17 Gejolak Rasa

Sungguh, pipi Maura rasanya begitu memanas mendengar kalimat manis dari mulut Adelard. Dia membuang wajah ke arah lain sembari memegangi wajahnya sendiri. Rasa yang sempat Maura enyahkan dalam hati, kini kembali singgah. Adelard benar-benar bisa membuat Maura luluh.

Padahal laki-laki itu hanya melontarkan beberapa kalimat manis saja. Anehnya, Maura bisa merasakan gejolak rasa yang sulit dia deskripsikan. Kemungkinan saja, karena Adelard merupakan laki-laki pertama yang Maura dekati. Hidup sebagai gadis biasa saja tanpa memiliki harta, membuat Maura tidak pernah menjalin hubungan sejenis apa pun dengan lawan jenis.

"Kau sedang memikirkan apa?"

Pertanyaan dari Adelard membuat Maura sedikit terkelonjak kaget. Perempuan itu menoleh ke samping, dia hampir saja tersungkur melihat wajah Adelard yang berada di samping. Hampir saja dia mencium hidung Adelard. Juga hampir jatuh, jika laki-laki itu tidak menahan tubuhnya.

Posisi keduanya kini seperti sedang berpelukan. Adelard mendekap tubuh Maura. Tatapan keduanya saling bertemu, mengantarkan gejolak rasa pada hati masing-masing.

Maura benar-benar canggung sekaligus gugup berada sedekat itu dengan Adelard. Dia sampai kesusahan menelan ludahnya sendiri. Maura terbius oleh pesona Adelard. Laki-laki itu seakan-akan tahu cara memperlakukan seorang perempuan.

"Jantungmu berdebar?" tanya Adelard, masih menatap Maura dengan lekat.

Sontak saja Maura langsung melepaskan diri dari dekapan Adelard dan membuang wajah ke arah lain. Rasanya begitu salting dikatakan seperti itu. Jantung dia memang berdebar tadi, mengingat posisi keduanya begitu dekat.

"Aku sedari tadi bertanya, Mau. Kenapa kau tidak menjawab?"

Maura kehabisan kata-kata. Merasa seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa pun. Apa yang harus dijawab, dia memegangi dadanya yang masih saja berdebar. Menatap sekilas pada Adelard, lalu berjalan dengan pelan meninggalkan Adelard.

"Hei, kau mau ke mana?" Adelard sedikit berteriak saat melihat Maura berlari kecil menuju ruang ganti.

Melihat hal itu membuat Adelard menggeleng pelan sembari mengulum senyum penuh arti. Dia merogoh saku jas-nya, mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar. Segera dia menggeser tombol hijau, menjawab panggilan telepon dari Abay.

"Halo, Tuan. Mohon maaf apabila saya menganggu. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Tuan," ucap Abay dari seberang telepon sana.

Adelard berjalan mendekat ke arah jendela besar. Memperlihatkan gedung pencakar langit ibukota. Butik yang didatangi merupakan bangunan yang berlantai tiga. Saat ini Adelard sedang berada di lantai teratas, tempat favorit keluarganya saat sedang membutuhkan pakaian di butik tersebut.

"Katakan, apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Adelard merasa penasaran.

"Pengiriman barang ke Boston dihentikan, Tuan."

"Apa maksudmu? Katakan dengan jelas!"

"Barang yang kita kirim ke Boston lebih tepat ke Alwish dihentikan, beberapa barangnya pun disita karena berlabel ilegal," jelas Abay dari seberang telepon sana.

Adelard mengembuskan napas kasar. Padahal barang yang dikirim bukanlah barang ilegal, walaupun dia memiliki bisnis di dunia gelap. Akan tetapi, setiap melakukan transaksi barang, barang yang dikirim selalu berlabel legal. Berbeda bila dia melakukan transaksi sendiri.

"Tidak biasanya seperti ini. Apakah ada campur tangan orang lain dalam pengiriman tersebut? Mengapa bisa dikatakan ilegal? Padahal barang tersebut sudah mendapatkan izin resmi dari pemerintah di sana." Sungguh Adelard benar-benar kesal. Dia bisa kembali rugi bila barang yang dikirimkan dihentikan juga disita.

"Kami sedang mencari titik terangnya, Tuan. Ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan, bahwa pergerakan Mobei sudah terlacak," kata Abay dengan serius.

"Di mana dia?" tanya Adelard dengan semangat. Yang dinantikannya akan segera terwujud.

Menghukum pelaku pengkhianatan dalam bisnisnya. Adelard akan membiarkan para pengkhianat lolos begitu saja. Dia akan membuat mereka menderita dan memohon ampun untuk mati.

"Chicago, kami menemukan jejak keberangkatannya dua hari yang lalu."

"Chicago?" Adelard bergumam, sepertinya setelah nikah nanti. Dia mesti berangkat ke Chicago untuk menangkap si pengkhianat Mobei. "Baiklah, kau tangani perhentian barang tersebut. Beritahu juga Fahri soal ini dan ambil alih bisnis senjataku. Masih ada yang perlu aku lakukan di sini, oh ya, jangan sampai Bos Ketua tahu mengenai hal ini," imbuh Adelard sembari memutuskan panggilan secara sepihak. Tanpa mendengarkan ucapan Abay.

Maksud dari Bos Ketua ialah Hadian. Adelard takut bisnis gelap yang dijalani terungkap di depan mata Hadian. Bisa-bisa dia mati mengenaskan di tangan sang kakek.

"Chicago? Mengapa si berengsek itu pergi ke sana?" tanya Adelard pada dirinya sendiri .

"Siapa yang kau maksud 'berengsek' itu, Elard?"

Suara lembut dari wanita paruh baya membuat Adelard sedikit terkejut. Membalikkan badan, mendapati sang ibu di belakangnya. Dia bertimpuh di lantai sembari menggenggam lengan sang ibu.

"Tidak ada. Cuma kesal saja tadi," elak Adelard.

Jilva mengulas senyum kecil. Mengusap pucuk kepala anak laki-lakinya. Lalu membingkai wajah tampan itu dengan penuh sayang.

"Aku ini Ibumu, Elard. Kau tidak pandai berbohong, bahkan matamu mengatakan hal sebaliknya," ujar Jilva.

Adelard hampir saja lupa, hanya sang ibu yang bisa membaca suasana hati. Hanya dengan cara menatap mata. Kalaupun dia mengatakan yang sebenarnya, pasti sang ibu akan khawatir.

"Sungguh, tidak ada, Bu," kata Adelard.

"Baiklah, Ibu tidak akan memaksa. Oh ya, bagaimana kau bisa bertemu dengan Maura? Dia gadis lugu dan benar-benar cantik. Kau tidak memaksa dia agar mau menikah denganmu, 'kan?"

Adelard tertawa kecil mendengar tuduhan seperti itu. Sebajingan apa sih dia sampai sang ibu menuduh seperti itu. Adelard benar-benar tidak habis pikir mengapa sang ibu bisa menuduh seperti itu.

"Kenapa Ibu selalu menuduh seperti itu? Percayalah, aku memilih dia, karena sifat dan kebaikan dia," ujar Adelard. Walaupun dia tidak tahu kebaikan apa yang sudah Maura lakukan.

"Kau mau berjanji pada Ibu?"

"Berjanji apa?" Dahi Adelard mengernyit mendengar ucapan sang ibu.

"Berjanji tidak akan menyakiti Maura dan bersedia menjadi pendampingnya seumur hidup?"

Adelard tertawa kecil mendengar.

"Aku serius, Elard. Jangan tertawa," kata Jilva.

"Baiklah, baik. Aku berjanji, tidak akan menyakiti dia." Adelard kembali menggenggam lengan Jilva. Kemudian menciumnya punggung tangan sang ibu dengan pelan.

Tanpa disadari oleh ibu dan anak itu, Maura sedari tadi menyimak pembicaraan keduanya. Tidak sengaja menguping apa yang dibicarakan. Hatinya menghangat mendengar Adelard yang berjanji pada ibunya untuk selalu ada di sisi Maura. Lagi-lagi Maura mengharapkan hal lebih setelah pernikahan mereka terjadi.

Menginginkan Adelard jatuh cinta padanya dan memiliki keluarga kecil yang bahagia. Potret manis yang selalu diimpikan oleh Maura. Namun, Maura ingat dengan kontrak pernikahan yang dibuat oleh Adelard. Hanya berlaku selama dua tahun, bahkan apabila Adelard bosan nanti. Maka laki-laki itu akan meminta berpisah, hal itu yang membuat Maura takut.

Dia tidak ingin mencari pengganti, tidak ingin menikah untuk yang kedua kalinya. Sudah ada yang menerima dengan lapang dada dan apa adanya saja sudah membuat dia bersyukur.

avataravatar
Next chapter