18 Pernikahan

Hari yang ditunggu oleh Maura tiba. Hari di mana kehidupan barunya akan segera dimulai. Suasana hati terasa gelisah, entah apa yang ditakutkan oleh Maura. Mata perempuan itu berembun, seharusnya hari ini sang ibu ada di samping. Melihat dia menikah dengan laki-laki yang telah dipilihnya.

Mengantarkan hingga ke pelaminan serta memberi restu padanya. Namun, semua asa itu tergantung. Sang ibu sudah pergi terlebih dulu meninggalkan dia sendiri. Maura memandang dirinya sendiri ke arah cermin. Dia seperti tidak mengenal seorang perempuan yang berdiri di depan sana tengah memakai gaun pernikahan.

Gaun yang dicoba oleh Maura kemarin, diganti oleh gaun yang terlihat sederhana serta berlengan panjang. Sesuai dengan permintaan Adelard, laki-laki itu tidak ingin Maura dilihat begitu lekat oleh laki-laki lain. Entah apa alasan yang sebenarnya.

Sudut bibir Maura tertarik ke atas membentuk bulan sabit. Mengingat awal dirinya bertemu dengan Adelard, sampai bisa sedekat ini. Bahkan terjebak lebih jauh dalam kehidupan laki-laki itu.

Dia menyeka basah di pipi. Air mata sempat terjatuh saat teringat sang ibu. Kemudian, mengulas senyum lebar menikmati suasana baru dalam hidupnya. Sebentar lagi, status dia akan berbeda.

Ijab kabul terdengar di luar sana. Lafaz cinta yang diimpikan oleh semua perempuan, seperti Maura terkabulkan. Sungguh, ada rasa lega kala mendengar Adelard mengucapkan dengan lancar. Tanpa sadar setetes air mata terjatuh dari pelupuk mata. Tidak menyangka bahwa sekarang status dirinya ialah seorang istri. Terlebih lagi istri dari seorang pewaris Malik.

Pintu kamar terbuka, Heni memasuki kamar. Membingkai wajah Maura dengan senang. Lalu memeluk dengan erat. Dia merasa bahagia dengan pernikahan Adelard.

"Selamat sayang, sekarang kamu sudah menjadi bagian keluarga kami. Semoga pernikahan kamu sama Adelard bisa menjadi keluarga yang sakinah, wawadah, warahmah. Oma seneng liat Adelard menikah," ucap Heni sembari menangis penuh haru.

Maura tersenyum kecil. Hatinya menghangat melihat Oma dan Ibu mertua dengan lapang menerima dirinya. Padahal dia hanya gadis sederhana, bahkan kasta mereka pun berbeda. Namun, keluarga Adelard memiliki hati yang baik. Mampu menerima tanpa harus melihat latar belakang.

"Ayo," kata Heni sembari merangkul bahu Maura, berjalan beriringan keluar dari kamar.

Langkah Maura terhenti, menatap lekat pada Jilva. Lalu bersimpuh di lantai dengan bantuan Heni, dia mencium punggung tangan ibu mertua. Saling berpelukan penuh dengan haru.

Jilva tidak akan merasa khawatir lagi dengan Adelard. Anak laki-lakinya itu sudah memiliki istri, yang bisa membantu dan melayani anak itu. Keinginan melihat Adelard menikah terkabul, sebelum ajal menjemput. Jilva tak ingin kembali merepotkan, dia ingin hidup sendiri bersama para pelayannya. Membiarkan Adelard kembali berkarir dan tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya.

"Kau benar-benar sangat cantik, Maura," puji Jilva.

Maura mengulas senyum lebar. Entah mengapa, sekarang dia begitu menikmati perannya sebagai menantu keluarga Malik. Menjadi istri dari pewaris cucu konglomerat. Tubuhnya dibantu bangun oleh Heni, Jilva memundurkan kursi rodanya. Memberi ruang pada Maura dan Heni agar bisa keluar dari kamar.

Kemudian, Maura mendorong kursi roda sang ibu mertua. Untung saja, kamar yang ditempati oleh Maura berada di lantai satu. Suasana di ruang tengah begitu ramai, dekorasi pun terlihat megah sampai di halaman belakang. Pesta pernikahan yang berlangsung ada di rumah. Hadian menginginkan momen pernikahan cucu kesayangannya digelar di rumah.

Mata Maura berbinar, sungguh, rasanya benar-benar mimpi. Menikah dengan orang kaya, apalagi laki-laki yang menjadi suaminya. Bukanlah orang biasa, sudah tampan, dan banyak dikagumi oleh kalangan wanita. Pasti dulu banyak wanita yang mengantri ingin menjadi istri Adelard. Namun, Adelard malah memilihnya, walaupun cuma kontrak dua tahun.

Adelard merasakan degupan aneh di jantungnya. Tak berkedip sama sekali saat melihat Maura berjalan mendekat dituntun oleh Heni. Perempuan yang salah masuk kamar hotelnya kala itu, kini telah menjadi istrinya. Padahal Adelard memiliki alasan lain meminta agar Maura mau menandatangani kontrak tersebut.

"Kau benar-benar sangat cantik. Pasti Ibumu merasa senang melihat anaknya mengenakan gaun pengantin, bahkan terlihat sangat berbeda," ucap Adelard saat Maura tepat berada di hadapannya.

Pipi Maura memanas. Ah, dia yang dulunya tidak pernah baper dengan seseorang. Kini malah mulai goyah serta baper kala Adelard melontarkan berbagai mata manis. Hati Maura memang payah.

Lama berdiam, kini Maura mulai menyentuh tangan Adelard. Mencium punggung itu dengan takzim. Kemudian, Adelard mencium kening Maura dengan cukup lama. Semua orang yang berada di ruang tengah bertepuk tangan dengan bahagia melihat kedua pasangan pengantin itu.

"Sudah siap menjadi istri dari seorang Adelard?" tanya Adelard yang mampu didengar oleh Maura.

Maura menyempitkan mata dengan curiga, tidak mengerti dengan maksud ucapan laki-laki itu. Dengan bodoh, dia hanya mengangguk mengiakan. Menerima uluran tangan dari Adelard, sepasang cincin berlian dengan mata satu melingkar di jari manisnya. Benar-benar indah.

Setelah melakukan pertemuan antara kedua pasangan. Para tamu mulai menikmati pesta pernikahan tersebut. Ada yang memberikan restu untuk sang mempelai. Adapun yang sedang berburu makanan.

Maura bingung harus bersikap bagaimana saat dirinya berdiri di samping Adelard. Dia tidak begitu mengenal laki-laki itu. Yang ditahu, Adelard merupakan sang pewaris dan sikap laki-laki itu pun terkadang sering berubah-ubah.

"Istrimu begitu cantik. Ah, aku merasa iri dan menyesal karena bukan aku yang bertemu dengan dia terlebih dulu."

Maura menoleh saat mendengar suara berat serak dari laki-laki. Laki-laki itu berdiri di hadapan Adelard dengan angkuh, rambutnya berwarna merah tua sedikit kehitaman, matanya bulat berbola mata hitam keabu-abuan. Maura memperhatikan keduanya secara seksama. Aura permusuhan begitu kentara di antara mereka.

"Sampai penasaran seperti itu, kau pulang dari bisnismu, Xander?" Adelard mengejek. Tidak menyukai sifat arogan dari laki-laki itu.

"Tentu saja. Aku ingin lihat wanita seperti apa yang mau dengan bajingan sepertimu," ujar Xander tidak bersahabat. Sudut matanya melirik pada Maura tengah menatap keduanya. "Sepertinya dia gadis yang polos. Kalau kau bosan dengannya, kau bisa memberikannya padaku," imbuh Xander tidak tahu malunya. Lalu pergi begitu saja setelah menepuk pelan bahu Adelard.

Adelard membersihkan bahu kirinya yang ditepuk oleh Xander. Sorot mata laki-laki itu terpatri api kebencian pada Xander. Maura melihat sorot mata itu, bahkan aura yang terasa antara dia dan Adelard benar-benar berbeda.

"Aku peringatkan padamu. Jangan pernah bertemu dengan laki-laki itu. Jika aku tahu kau bertemu dengan dirinya, maka akan kupastikan ... hidupmu tidak akan pernah merasa tenang. Bahkan aku akan membencimu," ucap Adelard tepat di telinga Maura. Dia sedang kesal melihat keberadaan laki-laki itu.

"B--baik, tapi ... kalau boleh tahu, dia siapa?" Maura begitu penasaran. Ingin mengetahui lebih jauh seluk-beluk sosok Adelard.

"Adik tiriki. Anak dari Ibu tiriku," balas Adelard tanpa minat.

"Kau membencinya?"

"Jika kau bertanya sekali lagi. Maka akan kupastikan, besok kau tidak akan pernah bisa berjalan lagi!" Adelard murka. Padahal baru beberapa jam yang lalu, laki-laki itu terlihat tenang dan merasa bahagia. Namun, sekarang sikapnya mendadak berubah karena kehadiran Xander.

avataravatar
Next chapter