1 BAB 1

"Siapa target kita kali ini?" tanya Greta kepada pria yang saat ini tengah berbaring diatas ranjang. Netranya sama sekali tidak mengarah pada pria itu. Ia masih sibuk dengan dirinya sendiri. Melepas celana dalamnya dari gaun ketat merah yang ia kenakan. Berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah anggunnya sembari melepaskan gaun tersebut.

Ia melemparkan tanga miliknya ke arah pria itu dengan asal.

Brukk!!

Tanga hitam itu kini tepat mendarat diwajah Vinson.

"Woi! Bangsat lo!" gerutu Vinson dengan kesal. Ia dengan spontan langsung melempar kembali tanga milik Gre ke sembarang tempat.

Celana dalam berbentuk huruf V itu kini terlempar jauh ke lantai.

Tawa Gre renyah. Meski sudah memasuki bathup, tapi suaranya masih bisa sampai ke telinga Vinson. Karna seperti biasa, Gre lagi-lagi tidak menutup pintu kamar mandinya.

"Haha. Habisnya lo gue tanyain kenapa nggak jawab? Diem bae."

Vinson membetulkan posisinya. Kini ia berbaring ke sisi kanan agar bisa menghadap ke arah Gre. Meski jarak mereka 3 meter.

"Kali ini, target kita nggak mudah." Vinson mulai memasang mimik wajah serius.

Netranya seperti mengawasi gerak-gerik Gre yang tangannya bermain dengan busa sabun. Padahal pikirannya jauh menerawang. Memikirkan tentang misi besar ini. Ia sadar jika dirinya memiliki tanggung jawab atas ini semua. Atas keselamatan Gre.

"Tell me and explain it!" bibir seksi itu berkata tanpa menoleh sedikitpun ke arah lawan bicaranya. Almond-shaped eyesnya terlihat sibuk memerhatikan tangan mulusnya yang sudah sedikit kasar. "Gue harus perawatan lagi." Begitu isi batinnya. Menjanjikan sesuatu pada dirinya.

"Dia bukan pejabat biasa."

Gre menoleh ke arah Vinson. Ia geram mendengar perkataan Vinson itu yang seolah-olah memperingatinya tentang kehati-hatian. Gre tidak suka. Baginya, semua pejebat dimatanya sama. Orang-orang yang haus akan kekuasaan. Gila jabatan. Tapi, mereka adalah orang yang paling banyak memiliki celah. Dan Gre percaya jika dirinya dapat memasuki salah satu celah tersebut.

"Emang selama ini target kita ada yang tidak pejabat biasa? You know kan semua berasal dari kalangan elit, yang duduk dikursi petinggi negara."

Vinson menghela napasnya. Ia sudah menduga sebelumnya jika tanggapan dari Gre seperti itu. Gre bukan gadis yang memiliki mental sembarang. Tidak bisa disepelekan. Pantang dianggap remeh.

Bertahun-tahun menjadi sahabatnya, membuat Vinson sudah hafal betul dengan karakter dan setiap perkataan yang terlontar dari bibir simetris milik Gre. Tegas. Penuh percaya diri.

"Sebelum dicoba, jangan sesekali pernah bilang kalau dia adalah target yang nggak mudah, atau segala macamnya yang menjurus kepada kegagalan kita. Aku nggak suka!" tegas Gre memberi ultimatum kepada Vinson. Best friend rasa asisten pribadinya itu.

"Okay. I am sorry," ucap Vinson nada mengalah.

"Btw, kapan dia dateng kesini?" Langsung Vinson mengalihkan topik. Ia bertanya untuk sekedar basa-basi.

"Dalam beberapa menit," jawab Gre. Ia sudah tahu Vinson menanyai siapa.

"Yaudah. Lo selesaian dulu semuanya sama dia. Ingat, ini hari terakhir lo sama dia."

"Ntar kita ketemu ditempat biasa, dan gue bakal ngirimin data-data target selanjutnya," imbuh Vinson sebelum melongos pergi dari kamar hotel mewah itu.

Sementara Gre masih melakukan ritual berendamnya tanpa menanggapi pamit dari Vinson dengan sepatah katapun. Netranya hanya berfokus pada satu objek. Kaki jenjangnya itu ia luruskan kedepan. Sesekali tangannya mengambil segelas air wine yang sudah tersedia tepat disebelahnya. Meneguk cairain merah itu dengan elegan. Seharian bekerja. Self rewardnya cukup berdiam diri seperti ini. Begitulah Gre.

Gadis yang selalu bangga terhadap dirinya sendiri. Bukan atas segala pencapaian materi yang ia dapatkan. Melainkan atas dirinya yang sudah berhasil melewati segala keperihan dihidupnya. Gadis malang yang lebih banyak memeluk luka selama 20 tahun sesuai dengan usianya. Hampir tidak ada tawa. Tidak ada tempat mengadu atas segala jerih payah. Bahkan, Gre sebatang kara. Tidak memiliki orang tua.

Lamunannya berakhir ketika ponselnya berdering. Diambilnya benda pipih itu diatas nakas disebelahnya. Unknown number call. Tidak ada nama. Tapi dia sudah tahu siapa yang sedang menghubunginya itu.

Salah satu jari lentiknya menekan tombol loudspeaker. "Hello, Honey?" Senyum simpul tergambar di bibir tipisnya.

Ia sejenak terdiam. Memberi space kepada lawan bicaranya untuk mengatakan sesuatu. Gre mengangguk berulang kali. Mengiyakan segala perkataan pria tersebut.

"Tunggu aku dikamar hotel yang sudah kita pesan. Aku akan datang 10 menit lagi," pungkasnya kepada Greta sebelum ia memutuskan sambungan telepon.

Gre tersenyum miring. Ia menyelesaikan mandinya dan keluar dari bathup mengenakan handuk kimono khas hotel berwarna putih. Bersiap untuk menyambut seorang pejabat elit yang sudah menjadi targetnya dalam sepekan ini. Ini waktunya untuk Gre melemahkannya.

Senyumnya menyeringai. Tidak sabar untuk menerkam mangsanya.

Pintu hotel terbuka. Pria yang sudah berumur itu memasuki kamar. Disambut oleh Gream

dengan senyum manisnya. Gre mengenakan lingerie hitam. Ia berjalan melenggok ke arah Shamir. Si petarung politik yang handal. Kabarnya, Shamir membuat kesalahan yang tidak terdeteksi hukum. Pencucian milyaran uang. Merugikan negara. Itu sebabnya, saat ini ia berada dikamar mewah tersebut bersama dengan Gre.

Pria tua itu tersenyum lebar. Cepat-cepat ia buka jas pejabatnya itu hingga perut buncitnya terlihat. Dadanya tidak bidang. Matanya hanya tertuju pada kemolekan tubuh gadis yang kini tengah berada dihadapannya. Satu kata yang keluar dari mulutnya untuk Gre. "SEXY!"

Gre sampai didepan pria itu. Pria yang lebih pendek darinya. Ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Shamir. Menghembuskan napas mintnya dengan pelan. Sengaja. Untuk memancing mangsanya itu.

Shamir dengan sigap membawa tubuh ringan Lona ke atas ranjang. Menindih Gre. Bak seekor karnivora yang menemukan daging segar, Shamir menciumi setiap titik rangsang tubuh Gre. Sementara gadis itu diam. Membiarkan mangsanya menang terlebih dulu.

Shamir berhenti. Matanya menatap ke arah Gre. "Keluar didalam ya."

Greta tersenyum. "Iya. Tapi sesuai dengan janjimu sebelumnya, Sayang." Satu tangan Gre membelai lembut bonggolan keras dari balik celana Shamir. Membuat pria itu sedikit menggelinjang.

"B-baik. Sebentar ya." Begitu jawab Shamir. Ia turun dari tubuh Gre, merogoh kantong celananya dan mengambil gadget pintarnya.

Drrtt!

Langsung saja ponsel Greta bergetar. Menandakan sebuah pesan telah masuk dari Shamir. Isinya adalah informasi tentang rekening banknya. Sesuai kesepakatan mereka sebelumnya, Gre meminta itu dengan alasan agar tidak ada yang ditutupi dari hubungan mereka. Seperti hubungan dizaman milenial pada umumnya. Transaparan, meskipun itu menyangkut informasi pribadi sekalipun.

Demi selangkangan, akhirnya Shamir menuruti permintaan Gre.

"Selamat Anda telah masuk ke dalam perangkapku!" ucap Gre dalam hatinya.

"Sudahkan, Sayang? Ayo kita lakukan." Shamir menindih tubuh Gre dengan kasar. Namun, Gre berusaha menepisnya. Membuat Shamir terhenti. Heran dengan gadis simpanannya ini.

"Ada apa?" tanyanya dengan kening yang berkerut.

Gre mengambil posisi duduk. Mengambil sebuah jarum suntik kecil dari balik bra. Tanpa mengatakan sepatah kata, ia langsung menyuntikkan obat bius itu ke lengan Shamir. Hanya hitungan detik, pria tua itu tidak sadarkan diri.

avataravatar
Next chapter