Andres baru sampai di rumah pukul 8 malam. Dia menyelesaikan semua urusannya di kantor malam ini. Dia tidak mau membawanya ke rumah. Dia sudah memikirkan hubungannya dengan gadis itu ketika makan siang dan memutuskan akan berbaikan dengannya. Dia akan mendengarkan penjelasannya. Apapun itu dia akan berusaha memaafkannya. Bukan salah gadis itu juga jika semuanya menjadi serumit ini.
Andres menyuruh Mustar menaruh bungkusan makanan yang dibelinya sepulang dari kantor di dapur, sedangkan dia sendiri langsung bergegas ke kamarnya. Dia berganti baju dengan cepat dan segera menjemput gadis itu untuk makan malam karena tidak tahu jam berapa gadis itu makan siang dan mungkin sekarang sedang kelaparan.
Gadis itu duduk di sofa. Dia memandangnya dengan wajah pucat. Andres tersenyum agar ketakutan di wajahnya menghilang.
"Ayo makan malam!" Ajaknya sambil mengulurkan tangan.
Gadis itu balas tersenyum. Dia menerima uluran tangannya lalu mengangkat tubuhnya dari sofa. Andres segera memeriksa tangannya.
"Kamu tidak terluka kan?" Tanyanya.
Gadis itu menggeleng. Andres merasa lega. Dia menggenggam tangan mungilnya dan membimbingnya keluar.
Langkah Andres terhenti ketika memasuki area dapur. Dia melepas tangan gadis itu dan berjalan cepat menuju meja makan. Sepiring Tortilla de patatas yang disiapkannya untuk sarapannya belum tersentuh. Selembar catatannya juga masih menempel di bawahnya. Andres mengambil piring itu dengan tangan kanannya dan mengambil lembar catatannya dengan tangan kirinya. Dia meremas kertas itu dan membuangnya di tempat sampah bersama isi piring. Dia tidak lagi peduli membedakan jenis sampahnya dan di tempat yang mana dia membuangnya.
Gadis itu telah berdiri di pinggir kursi yang ditempatinya kemarin siang.
"Duduk!" Perintahnya tanpa melihat sedikitpun pada wajahnya.
Dia sedang marah, tapi dia tidak mau melukainya. Gadis itu menuruti perintahnya. Andres membuka bungkusan makanannya, mengambil satu porsi, dan membukakan milik gadis itu.
"Habiskan!" Perintahnya lagi.
Andres pergi lagi untuk mengambilkannya air minum. Dia menuang air segelas penuh. Setelah itu, dia berjalan menuju jendela. Dia berdiri di depan jendela dengan tangan terkepal, menunggui gadis itu makan.
***
Zizi membuka tempat sampah dan memungut kertas yang dibuang pria itu. Kertas itu hanya sedikit kotor sehingga dia bisa membaca tulisannya dengan jelas.
'Bella...
Aku pergi ke kantor. Aku mungkin pulang malam. Hari senin biasanya banyak pekerjaan. Aku tidak sempat memasak makan siangmu. Aku tidak punya mie instan. Kamu bisa memanaskan makanan di microwave kan? Ada beberapa frozen food di freezer. Ambil spaghetti saja. Itu yang termudah. Aku sudah menaruhnya di tumpukan paling atas. Kamu baca petunjuk saran penyajiannya dan ikuti. Jangan lupa pakai sarung tangan waktu mengeluarkannya dari microwave. Hati-hati! Jangan sampai kamu terluka! Kalau kamu mengalami kesulitan, minta tolonglah pada salah satu stafku yang berjaga di luar rumah.
A. '
Napasnya perih. Dadanya sesak. Air matanya mengalir tak terbendung. Zizi menyesal. Seandainya tadi pagi dia mencari makanan di dapur, dia akan menemukan tulisan ini. Pria itu tidak akan marah padanya dan dia tidak perlu bersedih hati seharian. Zizi mengutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Tidak mengherankan pria itu bersikap seperti tadi. Yang lebih menyakitkan, meskipun pria itu marah dan kecewa padanya, dia tetap menunjukkan kepeduliannya. Kenyataan itu membuat hatinya semakin tercabik-cabik.
Zizi berjalan linglung menuju meja makan. Pandangannya terpatri pada bungkusan makan malam milik pria itu. Pria itu belum makan malam. Dia pergi setelah melihat Zizi menghabiskan makanannya. Pria itu memaksanya, sedangkan dia sendiri tidak makan. Zizi bingung dengan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Apakah dia harus kembali ke kamarnya atau mengantarkan makan malam ini pada pria itu? Namun dia tidak tahu di mana letak kamarnya. Dia juga tidak yakin apakah pria itu berada di kamarnya sekarang. Zizi mendesah. Dia berpikir lagi dan memutuskan menunggunya di sini. Dia berharap pria itu akan kembali setelah mengira Zizi balik ke kamarnya. Dia tidak peduli jika pria itu akan marah melihatnya tinggal. Dia hanya ingin pria itu tahu dia sudah membaca suratnya dan dia menyesal. Kalaupun pria itu tidak kembali malam ini, dia akan menemukannya besok pagi.
***
Andres kembali terserang insomnia. Ini sudah jam 11 malam, tapi dia tidak bisa tidur. Dia bisa gila jika terus-terusan begini. Dia menyibak selimutnya. Kakinya berjalan menuju rak minuman keras di sebelah sisi kamar tidurnya yang luas. Dia mengambil sebotol wine, namun segera ditaruhnya kembali. Banyak pekerjaan yang menunggunya besok. Dia memijat keningnya. Dia harus bertemu gadis itu agar perasaannya membaik.
Andres tidak menemukannya di kamarnya. Dia sudah mencarinya ke balkon dan kamar mandi. Dia berkeliling ke beberapa ruangan dan hasilnya nihil. Dia bahkan naik ke rooftop dan melihat ke bawah. Gadis itu tidak ada. Andres mengerang frustasi. Ingatan tentang gadis itu yang mengunyah makan malam terakhirnya dengan tatapan kosong di atas meja sebelum dia meninggalkannya membuat napasnya tercekat. ¿Ella todavía está sentada allí? [Apa dia masih duduk di sana?] Tanya Andres dalam hati. Dia segera berlari menuju lift.
Gadis itu tidur di atas meja makan dengan berbantal lengan kirinya. Tangan kanannya yang bebas memegang kertas lusuh yang langsung dikenalinya. Andres menghela napas.
"Chica tonta! [Gadis bodoh!]" Gumamnya pelan dengan seulas senyum tersungging di bibirnya.
Andres membungkuk untuk mengangkat tubuh gadis itu. Dia berniat mengendongnya menuju kamarnya.
***
Zizi terjaga karena merasakan ada goncangan. Sesuatu mencengkeram belakang lutut dan menekan punggungnya. Sebelah sisi tubuhnya juga mendapat tekanan. Aroma parfum sempat terdeteksi oleh indera penciumannya sebelum dia membuka mata. Tubuhnya melayang di udara. Dia mengangkat kepalanya dan mendapati pria itu sedang menggendongnya. Zizi memegang pundak pria itu secara reflek karena takut terjatuh. Ketika kembali memandangnya, tatapan pria itu telah bersarang di wajahnya. Pria itu tidak terlihat marah.
"Aku minta maaf," bisik Zizi dengan tulus.
"Iya."
Pria itu menerima permintaan maafnya. Zizi merasa bersyukur.
"Kamu belum makan," Zizi mengingatkan.
"Aku tidak lapar," jawabnya.
"Kamu harus makan. Atau, aku akan memakanmu."
Zizi terkejut mendengar suaranya sendiri. Mengapa suaranya tidak terdengar seperti teror? Langkah pria itu berhenti.
"Aku lebih suka kamu memakanku," jawabnya sambil tersenyum.
Cubitan mendarat di pundak pria itu dan membuatnya memekik kaget.
"Turunkan aku!" Teriak Zizi.
"Kita belum sampai di kamarmu."
Zizi menendang-nendang kakinya di udara.
"Tidak mau. Turunkan aku!"
"Kamu sudah tidak sabar mau memakanku disini? Bahkan tidak ada sofa."
Kepala pria itu berputar mencari sesuatu.
"Dasar mesum!"
Pria itu tertawa. Zizi merasa lega.
Zizi mengingatkan lagi, "kamu harus makan."
"Kenapa?"
"Agar kamu tidak sakit."
"Kamu mengkhawatirkanku?" tanyanya lagi sambil mendekatkan wajahnya.
Zizi menggigit bibir.
"Iya," jawabnya lalu wajahnya memanas.
Zizi merasakan kakinya jatuh perlahan. Pria itu menurunkannya. Zizi memandangnya waswas. Dia tidak tahu apa yang sedang ada di kepala pria itu. Dia melihatnya menghela napas lalu menyunggingkan senyum. Zizi menyandarkan kepala di dadanya dan melingkarkan kedua tangannya di pinggangnya. Dia sangat merindukan pria ini.