinya.

Aaron menarik knop pintu kamar Theresa dari luar. Dia tersenyum tipis lalu berdiri di depan pintu. Melihat Theresa menangis tadi sungguh sesuatu yang sangat istinewa baginya.

Tapi kenapa Theresa sangat sedih? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu kembali muncul di benaknya.

***

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Long dress selutut warna hitam tampak indah membalut tubuh sintal Theresa. Rambut panjang kecokelatannya dibiarkan tergerai bergelombang indah. Riasan wajah yang agak glamour menegaskan letak kecantikan wanita berusia 30 tahun ini yang begitu memesona.

Sepasang mata Aaron seolah tak ingin berkedip melihat Theresa yang sedang menuruni anak tangga menuju padanya. Cantik dan sangat menggairahkan, jakun Aaron turun naik menelan salivanya.

"Malam ini aku berangkat sendiri lagi?" tanya Theresa pada Bianca yang sudah menyambutnya di bawah tangga.

"Maaf, Nyonya. Presdir sedang sangat sibuk. Beliau akan menyusul nanti," jawab Bianca dengan suara yang terdengar tidak nyaman.

Theresa hanya terdiam. Hal ini sudah sering terjadi. Suaminya itu tak pernah mau berada dalam satu mobil dengannya. Entah kenapa. Padahal dahulu Charles selalu memperlakukan dirinya dengan sangat baik. Semua ini semakin memburuk sejak partai politik itu didirikan.

Theresa menghela napas lalu melanjutkan langkahnya menuju pada Aaron yang sedang berdiri di samping mobil Limosin putih yang akan membawanya menuju Hotel My Berry.

"Silakan, Nyonya." Aaron membukakan pintu mobil untuk Theresa.

Dengan acuh Theresa pun memasuki mobil. Sementara Aaron segera menutup pintunya. Dia masih mencemaskan Theresa. Sepertinya mood Theresa masih buruk, pikir Aaron.

Theresa duduk tenang di dalam mobilnya. Sial! Dimana Charles? Kenapa pria bodoh itu selalu membuatnya malu di depan semua orang. Sekarang bagaimana dirinya menjawab pertanyaan semua orang, kenapa dirinya datang seorang diri ke pesta Tuan Edward.

Theresa memalingkan wajahnya pada jendela mobil. Sebaiknya pria seperti Charles itu memang tak perlu diharapkan! Lagi pula dirinya hanya bagai kotoran saja di mata Charles. Pria serakah itu sungguh tidak berguna! Theresa meremas tepi long dress hitamnya penuh emosi.

Setibanya di Hotel My Berry. Aaron segera keluar dari mobil CRV yang ia kemudikan. Kemudian dia segera berlari menuju mobil Limosin putih dimana Theresa berada. Di pelataran hotel sudah dipenuhi para reporter yang berdesak-desakkan ini mengambil gambar Theresa.

"Silakan, Nyonya." Dengan sigap penuh hormat Aaron segera membantu Theresa keluar dari mobilnya.

"Nyonya Bosley!"

"Nyonya Bosley tunggu!"

Terikan para reporter mulai ricuh kala melihat Theresa keluar dari mobil. Sejak Charles mendirikan partai politik, hidupnya tak pernah lepas dari kejaran para media yang haus akan berita tentang dirinya.

"Ayo, Nyonya." Aaron meraih jemari Theresa dengan acuh lalu menggandeng wanita itu menuju lobi hotel. Sementara para bodyguard yang lain membantu menertibkan para reporter agar Theresa bisa lewat.

Sepasang mata Theresa menoleh pada Aaron. Genggaman pria itu membuat jantungnya berdebar-debar. Namun terasa sangat nyaman kemudian.

Aaron menoleh sesa'at pada Theresa. Genggaman ini sangat nyaman baginya. Dia menyukainya. Jemarinya semakin erat meremas jemari Theresa. Akibatnya Theresa merasa kaget. Perasaan apa ini? Kenapa dirinya merasa genggaman Aaron sangat posesif padanya.

Next chapter