1 Bab Jangan Hina Ibu

"Krupuk, krupuk!"

Gadis itu berjualan krupuk keliling, di stasiun kereta api dengan menjinjing karung. Ia memasuki gerbong satu ke gerbong yang lain. Matahari menyengat tepat di atas kepala, namun ia masih saja menjajakan barang dagangannya.

"Kerupuknya, Bu," ucapnya mengulas senyum. Seorang wanita sedang duduk di dekat jendela, melihat ke arah luar.

"Enggak, Nak."

"Krupuknya enak loh, Bu. Ini kerupuk kulit. Asli dari kulit sapi."

Ibu tadi hanya tersenyum, dan menggelengkan kepala. Ia tersenyum kecut saat mendapatkan penolakan, dari beberapa penumpang kereta api. Lantas gadis itu pun turun, berjalan ke gerbong di sebelahnya.

Tubuhnya yang kurus berjalan gontai, sudah dua hari ini dagangannya sepi pembeli. Ia hanya makan satu kali sehari saja, bila krupuk yang dijual hanya laku beberapa bungkus saja. Tidak mudah mencari menjual barang dagangan, di saat musim pandemi ini. Penumpang juga dibatasi, sejak covid 19 melanda wilayah negeri.

"Diandra!"

Gadis yang dipanggil pun, segera menoleh ke arah sumber suara. Dia berhenti, menunggu sahabatnya yang berlari kecil dengan napas ngos-ngosan.

"Nia?! Ada apa?"

Nia mengatur napas, sebelum dia mengatakan kepada Diandra--sahabatnya. Gadis berkulit sawo matang itu, menatap lekat-lekat. Dia ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Diandra, yang biasa akrab dipanggil Andra.

"Andra, gue lihat ibumu terjatuh dari tempat tidurnya tadi. Sewaktu aku lewat depan rumahmu dengan pintu yang terbuka," jelas Nia mengatur napasnya.

"Apa? Ibu jatuh?"

Nia mengangguk. "Iya."

"Lalu bagaimana keadaanya sekarang?"

"Tidak tahu. Gue ingin menolongnya, tetapi …."

"Apa?"

Hening. Nia terdiam untuk beberapa detik. Bingung harus mengatakan apa kepada Andra. Dia cuma kasihan kepada Diandra, harus menjadi tulang punggung keluarga. Sejak Diandra kecil, dia harus menggantikan tugas sang ayah untuk menghidupi keluarga.

Lelaki yang disebut sebagai ayah hanya bisa memeras dirinya. Diandra cuma bisa menurut tanpa bisa membantah. Umur tujuh tahun dipaksa mengemis, di perempatan lampu merah. Jika pulang tidak membawa hasil, maka ayahnya akan memukulnya dengan menggunakan tali pinggang.

Begitulah kejadian ini, selalu berulang-ulang terjadi dengan dirinya. Dipukul, dikurung dalam kamar mandi itu sudah biasa. Bagi Diandra itu bukan hal yang pertama, jika pulang tidak membawa uang, ataupun hanya mendapat hasil sedikit dari mengemis di lampu merah.

"Ibu!"

Diandra segera berlari pulang, dia tidak peduli Nia--sahabatnya masih berdiri di dekat gerbong kereta. Dia hanya ingin segera pulang melihat keadaan ibunya. Wanita yang sudah membesarkannya dengan kasih, dan sayang selama delapan belas tahun. Tanpa mengeluh, mengadu, ataupun melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu.

"Tunggu, Andra!" sergah Nia.

Diandra terus saja berlari sambil membawa krupuk di punggungnya, menuju ke rumah. Dari stasiun kereta hanya berjarak sekitar lima ratus meter saja, tempatnya berteduh dari panas, dan hujan. Tidak layak disebut rumah, karena itu bentuknya lebih mirip dengan gubuk.

Berdinding kardus, dan beratap plastik. Bila hujan, angin datang, sudah dipastikan akan rubuh. Namun, dia dan ibunya sejak dulu sudah menempati di sana. Jika kereta api melintas, timbul getaran seperti gempa bumi. Tiap hari Diandra, dan ibunya hanya bisa diam, pasrah menerima nasib yang tak kunjung membaik.

"Ibu!" Diandra bergeming.

Tubuh kurus itu tergeletak di lantai tanah, mulutnya mengeluarkan darah. Napasnya terdengar ringkih. Wajah itu juga terlihat pucat seperti mayat hidup, hanya tulang berbalut kulit saja. Pakaian yang melekat di badannya juga kumal.

"Andra!" lirihnya. Diandra mendekat, menolong ibunya yang terbaring di lantai tanah tanpa alas kaki.

"Dimana Ayah?" tanyanya membantu ibunya berdiri.

"Ibu tidak tahu, Nak. Sejak dari tadi Ibu sendirian di sini."

Diandra mengepalkan tangan, giginya terdengar gemeretak. Dia tahu kemana sang ayah pergi, jika sedang tidak ada di rumah. Lelaki itu pasti berada di tempat perjudian, dan sedang mabuk-mabukan bersama teman-temannya.

Kebiasaan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejak Diandra belum genap berumur sepuluh tahun. Diandra kecil selalu menjadi saksi kekejaman ayahnya. Ketika suami ibunya pulang dalam keadaan mabuk, ia pasti akan marah, memukul wanita itu.

"Dasar laki-laki pemabuk! Bisanya cuma menghamburkan uang saja." Diandra menggerutu. Sumpah serapah ditujukan pada sang ayah.

"Kamu jangan begitu sama bapakmu, Nduk. Bagaimanapun juga dia adalah Ayah yang harus dihormati."

"Dia suami yang tak bertanggung jawab, Bu. Kerjanya hanya main judi, mabuk dan tidur dengan perempuan bayaran. Aku benci dengannya."

"Maafkan, Nak. Andai saja Ibu tidak sakit mungkin bebanmu tidak akan seberat ini."

"Ibu tidak salah. Pria kejam itulah yang salah. Dia hanya menghabiskan uang saja di meja judi atau mabuk bersama teman-temannya."

"Nduk, andai suatu hari nanti Ibu tiada, kamu harus pergi dari sini."

"Ibu kenapa ngomongnya begitu? Aku pasti akan berusaha untuk mengumpulkan uang banyak untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Aku ingin Ibu secepatnya sembuh dan kita akan segera pergi dari tempat terkutuk ini."

Wanita kurus itu hanya tersenyum miring, mengelus dadanya yang terasa sesak. Penyakit paru-paru yang menyerangnya, sudah tidak bisa diobati. Ditambah keterbatasan biaya untuk membayar dokter. Diandra hanya membawa ibunya berobat ke puskesmas setempat, namun lambat laun penyakit wanita paruh baya itu semakin parah.

"Ibu cuma ingin melihatmu bahagia, Nduk. Kamu akan tetap seperti ini jika terus bersama kami."

"Kenapa Ibu ngomongnya gitu? Seakan besok mau mati saja."

Wanita itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya menatap kosong ke arah luar. Pintu yang terbuat dari terpal sedikit melambai, dihembus angin yang bertiup menyapu gubuk itu.

"Laila! Bilang sama anak haram itu untuk membawa uang yang banyak. Atau aku akan menjualnya kepada rentenir." Suara teriakan terdengar di luar. Diandra tahu, itu suara ayahnya yang baru pulang dari tempat perjudian.

Diandra bangkit dari tempat duduknya, ingin memberi pelajaran kepada pria yang sedang berdiri di luar sana. Meski dia hanya seorang wanita, tetapi Diandra punya ilmu bela diri. Dia mempelajari cara memukul lawan dan mematahkan tulangnya. Ilmu itu dipelajari, saat sedang bergabung dengan anak terminal.

Teman-temannya semuanya laki-laki, namun Diandra tidak pernah membedakan, bersahabat dengan siapa saja. Sebelum melangkah keluar, tangan kurus itu mencekalnya.

"Jangan, Nduk! Ndak usah diladeni omongan bapakmu. Dia sedang mabuk. Lebih baik kamu lanjutkan saja berjualan daripada harus menanggapi pria sepertinya."

Diandra bergeming. Beberapa saat dia terdiam. Mencoba untuk berdamai dengan hati yang ingin meronta, keluar menghajar mulut sang ayah bermulut besar. Tetapi niat itu dia urungkan.

"Hei, Laila! Suruh anak haram itu pergi dari sini. Aku ngantuk mau tidur. Nanti kalau sudah bawa uang banyak bangunin aku!" Lelaki itu berjalan terhuyung-huyung mendekati sang istri.

Bau napas yang menguar dari mulutnya, tercium aroma yang tidak sedap. Diandra yang mencium bau busuk itu, menjadi mual dan ingin memuntahkan isi perut.

"Dasar pemabuk!" cetus Diandra.

"Apa katamu?" tangan pria itu langsung terangkat ke atas ingin menampar.

"Jangan, Mas. Kamu tidak boleh menyakiti anak kita lagi."

"Ah, minggir! Aku harus memberi anak haram ini pelajaran. Dia sudah berani melawanku sekarang!" hardiknya.

"Mardan! Aku mohon jangan sakiti, Diandra. Kasihan dia," ucap Laila menghiba.

"Hahaha …. " Mardan tertawa keras. Laila bersimpuh memeluk kaki suaminya.

"Menjauh dariku istri penyakitan! Kau sama saja dengannya. Kenapa aku dulu bisa menikah dengan wanita bodoh sepertimu," dengkus Mardan.

"Cukup, Ayah! Jangan hina lagi Ibuku. Kalau tidak …. " Diandra menjeda kalimatnya.

"Kalau tidak apa ha? Kau mau memukulku? Atau mau mematahkan tulangku."

Diandra maju kedepan, netra itu saling bertatapan, bagai busur panah yang siap menikam. Keduanya penuh dengan kebencian, sementara Laila hanya bisa pasrah. Melihat anak dan suaminya bertengkar. Bisa jadi Diandra akan mematahkan tulang ayahnya, dari ilmu bela diri yang selama ini dia pelajari. Untung saja masih dia tahan kesabaran.

"Diandra, Mas Mardan hentikan! Jangan bertengkar. Aku mohon kasihanilah aku yang tak berdaya ini," ratap Laila terisak.

"Bilang sama anak haram ini agar bersikap sopan padaku." Mardan berkata sambil menjatuhkan bobot tubuhnya. Pria itu terbaring di lantai tanah dengan beralaskan tikar pandan.

Di dalam gubuk itu, mereka tidak mempunyai tempat tidur, yang layak dipergunakan untuk merebahkan tubuh. Hanya beralaskan tikar dan berselimut kain jarik tipis. Bila hujan tiba, sudah tentu kondisi sangat dingin. Diandra, dan ibunya akan tidur saling berdekatan untuk mengurangi hawa dingin.

"Bu, kenapa Ayah selalu memanggilku anak haram. Sebenarnya aku anak kalian atau bukan?" tanya Diandra pelan. Dia membantu Laila duduk di atas balai-balai bambu yang sudah reot.

Kemiskinan sudah membuat mereka hanya bisa pasrah, dan banyak berdoa. Kesulitan ekonomi sudah menjadi makanan sehari-hari. Diandra tak pernah mengeluh, menjerit ataupun berkecil hati. Dorongan dan semangat ibunya telah membuatnya menjadi wanita yang kuat, dan tangguh.

"Jangan dengarkan apa yang dikatakan bapak mu, Nduk. Dia cuma asal sebut saja. Kamu adalah anakku."

"Andra gak percaya, Bu. Setiap kali Ayah marah selalu berkata aku anak haram."

Laila bergeming. Bibirnya kelu ingin mengatakan satu rahasia besar kepada anak semata wayangnya. Rahasia yang sudah dia tutupi selama delapan belas tahun.

"Kamu anak Ibu, Nduk. Sampai kapan pun akan tetap begitu. Tidak ada yang berubah dan tidak ada yang akan merubahnya."

"Ibu pasti bohong. Jika tidak ada rahasia kenapa Ayah bersikap seolah-olah aku ini bukan darah dagingnya."

"Itu hanya perasaanmu saja, Nak."

"Tidak ada asap kalau tidak ada api, Bu."

"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang kamu lanjutkan berjualan saja sana! Daripada harus menebak-nebak apa yang terjadi masa lalu."

"Aku pasti akan mencari tahu kebenaran yang diucapkan oleh Ayah." Diandra bangkit dari tempat duduknya.

Gadis berambut tipis itu, berpamitan untuk melanjutkan berjualan kembali ke stasiun. Menjajakan krupuk kulit yang masih menumpuk di karung goni ukuran 50 kg. Malam ini ibunya harus makan jika mendapatkan uang. Kemarin malam keduanya harus tidur dalam keadaan perut kosong menahan lapar. Uang hasil penjualan telah dirampas Mardan untuk berjudi, dan main perempuan.

***

Bersambung.

avataravatar
Next chapter