1 Nasib Sial

Seorang perempuan cantik berumur kisaran dua puluh dua tahun, tampak termenung di halte bus. Tatapannya kosong tertuju ke arah depan sana, menatap jalanan yang lenggang. Dia mengembuskan napas kasar berkali-kali, meratapi nasib sialnya hari ini.

Dia menengadah ke langit merutuki nasib yang selalu tak beruntung didapat. Dia baru saja merasakan pekerjaan selama dua bulan, tetapi masalah malah datang menghampiri. Sampai membuat dirinya terkena PHK. Dia tidak tahu lagi mesti mencari pekerjaan di mana lagi, sedangkan dirinya hanyalah lulusan SMA. Bukan sarjana, atau dari keluarga kaya raya. Sangat sulit mencari pekerjaan yang gajinya mencukupi di zaman sekarang.

Lagi pula dia hanya anak penjual gorengan. Selama ini yang membiayai semua kebutuhan dan sekolah ialah sang ibu. Sebagai tulang punggung keluarga semenjak sang ayah meninggal dunia. Dia sedih, karena tidak bisa membantu. Gaji pertamanya pun hangus untuk membayar denda akibat kesalahan teknis menghilangkan file penting perusahaan. Sungguh, malang sekali nasibnya sekarang.

"Ke mana lagi aku harus mencari pekerjaan?" tanyanya kepada diri sendiri seraya mengembuskan napas kasar.

"Sementara ini kota Jakarta, kota yang keras. Sulit mencari pekerjaan di sini, ingin merantau. Kasihan ibu, nanti sendirian di rumah. Tidak merantau malah menjadi beban untuk ibu."

Lagi-lagi dia mengeluh meratapi nasib hidupnya yang selalu tak bahagia. Maura Agnia, perempuan bersurai hitam legam panjang. Memiliki bola mata hazel bermanik mata cokelat terang, hidung mancung, dan juga alis lentik tanpa maskara. Namun sayang di balik wajah cantiknya, dia selalu saja menerima nasib sial. Tak ada secercah cahaya kebahagiaan dalam hidup, hanya kesialan saja.

"Yaa Tuhan, aku harus mencari uang ke mana. Kasihan ibu di rumah, belum lagi aku harus membeli beras dan obat untuk ibu."

Tidak ingin berlama-lama melamun tidak jelas. Maura beranjak pergi menjauh dari halte bus untuk pulang. Tak apa kalau hari ini dia gagal, masih ada hari esok. Semoga saja setelah ini, ada rezeki yang datang menghampiri, agar dia bisa membeli obat untuk sang ibu.

***

"Assalamualaikum," ucap Maura memasuki rumah dengan interior sederhana. Berbentuk petak dan hanya ada satu ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas membentuk bulan sabit.

Pandangannya tertuju ke arah wanita paruh baya yang tengah membuat adonan gorengan. Wanita paruh baya itu menoleh sembari tersenyum manis mendapati anak perempuannya sudah pulang dari kerja. Tumben sekali, anak itu pulang lebih cepat, pikirnya.

"Maura, kenapa kau pulang sangat cepat? Apa ada masalah di kantor?" tanya Vivi—Ibu dari Maura.

Maura bergeming, menatap kosong adonan gorengan di depannya. Lalu menatap sang ibu dengan sayu.

"Ibu, anakmu telah gagal," ucap Maura dengan nada tercekat.

Vivi menaruh sendok dari tangannya, menghampiri sang anak di ujung meja sana. Sontak saja, Vivi langsung menarik Maura dalam dekapannya. Dia memahami bagaimana perasaan sang anak sekarang ini.

"Tidak apa-apa, masih ada hari esok, Maura. Sudah jangan menangis, kau bisa mencobanya esok," kata Vivi sembari mengelus pelan bahu sang anak.

Maura melepaskan pelukan itu, menatap sayang ke arah sang ibu. "Tetapi, Maura tidak bisa mewujudkan janji Maura yang ingin membelikan obat untuk Ibu."

Maura memang sudah berjanji kepada sang ibu, setelah dia pulang dari kantor. Dia akan mampir ke apotik membeli obat untuk sang ibu. Namun keinginannya itu hanyalah angan-angan saja.

"Tidak apa-apa. Obat Ibu masih ada, kalau habis. Bisa beli obat warung, lebih baik kau mandi. Lepas itu salat Zuhur, lalu bantu Ibu berjualan gorengan."

Maura mengangguk, berjalan tanpa ada rasa semangat menuju kamarnya. Dia menatap pantulan bayangannya di cermin rias. Wajah cantik saja tidak bisa membuatnya diterima di pekerjaan apa pun. Sekarang yang diperlukan hanyalah ijazah.

"Yaa Tuhan, Yaa Allah, tolong bantu hamba. Tunjukkanlah jalannya," batin Maura menengadah ke langit-langit kamarnya.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Maura sudah siap dengan pakaian santai. Dia membantu sang ibu menggoreng berbagai aneka gorengan, ada bala-bala, bakwan, dan juga pisang goreng. Hanya ada tiga aneka gorengan saja.

"Bu, ini kita mau ngider apa jualan di depan rumah?" tanya Maura setelah selesai meniriskan bakwan tersebut.

"Eumm ... mungkin lebih enaknya Ibu ngider. Maura berjualan di rumah, bagaimana?" saran Vivi.

"Lebih baik Ibu di rumah, Maura yang ngider. Bagaimana? Nanti kalo Ibu mengider, penyakit Ibu malah kambuh."

Vivi bergeming sejenak. Ucapan Maura ada benarnya, mengingat dia memiliki riwayat penyakit diabetes dan gagal ginjal. Membuat dia mesti hati-hati, takut sewaktu-waktu penyakit yang diderita bisa saja kambuh. Dia juga memiliki hutang di mana-mana, yang dipergunakan agar bisa mencuci darah setiap bulannya. Mau tidak mau Maura harus giat mencari uang agar bisa melunasi hutang sang ibu serta membawa sang ibu berobat.

"Ya sudah, terserah kau saja. Kalau misalkan enggak habis, langsung pulang. Jangan memaksakan," ujar Vivi.

"Siap, Bu," seru Maura seraya terkekeh kecil.

Maura sudah siap menjinjing keranjang merah dalam genggamannya, bersiap berjualan keliling menjajakkan gorengannya. Sementara Vivi, dia berjualan di depan rumah.

"Hati-hati, ya," kata Vivi.

"Maura pergi dulu, ya, Bu. Assalamu'alaikum," sahut Maura setelah menyalami tangan sang ibu.

"Iya, wa'alaikumsalam."

Sepeninggalan Maura, Vivi merasakan rasa sakit yang luar biasa di sekitar perut. Ditambah dengan sakit kepala yang menerpa. Dia berjalan kembali memasuki rumah, sembari berpegangan pada dinding guna menopang tubuh agar tak terjatuh.

Sesampai di dalam, dia berhenti di almari kecil. Menarik laci, mencari obat yang selama ini dikonsumsi untuk meredakan rasa sakit di kepala. Lalu menuangkan air yang terdapat di meja almari, meminum obat itu guna meredakan nyeri di sekitar perut.

Vivi mengembuskan napas pelan, memejamkan mata kala merasa kalau rasa sakit yang sedari dirasa. Sudah lumayan membaik. Mata itu kembali terbuka, menatap sendu ke arah depan. Merasakan kemalangan, hidup dengan ekonomi pas-pasan.

Hutang yang dipinjam sedari dulu, kini semakin membesar. Uang yang dipinjam untuk biaya pengobatan. Serta untuk makan sehari-hari. Melihat Maura yang sudah bekerja keras, membuat Vivi merasa sedih. Seakan-akan tidak bisa membantu dan selalu merepotkan Maura. Setidaknya Vivi bersyukur memiliki anak gadis seperti Maura, yang rela mengurus saat dia sedang sakit.

"Maafkan Ibu, Maura," gumam Vivi.

Vivi selalu berdoa, semoga saja kehidupan Maura suatu hari nanti. Tidak seperti dirinya, semoga saja Maura bisa memiliki suami yang mampu menafkahi serta bertanggung jawab. Ah, memikirkan hal itu rasanya mustahil. Tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan seorang gadis miskin yang tinggal di gubuk.

"Semoga kehidupanmu nanti, jauh lebih beruntung, Maura." Vivi berharap seperti itu.

avataravatar
Next chapter