2 Selamat sore Perempatan

Karenina memarkirkan mobilnya di depan warung makan di jalan Pancoran Raya, keluar dari mobil dengan menggunakan topi dan celana levis belel serta kaos berwarna hitam, dibahunya mengantung sebuah gitar tua peninggalan ayahnya.

Karenina berjalan menghampiri salah seorang pengamen jalanan, "kakak mau ngamen juga?" Tanya sang bocah bernama Yudi, "Kakak Cuma suka nyanyi aja, boleh kakak bantu ngamen?" Tanya Nina pada Yudi.

"Boleh Kak, kakak cantik, siapa tahu banyak yang kasih uang, jadi bisa makan enak kita hari ini." Ujar si bocah.

"Oke, Yuk, ngamen dimana kita?" Tanya Karenina pada Yudi.

"Di tugu pancoran kak, kalau jam segini kan pmacet kak disana."

"Ya udah yuk kita jalan." Ajak Karenina pada Yudi.

"Kamu sudah lama ngamen?" Tanya Karenina.

"Lama kak, sejak ayah meninggal."

DEG

Jantung Karenina seakan berhenti berdetak, anak sekecil itu harus banting tulang di ibu kota yang terkenal kejam. Mengamen sepanjang hari demi keluarganya bisa mengenyam enaknya sebutir nasi.

"Di mana ibumu?"

"Ibu di rumah menjadi buruh cuci kak."

"Oh, ehm_kamu punya adik?"

"Punya. Satu." Jawab Yudi.

"Dari jam berapa kamu ngamen?"

"Dari pulang sekolah kak, sampai menjelang isya."

"Oh, kamu ga laper?"

"Laper sih, tapi kalau aku beli nasi disini, nanti adik sama ibuku makan apa kak."

Lagi, hatinya mencelos mendengar apa yang dikatakan oleh Yudi.

"Yuk kak! Mumpung lampu merah kita cepet ke perempatan." Yudi menarik tangan Karenina untuk diajak berlari di perempatan Tugu Pancoran.

"Kakak yang nyanyi, aku yang maintain duit." Yudi tersenyum pada Karenina.

Karenina mengangguk lalu mulai memainkan gitarnya, suara merdunya bak oase di tengah gurun pasir bagi orang yang mendengarnya, petikan gitar yang minim nada fals membuat indah di telingga, Yudi bersemangat mengacungkan kaleng bekas pada setiap mobil yang berhenti di lampu merah pancoran.

Keringat mulai bercucuran di dahi Karenina yang tertutup topi, tak jarang Karenina mendapat godaan dari para sopir dan pengguna jalan karena wajahnya yang teramat cantik.

"Malam tadi kau menjelma seperti bintang yang berkilau diantara awan hitam yang melintas, dan sore ini kau berubah menjadi bunga di trotoar, besok pagi kau berubah jadi siapa, sayang." Gumam laki-laki berkemeja putih di belakang kemudi mobil keluaran terbaru.

"Karenina, Kau milikku, apapun wujudmu. Kau tetap Kareninaku." Laki-laki itu terus bergumam, sorot mata tajamnya berubah lembut kala menatap wajah cantik dengan suara mendayu.

Karenina dan Yudi berjalan mendekat kearah mobil laki-laki itu, suara lembut Karenina yang selalu terngiang di telingga kini benar-benar ada di samping jendela kemudi yang ia pegang.

"Hati kecil berbisik untuk kembali padanya_" Sebait lagu iwan fals dinyanyikan Karenina dengan apik di belakang Yudi berdiri.

Yudi mengulurkan kaleng bekas pada sang lelaki, lalu kaca jendela mobil terbuka, dua lembar uang seratus ribu tergelatak di dalam kaleng bekas dari laki-laki itu, membuat Yudi berulang kali mengucapkan terimakasih pada sang pemberi. Karenina tersenyum sekilas sebagai bentuk terima kasih pada laki-laki pengangum rahasianya itu kemudian ia berlalu menuju ke mobil lainnya yang masih terjebak macet di lampu merah yang mengantri panjang.

"Kak, Alhamdulilah kak, kita dapat uang banyak, baru aja satu jam ngamen udah dapat uang segini banyak." Ujar Yudi dengan senyum lebar dan mata berbinar.

Karenina mengacak rambut tebal Yudi. "Coba dihitung dapat berapa, Yud." Kata Karenina ikut bahagia melihat senyum Yudi.

"Iya Kak." Ujar Yudi yang langsung menuang seluruh isi kaleng bekas yang berisi uang pecahan dari nominal lima ratus rupiah hingga seratus ribuan.

"Semua hampir dapat delapan ratus ribu kak, ini bisa buat beli sepatu untuk sekolah adikku, dan juga membayar buku di sekolah, terimakasih ya Allah, terimakasih ya kak udah bantu Yudi, ini bagian kakak." Yudi memberikan separuh uang itu pada Karenina, namun dengan cepat Karenina menolaknya.

"Untuk kamu saja, Kakak Cuma ingin bantuin kamu aja kok."

"Beneran, Kak?" Tanya Yudi melongo.

Karenina mengangguk sambil menyungingkan senyum, tangannya membelai kepala Yudi, betapa dia masih jauh beruntung dari pada Yudi.

"Kamu pulang jam berapa? Ini sudah hampir maghrib lho." Tegur Karenina pada Yudi.

"Sekarang aja kak, tapi aku mau beli makan dulu di warung itu, buat ibu dan adikku. Kakak mau mampir ke rumah?"

"Boleh?"

"Boleh dong kak, kakak kan udah bantu Yudi ngamen, ini bisabuat makan sebulan sisanya kak."

Karenina hanya menanggapi dengan senyuman, makan sebulan? Uang segitu biasanya Karenina habiskan hanya untuk membeli vodka satu gelas.

Karenina menarik nafas panjang, kemudian mengikuti langkah Yudi menuju ke sebuah warung makan, membeli nasi bungkus dengan lauk ikan tongkol dan orek tempe serta sayur kangkung, Yudi tersenyum saat menerima empat bungkus nasi, lalu memberikan uang lima puluhan ke si ibu punya warung.

"Ayo kak kita pulang."

Karenina mengangguk lalu mengikuti langkah Yudi menyusuri trotoar, lalu masuk ke sebuah gang kecil yang sempit dan berliku. Tak lama mereka sampai di sebuah rumah berpetak-petak. Yudi mengucapkan salam lalu keluar seorang ibu-ibu yang mengandeng seorang anak kecil keluar dari pintu rumah petak itu.

"Yudi, tumben kamu sudah pulang, Nak?" Tanya Sang ibu pada anak laki-lakinya.

"Iya buk, udah dapat uang banyak jadi Yudi pulang, kebetulan besok ada ulangan jadi nanti malam Yudi bisa belajar, oya buk, kenalin ini kak Karenina yang tadi bantuin yudi ngamen, Yudi jadi dapat uang banyak buk."

"Oya," jawab Sang ibu sumringah.

"Nak, Karenina terimakasih sudah membantu anak saya."

"Sama-sama buk."

"Buk, ini Yudi udah beli nasi bungkus empat, yuk kita makan." Ajak Yudi.

"Alhamdulilah, ayo masuk nak Karenina kita makan bareng." Ujar sang ibu.

"Iya buk terimakasih."

Karenina masuk ke rumah petak berukuran 4x6m dengan hati yang teriris perih, walau Karenina bukan anak dari kalangan konglomerat tapi ayahnya yang seorang karyawan di sebuah pabrik mampu member mereka kehidupan yang layak dan tak kekurangan. Hingga ketika sang ayah meninggal dia harus berganti menjadi tulang pungung keluarga dengan merawat ibunya yang sakit parah.

Rumah yang di beli ayahnya dengan susah payah terpaksa ia jual untuk pengobatan sang ibu tapi tetap tak mencukupi, akhirnya Karenina bekerja sebagai penyanyi di beberapa café dan club malam milik salah seorang sahabatnya.

"Kak, ini makan kok malah melamun." Tegur Yudi, yang membuat Karenina tergagap.

"Oh ya, terimakasih." Karenina membuka nasi bungkus yang dibeli oleh Yudi, entah kapan terakhir dia makan makanan seperti ini, selama ia bekerja di café dan club malam apa lagi setelah ibunya meninggal, Karenina tak pernah memakan makanan rumahan seperti itu.

Air matanya hampir menetes namun sebisa mungkin ia tahan, hingga beberapa menit kemudian ia menghabiskan makanannya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan di berikan kepada ibunya Yudi.

"Nak Karen, ini terlalu banyak, lagi pula nak Karen sudah membantu Yudi ngamen, kok masih ngasih uang ke ibu segala, tidak perlu nak, ini untuk keperluan Nak Karen saja." Ujar Ibu Yudi karena tak enak hati menerima bantuan dari Karenina.

"Ini untuk ibu, saya masih punya, lagi pula besok saya gajian, terima saja buk."Ucapan Karenina sontak membuat sang ibu justru menangis karena kebaikan hati Karenina.

"Terimakasih buk, saya permisi dulu."

Karenina keluar dari rumah Yudi setelah berpamitan dengan Yudi serta ibunya. Karenina kembali menyusuri gang sempit menuju ke jalanan besar yang akan mengantarkan ia ke warung makan tempat ia memarkirkan mobilnya.

"Terimaksih, Pak." Ucap Karenina pada tukang parkir warung makan seraya memberikan uang sertus ribuan pada tukang parkir itu yang langsung tersenyum senang karena Karenina tak mau menerima uang kembaliannya.

Karenina melajukan mobilnya ke jalanan yang ramai, untuk menghilangkan sepi ia memutar lagu kesukaannya, jari lentiknya mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya, lalu menyulut rokok itu kemudian menghisapnya penuh nikmat.

Ia tak pernah menyadari jika kemanapun ia melangkah ada mata yang akan selalu mengawasinya. Sebelum kembali kerumah ia singgah di pantu asuhan, seperti yang sudah-sudah ia hanya meninggalkan uang itu dipintu panti asuhan, lalu pergi begitu saja setelah memastikan dari kejauhan jika uang itu telah di terima sang pengurus panti.

avataravatar
Next chapter