19 Malam Pertama Maura

Pesta pernikahan Adelard masih berlanjut sampai malam. Para tamu dari kalangan bisnis Hadian serta Adelard terus berdatangan tak ada habisnya. Bahkan teman-teman kantor sang suami masih duduk dengan tenang di meja melingkar sana sembari mengobrol menikmati minuman beralkohol. Maura mengembuskan napas panjang, ternyata menjadi menantu orang kaya tidak menyenangkan. Entah sudah berapa jam dia mengulas senyum lebar ketika berhadapan dengan seorang tamu yang tengah memberikan berkat dan doa restu pada mereka.

Kaki Maura rasanya seperti akan patah. Mengikuti langkah Heni yang membawa dirinya diperkenalkan ke teman atau sahabat dari keluarga Malik. Setidaknya sekarang, Maura bisa mengembuskan napas lega, karena bisa duduk santai merenggangkan otot-otot kakinya.

Pandangan Maura mengedar ke sekitar, masih ramai. Tiba-tiba saja pikiran Maura malah tertuju pada malam yang akan terasa sangat panjang. Mau tidak mau, Maura mesti menyerahkan seluruh hidupnya pada Adelard. Bahkan melayani sang suami malam ini. Sungguh, Maura tidak berpikiran seperti itu tadi. Dia sibuk menyambut para tamu yang hadir begitu banyak. Sampai pikiran kotor setelah pernikahan bersinggah di kepalanya.

"Apa aku benar-benar harus menyerahkan seluruh hidupku pada Adelard malam ini? Secepat itu?" Maura menggeleng dengan pelan, mencoba mengusir berbagai pikiran kotor yang ada di kepalanya.

Sorot mata Maura tidak sengaja tertuju ke arah samping kanan. Dia bisa melihat suaminya sedang mengobrol bersama dengan teman dari kantor yang kebanyakan laki-laki. Mereka terlihat asik sembari tertawa lepas. Namun, terasa ada yang mengganjal saat Xander bergabung bersama mereka. Maura mengerutkan dahi melihat raut wajah Adelard mendadak berubah menjadi sinis. Entah apa yang tengah mereka bicarakan di sana.

Dada Adelard terasa panas. Amarah meluap dalam benak. Rasanya dia ingin sekali memukul wajah Xander sekarang juga. Jika saja bukan karena mereka bersaudara tiri, mungkin Adelard sudah menghabisi laki-laki itu. Nita hati ingin menikmati pesta malam, justru malah muak mendengar celotehan dari Xander.

Terlebih lagi saat Xander menyinggung Adelard mengenai hubungan percintaan. Mengingat Adelard tidak pernah dekat dengan seorang perempuan, sampai disangka memiliki kelainan seksual. Bahkan Xander terang-terangan menghina dirinya di depan teman kantor.

"Apa aku benar, Kak Adelard?" tanya Xander penuh penekanan.

Tangan Adelard mengepal di bawah meja. Tatapannya begitu tajam dan kilatan amarah terpatri di balik bola mata kehijauan itu.

"Kenapa kau selalu penasaran dengan kehidupanku? Apakah hidupmu membosankan sampai mengorek kehidupan orang lain?" Adelard begitu sinis mengucapkan kalimat itu.

"Jika kau mengelak, itu artinya rumor yang sempat beredar ternyata benar ... bahwa kau merupakan mantan gay. Kau menikah dengan dia, karena ingin harta kakek, 'kan?"

Empat orang yang berada di satu meja yang sama hanya menatap dan saling pandang. Tak lupa juga untuk menelan ludahnya sendiri; masing-masing. Merasakan hawa yang berbeda di meja mereka. Kentara dengan aura permusuhan sekaligus menenangkan. Mereka tahu bahwa dua saudara tiri dari keluarga Malik tidaklah akur.

"Berani sekali kau terang-terangan menghinaku di depan teman kantor. Apa kau tidak tahu malu?"

Adelard benar-benar sudah tak tahan menghadapi sikap Xander yang kurang ajar. Menuduh dia yang tidak-tidak.

"Ya, ya, terserah padaku. Aku hanya mengatakan rumor yang sempat aku dengar," ujar Xander seraya beranjak dari duduk dan pergi begitu sama dengan menggenggam segelas minuman.

Adelard mengembuskan napas panjang. Xander memang perlu diberi pelajaran agar lebih tahu diri serta tahu posisinya berada di mana.

"Aku permisi!"

Adelard pun ikut beranjak dari duduk. Meninggalkan empat teman kantor yang saling pandang juga berbisik mengenai pembicaraan yang terjadi antara dirinya dan Xander tadi. Mungkin mereka sudah beranggapan bahwa Adelard benar-benar mantan Gay. Namun kenyataannya, Adelard merupakan laki-laki normal. Dia tidak pernah dekat dengan perempuan, karena memiliki satu prinsip dalam hidup yakni, "Tetap bekerja keras, kerja keras, dan kerja keras". Untuk sekadar dekat dengan perempuan pun tidak pernah terpikirkan oleh Adelard, hingga pada akhirnya bertemu dengan Maura.

***

Pesta sudah selesai satu jam yang lalu, Maura terlihat termenung di atas ranjang. Memeluk lututnya sendiri, bimbang antara menyerahkan segalanya sekarang atau meminta waktu pada Adelard. Menunggu dirinya siap.

Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Adelard berdiri di ambang pintu sana. Dengan bertelanjang dada disertai rambut basah. Jantung Maura hampir saja copot melihat Adelard yang baru selesai mandi. Bahkan melihat dada bidang laki-laki itu serta roti sobek. Belum lagi, Adelard hanya melilitkan handuk di pinggang. Membuat Maura hampir menahan napasnya.

Sorot mata Maura tertuju pada Adelard, yang tengah berjalan mendekat ke ranjang. Tubuh Maura menegang sekaligus terkejut mendapati handuk kecil yang dilempar oleh Adelard.

"Tolong bantu keringkan rambutku," ucap Adelard yang kini duduk di hadapan Maura.

Maura melirik takut-takut, laki-laki itu masih melilitkan handuk pada pinggangnya. Maura pikir, handuk yang dilemparkan merupakan handuk lilitan tersebut. Mau tak mau dia menuruti perintah dari sang suaminya. Beranjak dari duduk, berdiri di samping Adelard.

Rasa canggung kembali menyelimuti benak, sungguh rasanya begitu canggung serta gugup berada dekat dengan Adelard. Dengan tangan bergemetar, Maura mulai mengeringkan rambut Adelard menggunakan handuk yang tadi dilempar.

Ruang kamar mereka terasa sepi, tak ada yang mau memulai pembicaraan terlebih dulu. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Maura berhenti mengeringkan rambut Adelard, lalu menaruh handuk tersebut ke atas nakas.

"Sudah. Sana pakai baju," ucap Maura degan gugup.

Adelard tak menggubriskan. Dia malah menarik tangan Maura hingga terduduk di pangkuannya. Sementara Maura mengalungkan tangan di leher Adelard. Jakun Adelard naik turun, hasratnya berkobar dalam benak.

Maura tidak bodoh, dia bisa melihat nafsu Adelard yang terpatri di manik mata kehijauan itu. Apalagi Maura merasa bahwa dia sedang menduduki sesuatu yang berharga milik Adelard.

"Kau sudah tahu bukan apa yang harus kau lakukan selanjutnya setelah pernikahan?"

"Memangnya, aku harus melakukannya? Sedangkan dalam kontrak tersebut kita hanya menikah," ujar Maura.

Adelard mengulas senyum miring. Menatap lekat wajah Maura, hingga turun pada bibir perempuan itu. Tangannya mengelus pelan pipi Maura, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Maura.

Maura memejamkan mata kala Adelard mendekatkan wajah mereka. Begitu dekat hingga dia bisa merasakan embusan napas hangat dari suami barunya. Hidung mereka bersentuhan, Adelard mengulas senyum kecil menatap Maura begitu dekat.

Kemudian, Adelard menekan tengkuk leher Maura dan mencium bibir atas perempuan itu. Ciuman yang dirasakan begitu lembut dan hangat. Sampai Maura tak berani membuka matanya sendiri.

"Buka matamu dan tatap aku," pinta Adelard setelah ciuman itu terlepas.

Maura menurut, sontak saja mata yang terpejam. Kini terbuka. Maura tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaannya sekarang. Wajah Adelard begitu tampan dengan bola mata kehijauan serta alis tebal yang begitu pas di kedua matanya.

Adelard kembali mendaratkan bibirnya di bibir atas Maura. Melumat bibir itu, hingga mencoba memasuki lebih jauh. Membuat Maura mengeratkan kalungan di leher Adelard. Sungguh, permainan ciuman yang diberikan oleh Adelard mampu membuat Maura tak bisa menolak. Bahkan dia menginginkan hal lebih.

Maura sudah pasrah. Menyerahkan seluruh hidupnya pada Adelard. Ingin merasakan hal lebih dari sekadar berciuman.

avataravatar
Next chapter