webnovel

CIUMAN PANAS

"Tadi itu gaya berpacaran anak Spanyol?" Tanya Mustar dari balik kemudi ketika tangan Andres menarik sehelai tisu yang digantung di sunvisor.

"Apa?" Tanya Andres seolah tidak memahami maksudnya sambil menoleh pada pria berkumis itu.

Mustar menoleh singkat ke majikannya lalu tertawa. Andres menyipitkan matanya sambil menebak alasannya tertawa. Menertawakan dirinya yang mencium gadis itu penuh nafsu atau bibirnya yang blepotan lipstiknya?

Andres kembali ke kursinya dengan perasaan jengkel. Dia mengelap bibirnya. Noda berwarna merah muda masih menempel di tisu itu setelah ketiga kalinya dia membersihkan bibirnya. Warnanya memang berangsur terang, tapi masih ada noda yang menempel. Tangan kirinya meraih bagian kursi penumpang di depan untuk mengambil tisu lagi. Mustar yang paham segera mengambilkannya beberapa helai. Andres menerimanya, lebih tepatnya merebutnya. Dia membersihkan bibir dan area bagian bawah wajahnya hingga tidak ada noda yang menempel di permukaan tisu. Dia mengingatkan dirinya untuk berkaca di spion setelah keluar dari mobil nanti.

Andres teringat pada malam gadis itu datang ke rumahnya dan Andres menyerangnya. Dia syok melihat wajahnya di cermin wastafel ketika hendak menyikat gigi sebelum tidur. Dia terlihat seperti seorang vampir yang selesai meminum darah mangsanya. Mulut vampirpun masih lebih bersih. Lebih tepatnya area mulutnya seperti milik hantu perempuan yang baru saja memakan bayi di film horor Indonesia. Dia sampai membasuh wajahnya dengan sabun muka sebanyak dua kali.

Pagi ini dia melihat bibir gadis itu sangat menggoda. Merah muda dan basah. Dia menyadari fakta keempat bahwa ada dorongan yang kuat untuk mencium gadis itu setiap kali dia melihat bibirnya. Dia akan berhasil menahan diri seandainya tidak merasa khawatir pekerjaannya hari ini akan terganggu karena akan memikirkan bibirnya seharian. Dia sudah memberitahu dan meyakinkan dirinya bahwa dia hanya akan memberi gadis itu ciuman bibir yang singkat. Namun yang terjadi, dia kesulitan menghentikan ciumannya.

Ketika Andres mengecup pelan bibir bawah gadis itu dan menjilatnya sedikit dengan ujung lidahnya sebelum menarik bibirnya menjauh, gadis itu tiba-tiba membuka sedikit mulutnya sehingga memberi akses pada lidahnya untuk masuk. Tangan kanannya turun ke leher gadis itu, mengarahkan posisi kepalanya agar lidahnya lebih leluasa bermain di dalam mulutnya, menyentuh dan menggoda lidahnya. Lidah gadis itu membalas gerakan lidahnya. Andres menjadi tidak terkendali ketika ciumannya berbalas. Saat dia sadar mereka telah berciuman dalam waktu yang lama, dia tidak bisa langsung menghentikannya. Dia tidak mau gadis itu kembali terkejut, kemudian sadar dan merasa buruk karena membalas ciumannya. Dia memelankan perlahan pagutannya dan memberinya hisapan terakhir selembut mungkin.

Andres merengkuh kedua pipi gadis itu dan menyatukan dahi mereka. Dia sedikit menekan hidungnya pada hidung gadis itu sambil menunggu hingga napas gadis itu memelan dan kembali normal. Baru kemudian dia menarik kepalanya dan bergerak ke atas untuk mencium keningnya dengan pelan dan lembut. Dia melepas kecupannya dan menatapnya hati-hati.

"Kembali ke kamarmu, ok?" Bisiknya pelan.

Gadis itu mengangguk dengan tatapan matanya masih melekat padanya.

Andres mencium keningnya lagi. Kali ini lebih singkat.

"Mie ayam cekermu akan ada di meja makan sebelum jam 12. Kamu bisa makan siang setelah itu." Ucapnya pelan sambil tersenyum menenangkan.

Dia merasa lega ketika melihat seulas senyum tersungging di bibir gadis itu yang sudah dibuatnya berantakan. Andres yakin bibirnya juga sama berantakannya.

"Kembalilah," perintahnya lalu melepas kedua tangannya dari pipinya.

Gadis itu segera berbalik dan berlari menuju pintu. Andres menyuruh Mustar berangkat setelah pintu ditutup.

"Kakak tahu mie ayam ceker yang enak?" Tanyanya kemudian setelah membuang tisu ke dalam kotak sampah. Mungkin ide gila, tapi dia sempat berpikir untuk menyimpannya.

Mustar tertawa lagi dan itu membuat Andres kembali jengkel.

"Iya. Mister mau saya belikan juga?" Jawabnya setelah tawanya selesai.

Mustar selalu menolak memanggil namanya meski Andres memaksa. Dia tetap memanggilnya dengan panggilan yang sama pertama kali mereka bertemu delapan tahun yang lalu.

Andres menggeleng lalu memberitahu, "aku akan memesan Migas dan makan siang di ruanganku."

Ada restoran Spanyol langganannya yang juga menyediakan delivery order. Mereka memiliki banyak menu sehingga Andres tidak bosan dengan menu-menu itu saja. Kadang dia menyempatkan diri makan siang atau makan malam di sana, atau sekedar mampir ke supermarketnya yang terletak tepat di sebelah restoran untuk membeli bahan makanan dan minuman khas Spanyol. Dia juga mengenal baik pemilik restoran dan supermarket itu.

"Baik. Kalau begitu, saya mau keluar setengah 11. Biasanya antri kalau mau makan siang."

Andres tersenyum. Pria yang sudah dianggapnya sebagai saudara laki-laki ini selalu bisa memahami keadaannya dan selalu tahu apa yang harus dilakukannya. Andres menimbang-nimbang untuk sekalian menitip selembar pesan kepada gadis itu.

"Semalam, kakak membaca pesanku di atas meja makan?" Tanyanya langsung ketika menyadari semalam Mustar yang meletakkan bungkusan Paella di sana.

"Tidak ada apa-apa di meja makanku."

"Kakak pasti melihat ada kertas di bawah piring di atas meja makan di dapurku semalam."

"Oh, aku tidak sengaja melihatnya," jawabnya dengan suara khas menahan tawa.

"¡Joder!" Andres mengumpat pelan.

***

Zizi sedang duduk bersandar di sofa kamarnya. Jari telunjuknya memijat lembut bibir bawahnya. Pandangan matanya kosong meski sedang menatap ke luar jendela. Pikirannya masih berputar-putar pada kejadian dua jam yang lalu. Sentuhan lembut dan hangat bibir pria itu di bibirnya, hisapannya di bibir bawahnya, jilatan ujung lidahnya di ujung bibirnya, dan responnya ketika tiba-tiba mulut Zizi terbuka tanpa Zizi sadari, lidah pria itu masuk ke dalam mulutnya, menjilati giginya satu persatu kemudian menyentuh lidahnya dan menjilatinya dengan gerakan ke atas dan ke bawah. Lidah pria itu terasa manis dan lembut. Tonjolan-tonjolan kecil di permukaannya memberi sensasi meremang di sekujung tubuhnya.

Zizi masih ingat ketika tangan pria itu membelai rambutnya lalu menyelipkan jemarinya ke dalam helaian rambutnya serta memijat-mijat kulit kepalanya seirama dengan hisapan di bibirnya. Sesekali pria itu memberi gigitan kecil di bibirnya. Itu adalah ciuman pertamanya dimana dia ikut aktif, sedangkan ciuman pertamanya ketika pria itu menciumnya di malam itu. Entah mengapa saat ini rasa bencinya pada pria itu menghilang karena telah mencuri ciuman pertamanya.

Pria itu sepertinya menyadari kepolosannya karena gerakan bibir, lidah, dan giginya terasa seperti mengajari Zizi cara berciuman dan membimbingnya pelan-pelan. Ketika Zizi tersentak karena menyadari dia telah membalas ciuman pria itu, dia segera menarik kepalanya namun pria itu menahannya. Pria itu mempercepat ciumannya dan memperdalam hisapannya, membuat Zizi kembali bergairah dan membalas ciumannya. Setelah tempo mereka seirama, pria itu perlahan memelankannya untuk memberinya sinyal bahwa ciuman mereka akan segera diakhiri. Pria itu memberinya sentuhan lembut di akhir ciumannya. Zizi tersenyum.

Cara pria itu menenangkannya setelah itu membuat hatinya berdesir. Bagaimana pria itu memegang kedua pipinya lalu menyandarkan dahinya ke dahi miliknya, dan menekan lembut hidungnya pada hidungnya, menunggunya dengan sabar hingga napasnya kembali normal, semua itu merupakan perlakuan yang manis dan romantis. Ditambah lagi, dua kecupan di keningnya itu dan caranya memberi perintah yang sama sekali berbeda dari biasanya. Andai saja pria itu selalu bersikap selembut itu, mungkin akan mudah bagi Zizi jatuh hati padanya.

Zizi menoleh ke jam dinding. Hampir jam 12. Dia segera bangkit untuk bersiap mandi. Zizi menatap horor pada cermin di wastafel. Astaga, dia terlihat mengerikan seperti hantu gentayangan. Zizi langsung berpikir jangan-jangan ini alasan pria itu menyuruhnya segera kembali ke kamarnya.

Sebungkus makanan menunggu Zizi di atas meja dapur. Dari aromanya Zizi tahu itu mie ayam. Di sampingnya terselip amplop putih polos panjang yang biasa digunakan di kantor. Zizi menarik amplop itu. Ada tulisan tangan pria itu di depannya: Para Mi Bella. Zizi menebak arti tiga kata itu mungkin lebih kurang 'surat untuk Bella'. Senyumnya mengembang. Pria itu satu-satunya orang yang menggunakan nama tengahnya untuk memanggilnya. Zizi mencoba mengingat dan merasa kecewa karena pria itu belum pernah sekalipun mengucapkan namanya. Zizi mendesah karena dia juga tidak tahu nama pria itu. Di akhir catatannya semalam hanya ada huruf A. A apa? tanya Zizi dalam hati. Kini tangannya membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas.

'Bella...

Aku ingin berterima kasih karena pagi ini aku benar-benar bersemangat menjalani aktivitasku. Hanya saja, kukira dosisnya terlalu banyak karena beberapa karyawanku terlihat keheranan melihatku tersenyum terus. Mungkin mereka menganggap aku sudah gila. Padahal aku tidak gila, aku hanya sedang mabuk. Tolong ingatkan aku untuk mengurangi dosisnya besok pagi.

Selamat makan...

Jangan lupa istirahat yang cukup. Aku akan menjemputmu jam 7 malam. Aku akan mengajarimu memasak lalu kita akan makan malam bersama.

A.'

Zizi tersenyum kemudian dahinya berkerut dan napasnya tercekat.

"Astaga! Dia akan melakukannya lagi besok pagi," gumamnya sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

Zizi menggeser tubuhnya lalu menjatuhkannya di atas kursi makan dan membaca lagi suratnya berkali-kali.

Next chapter