3 Keterpurukan

Setelah menunaikan ibadah salat magrib, Maura masih bergeming di tempat seraya berdoa meminta pertolongan kepada Sang Khalik. Agar memudahkan jalan keluar setiap masalah yang dihadapi.

"Yaa Allah, Yaa Tuhan, hamba memohon kepada-Mu. Berilah hamba jalan keluar dari masalah yang sedang hamba hadapi. Tolong angkat penyakit yang diderita oleh ibu hamba ... hanya kepada-Mulah aku memohon dan meminta, Aamiin Wallahumma Aamiin," batin Maura seraya mengusap wajah sebagai bentuk mengaminkan.

Dia memandang kosong depan, lalu segera membuka mukena serta membereskan ke tempat semula. Dia berjalan gontai menelusuri lorong rumah sakit. Apa yang harus dia lakukan? Sementara dia hidup dengan ekonomi pas-pasan. Maura juga sudah mencoba meminjam kepada sang paman yang berada di Bogor sana. Namun sang paman tidak mau membantu, mengatakan bahwa dirinya pun sama tak memilki uang sebanyak itu. Tidak hanya mengatakan hal itu saja, sang paman justru menyumpahi sang ibu meninggal karena terlalu merepotkan menjadi beban keluarga.

"Yaa Allah, gini banget jadi orang susah," keluh Maura berhenti di koridor rumah sakit.

Meminjam kepada temannya, tak ada yang mau memberi. Mencari berbagai pekerjaan pun belum dapat. Lama berlamunkan hal tak jelas, satu ide terlintas dalam otak Maura. Hanya ada satu jalan untuk bisa mendapatkan uang sebanyak lima puluh juta dengan waktu yang sangat cepat.

Maura menyeka sisa air matanya. Lalu berjalan menjauh dari rumah sakit menemui orang yang bisa membantunya mendapatkan uang itu demi sang ibu. Maura belum siap kehilangan sang ibu, tak mau lagi dia merasakan kehilangan yang menyesakkan dada.

***

Lima puluh menit dalam perjalanan, akhirnya Maura sampai di depan pintu gerbang rumah orang yang ada dalam pikirannya. Dia menatap pagar kayu yang menjulang tinggi itu, menelan saliva susah payah. Menguatkan hatinya demi sang ibu.

Dia melangkah masuk dengan perasaan campur aduk. Seumur hidup Maura, dia akan merutuki dirinya sendiri karena memasuki tempat terlarang. Tatapan Maura dia edarkan ke dalam rumah besar itu. Di dalam sana tampak ramai, lampu berkelap-kelip. Juga musik yang memekakkan telinga.

Lagi, lagi, Maura menguatkan batinnya agar tak lari dari pilihan terakhirnya. Langkah Maura berhenti di depan tangga rumah itu, mencari seorang wanita pemilik rumah besar itu.

Tak lupa juga Maura memandang semua orang yang ada di dalam terlihat berjoget ria. Lama memandangi sudut ruangan bangunan ìtu. Tepukan di bahu membuat Maura sontak saja terkejut.

Maura menoleh ke belakang, memastkkan siapa yang sedang menepuk bahunya. Seorang wanita paruh baya berdandan glamour mengulas senyum penuh arti kepada Maura. Seseorang yang sedang Maura cari.

Wanita paruh baya itu seakan-akan paham apa yang ingin dibicarakan oleh Maura. Dia mengajak Maura masuk lebih dalam menuju salah satu ruang kamar di sana. Maura menurut saat wanita itu mempersilakan duduk.

Jantung Maura berdebar tak karuan antara takut dan terpaksa, hanya beda tipis. Dia memilih ujung kardigan yang dikenakan, menunduk dalam memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan.

"Ada apa? Katakan, kau menginginkan apa sayang?" tanya wanita paruh baya itu seakan mengerti. Panggil saja wanita itu dengan sebutan Roop.

"A–aku membutuhkan uang," cicit Maura dengan pelan.

Roop mengulas senyum penuh arti. Dia mengangkat dagu Maura, menatap dari ujung kepala hingga kaki. Lalu kembali duduk di depan Maura.

"Berapa yang kau butuhkan?"

"L–lima puluh juta," balas Maura dengan nada tercekat.

Roop menangkup wajah Maura, senyum penuh arti masih menghiasi wajah Roop. "Kebetulan, Sayang. Ada seorang laki-laki yang sedang ingin dipuaskan. Bayaranmu lebih tinggi dari uang yang kau pinta itu. Apa kau bersedia?"

Maura memejamkan matanya sekilas, mengangguk kecil sebagai balasannya. "A–aku siap. Aku sangat membutuhkan uang itu."

"Baiklah, Sayang. Jika kau sudah siap, kau harus berdandan cantik untuk si laki-laki itu. Nanti Jevi akan membantumu berdandan."

Baru saja Roop ingin pergi, Maura mencekal lengan wanita itu. Membuat wanita itu tak jadi perg, menunggu apa yang ingin diucapkan oleh Maura. "A–apakah ini aman?"

Roop tertawa kecil, dia mencodongkan tubuhnya ke depan Maura. Menangkup wajah cantik Maura dengan penuh arti. "Aman, jika kau bisa bermain-mainnya. O ya, peraturan di sini yaitu kau tidak boleh kabur pada saat pelanggan belum puas. Jangan gunakan kekerasan saat pelanggan menyentuhmu."

Maura merasa ngeri sendiri. Hanya ini jalan satu-satunya demi bisa mendapatkan uang lima puluh juta, menjual diri kepada laki-laki hidung belang. Rumah yang sedang Maura pijaki ialah rumah bordil. Maura terpaksa datang ke rumah itu agar bisa mendapatkan uang dengan cepat.

"Apa kau masih perawan atau janda?" tanya Roop sedetik terjadi keheningan di antara mereka.

"A–aku perawan."

"Bagus, kebetulan saja kami tidak memiliki stok perawan. Bersiaplah, nanti aku akan mengantarkan ke tempat di mana laki-laki itu berada."

Maura tak membalas. Dia hanya diam, menyiapkan dirinya sendiri. Jika bukan karena terpaksa, Maura sangat tidak ingin berada di rumah menjijilan seperti ini.

"Jevi! Siapkan gadis ini." Roop berteriak memanggil nama Jevi.

Seorang wanita berpakaian minim berwarna merah maroon memasuki kamar. Dia menunduk pada saat Roop memerintahkan untuk mendandani Maura.

Maura menurut-nurut saja. Dia memandang pakaian yang dipilihkan oleh wanita yang bernama Jevi itu. Lagi dan lagi Maura mengangguk mengiyakan.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Maura sudah siap dengan pakaian dress glitter, yang di mana pakaian itu memiliki belahan dada yang terbuka, juga bagian punggung. Maura menatap dirinya sendiri di pantulan bayangan cermin. Sangat cantik dengan make up di wajah serta pakaian drees mini. Sungguh Maura seperti tak yakin kalau di cermin sana ialah dirinya.

"Kau sangat cantik, semoga berhasil."

Maura tak menjawab, dia merasa berdosa karena memakai pakaian terbuka seperti itu. Dengan langkah berat, dia keluar dari ruang kamar itu menghampiri Roop berada. Roop mengulas senyum bahagia karena memiliki pekerja yang sangat cantik, juga seksi.

Pandangan para laki-laki hidung belang yang ada dalam ruangan itu menatap ke arah Maura. Membuat Maura merasa risi saja dengan pakaian yang dia kenakan. Roop menuntun Maura berjalan ke halaman depan sana, menuju mobil yang akan mengantarkan mereka ke hotel di mana laki-laki itu berada.

Dalam perjalanan dan di dalam mobil, Maura lebih banyak diam. Dia memegang erat tangannya sendiri demi bisa menghilangkan rasa takut dalam benak. Sepanjang perjalanan dia tak henti-hentinya memikirkan apa yang akan terjadi setelah melakukan hal menjijikan dengan laki-laki yang tak dikenal.

"Kau takut, Sayang?" tanya Roop menyadari raut ketakutan di wajah Maura.

"Eum ... t–tidak," kata Maura seraya menggeleng kecil.

"Siapa namamu?"

"Maura," balas Maura dengan pelan.

"Tenanglah Maura, yang pertama pasti akan mengalami rasa takut. Tetapi berbeda dengan yang kedua dan seterusnya."

Maura mengerti apa maksud dari ucapan Roop itu. Dalam hatinya, Maura tak henti-henti berdoa, menetralisir perasaannya sendiri. Menguatkan hatinya demi bisa mendapatkan uang.

"Aku pasrah, Yaa Allah," batin Maura.

TBC:

Maaf kalo masih ada typo, ehe maklumi ya karena nulisnya malam-malam:v

Gimana? Semoga kalian suka^^

avataravatar
Next chapter