1 - Kedatangan Musim Dingin

1 Oktober 586, Sungai Volga

Deretan kamp dibangun berbaris memanjang di dekat Tepian Sungai Volga. Tidak tanggung-tanggung 500 kavaleri berat Gokturk dikerahkan untuk mengawal keamanan kabilah itu. Minyak dari lentera tenda dengan terangnya telah menyala, melawan gelapnya malam pada bulan baru.

Malam itu berbeda dari malam-malam yang sebelumnya. Angin bertiup begitu dingin hingga terasa seperti tembus ke tulang. Pertanda bahwa musim gugur sebentar lagi akan berakhir digantikan oleh musim dingin yang akan menjumpai mereka.

Kabilah besar tersebut harus segera mengangkut barang menuju ke Wilayah Barat Magyar, sebelum mereka terperangkap karena badai es. Bencana alam yang hampir setiap tahunnya menghantam wilayah Utara Kerajaan Gokturk termasuk wilayah yang mereka lewati saat ini. 

Kabilah ini adalah ekspedisi resmi pertama yang dibentuk langsung oleh Khan (gelar tertinggi untuk raja) Gokturk, yaitu Ishbara. Sebagai tindak lanjut pengembangan wilayah yang dihuni Suku Magyar. 

Kabilah itu membawa barang-barang yang diperlukan untuk membangun sebuah kota, Material bangunan dan logam mulia. Wilayah Barat Suku Magyar, sebagian besar merupakan dataran rendah yang dipenuhi oleh padang rumput.

Wilayah seperti itu ideal untuk mengembangbiakan kuda ataupun binatang ternak lain. Ishbara atas saran Maniakh, seorang Mentri dari Bangsa Sogdia, berencana juga untuk membangun garisun baru di perbatasan.

Beberapa tahun terakhir akibat serangan beruntun dari Kerajaan Avar, wilayah Gokturk terutama di perbatasan menjadi zona rawan akan peperangan. Suku Magyar sendiri yang berada dibawah kekuasaan Bangsa Turki mengalami penderitaan dahsyat akibat serangan Avar.

Kerajaan itu bahkan terkadang menyerang sampai ke jantung pusat perkampungan suku itu yang berada di Pegunungan Ural. Negeri Avar sebenarnya merupakan sisa-sisa keturunan dari Rouran, musuh bebuyutan Gokturk yang tidak berhasil ditumpas seluruhnya. 

Avar harus dihancurkan oleh Gokturk, negeri yang mengklaim sebagai penguasa tunggal daratan stepa. Memperkuat perbatasan untuk menghalau setiap serangan mereka adalah langkah awal yang harus ditempuh. 

-- 

Sebuah cahaya kecil terlihat dari balik pepohonan, seorang pria dengan mata sipit, kumis dicukur habis dan jenggot panjang yang terpelihara dengan baik sedang duduk santai di depan api unggun.

Ditemani oleh kudanya, pria yang lehernya diselimuti kain tebal itu merenung sambil membakar ikan yang tadi sore ia pancing bersama temannya.

Matanya melirik ke belakang, "Api, aku merasa heran kenapa orang Persia menyembah api," tuturnya. Orang biasa mungkin tidak dapat mendengar derap langkah kuda yang datang perlahan menuju ke arahnya, penunggang kuda itu hanya tersenyum kecil melihat ke arahnya. 

Meskipun telah berumur 35 tahun, namun Iltas merasa saat ini pendengarannya justru semakin tajam. Heshana turun dari kudanya, tertawa tidak jelas sebelum akhirnya ikut duduk memandangi perapian itu. "Pendengaranmu semakin tajam, tapi pemikiranmu semakin tumpul," membalas ucapan temannya tadi.

Bagi Heshana topik yang dibicarakan tadi agak bodoh, ia telah berulang-ulang mendengarnya. Namun bagi Iltas, ia ingin mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Akan tetapi selama ia hidup, pertanyaan yang ia rindukan jawabannya tak kunjung ia temukan. 

"Iltas, mau sampai kapan kau merenung berfilsafat merindukan kebenaran yang tidak jelas itu. Lebih baik kau memikirkan putrimu, mau menikah dengan siapa ia nantinya. Umurnya sudah menginjak 16 tahun bulan besok. Daripada kau membicarakan orang Majusi yang tidak jelas itu, aku ada kenalan bujang yang mungkin saja mau dengan anakmu. Ayolah wajar aku khawatir dengan anakmu, aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri,"

"Lalu kenapa kau kesini, bukankah kau harusnya mengawasi dari bukit kecil itu?"

"Haha untuk apa diawasi, kita ini memimpin 100 orang Iltas. Ksatria terpandang dari Suku Kyrgyz, itukan pekerjaan anak buah kita yang usianya masih belia. Santai saja tidak ada jejak musuh selama perjalanan beberapa hari ini"

"Oh begitu ya... baguslah"

"Tampaknya kau masih meragukanku kawan, perhitunganku jarang salah Iltas."

"Bisa jadi perhitunganmu semakin tumpul ya kan Heshana?" sembari menepuk pundaknya lalu menyodorkan ikan yang telah dibakarnya itu.

"Oh... aku penasaran rasa ikan di Sungai Volga. Iltas aku tahu kau pasti berfikiran bahwa tepian sungai itu rawan untuk diserang bukan, mengapa tidak bangun kamp di dalam hutan saja hehe kita tidak akan diserang aku bisa jamin hal itu."

"Tidak ada yang tahu Heshana, namun semoga saja prediksi Heshana yang terkenal sama seperti prediksimu yang lain. Aku harap kali ini semuanya bisa berjalan lancar."

"Jangan remehkan aku Iltas, kau sendiri yang selama 20 tahun menyaksikan kemampuan taktik militerku. Andai saja jabatan militer tidak dilengaruhi oleh keturunan mungkin saja kita berdua sudah jadi panglima. Memikirkannya sudah membuatku kesal,"

Heshana mengambil ikan yang baru, ditusuknya mulut ikan dengan ranting kayu seraya dibolak-balik di atas perapian. Garam juga ditabur di atas ikan itu untuk menambah cita rasa kelezatannya.

"Api itu penting untuk kehidupan, namun perbandingan antara langit ataupun api, tentu nenek moyang kita sudah mengetahuinya." ucap Heshana sambil menikmati kelezatan ikan bakar itu. 

"Maksudmu, langit biru itu lebih kuat daripada api jadi langit lebih berhak untuk disembah begitu?" tanya Iltas sengaja meragukan ucapan Heshana tadi. 

"Tentu saja memang bisa apa api, yang Persia sembah hanya api bukan matahari. Tuhan kita lebih kuat berada di atas langit, menaungi dan menyelimuti bumi bersama dengan Istrinya yang menjaga bumi yaitu Umay. Haha bahkan anak kecil pun tahu Iltas,"

"Heshana kau berpikiran seperti anak kecil karena percaya hal tersebut. Kalau Tengri sang ayah adalah langit dan Umay adalah bumi lalu kenapa anak mereka bukan tuhan, lalu tuhan kita itu sebenarnya siapa?." 

"Jangan berkata yang tidak-tidak Iltas, kalau roh alam di atas pepohonan itu mendengarmu kita bisa celaka nanti," celetuk Heshana sembari meregangkan pergelangan tangannya. 

Pletak!

Mereka berdua langsung menatap ke sumber suara. Samar-samar terdengar derap langkah kaki kuda mendekat ke arahnya. Suara itu semakin keras dan mulai nampak dibalik kegelapan, setitik cahaya yang dihasilkan dari lentera yang ia genggam. 

Pengendara kuda itu turun, melihat mereka berdua dengan tatapan yang memuakan. Dia adalah Nushibi, kapten dari Suku Uyghur. Sekarang Iltas dan Heshana mulai berdiri dan membalas tatapan yang memuakan itu.

Nushibi adalah kapten yang paling dibenci di antara kelima kapten yang memimpin pengawalan kabilah itu.

"Kenapa kalian berdua ada disini, bersantai ketika yang lain bekerja!"

"Ho... aku sengaja memilih tempat ini agar bisa leluasa dengan mudah mengawasi anak buah dan bagian lain. Berani juga ya kau membentak kami, dasar Suku kecil tidak penting," tatap Iltas dengan sinis. 

"Maksudmu apa membawa nama suku!" 

"Memang benar kan tidak penting, bahkan ditindas oleh suku lain yang lebih besar haha."

Brak!

Seketika tinjuan dan tendangan Nushibi melesat ke wajah Iltas, namun Iltas dapat menghindarinya dan ketika Iltas membalas melesatkan tinjunya. Tinjuan itu ditangkis oleh Heshana, yang dengan sigap melerai mereka berdua. 

"Sudahlah kalian jangan bertengkar, kalau kita bertengkar sekarang maka musuh dapat dengan mudah menyerang kita." ucap Heshana melirik ke arah mereka berdua dengan tegang. 

"Haha mana mungkin musuh tahu, kecuali kalau ada pengkhianat diantara kita. Aku yakin kau pasti diam-diam bekerjasama dengan Avar untuk menghambat kapten yang lain, iya kan Nushibi," sahut Iltas dengan sinis. 

"Kau itu yang pengkhianat, berjaga ditempat yang jauh dengan alasan mengawasi. Haha dasar budak Mongol, ibumu orang Mongol hahaha!" teriak Nushibi masih belum puas dengan pertarungan singkat tadi.

"Tolong berhentilah kalian berdua!"

Tiba-tiba terdengar lebih banyak derap langkah kaki, anak buah Iltas segera menghadap kepadanya. Keringat dingin mengucur deras dari wajah mereka, Iltas dapat menebak apa yang ingin mereka sampaikan. 

"Jadi dimana tenda musuh, berapa jumlah mereka. Segera beritahukan kapten Gokturk yang lainnya!" 

"Bukan itu kapten, salah satu dari kami melihat para pengendara kuda dengan pakaian serba hitam menyelinap masuk ke wilayah yang diawasi kapten Irbis!" tegas para prajuritnya.

"Bagaimana bisa, kenapa Irbis belum melapor!, bangunkan semua orang!"

"Baik!" serempak jawab mereka 

"Haha, jangan berpura-pura bodoh Iltas. Kelak, aku yang akan mengungkap pengkhianatan kalian! kau dan Irbis wahai anak Mongol." ucap Nushibi tersenyum sinis sambil menepuk pundak Iltas, lalu menaiki kuda dan segera pergi.

Menyusul para prajuritnya, Nushibi yakin pasti ada pengkhianat di antara mereka. Rencana yang musuh telah susun begitu rapi, hingga dapat luput dari pengawasan Irbis yang terkenal paling cermat perhitungannya diantara mereka.

Sesuai arahan dari Iltas seluruh penghuni tenda telah dibangunkan oleh anak buahnya namun semuanya sudah terlambat.

Ketika para penghuni tenda menyalakan obor beramai-ramai menuju ke tempat serangan musuh. Dari balik sobekan tenda yang terlihat seperti tenda biasa dari luar, semua logam mulia telah hilang tidak bersisa. 

Bukan hanya dapat menyelinap masuk, musuh seolah-olah dapat menghilang bagaikan hantu. Kemudian pandangan mereka segera tertuju pada puluhan anak buah Irbis yang terbujur kaku berlumuran darah tidak bernyawa terkena serangan tombak musuh. 

avataravatar
Next chapter