2 Kembali

Melati yang sedang membantu Ayah di ladang tiba-tiba merasa haus. Lalu ia kembali ke rumah dan berniat untuk mengambil air minum. Sesampainya di rumah, Melati kedatangan tamu dari yayasan.

"Lho? Ada Kak Yura?" sapanya sambil memeluk wanita yang sudah sering memberikannya pekerjaan itu.

"Iya, apa kabarmu Melati?" tanya wanita berumur 30 tahunan itu. Terlihat jelas dari penampilannya bahwa Yura adalah wanita kota.

Maksud dari kedatangannya adalah untuk menawarkan kerja lagi. Tetapi yang harus ia jaga bukan lagi balita atau anak-anak, melainkan sesosok anak laki-laki yang dua tahun lebih muda dari dirinya.

"Jadi, bagaimana? Mau menerimanya? Dia ... memang bukan bayi yang harus kamu jaga, hanya saja dia butuh asisten untuk segala aktivitasnya.

Melati bermenung sejenak, mencoba untuk menimbang dan memikirkannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menerima pekerjaan itu.

"Iya Kak, aku terima," jawabnya penuh keyakinan.

"Semoga kamu betah ya, Melati."

Besok adalah hari di mana Melati akan ikut bersama Yura ke kota.

"Ayah, Ibu. Tolong doakan semoga Melati sukses ya." Gadis itu menciumi kedua tangan orang tuanya.

"Baik-baik di sana, kabari Ayah dan Ibumu ini, Nak ... maafkan kami yang membuatmu harus bekerja di usiamu ini," sesal Ibu Melati, Sarminah.

Tangan yang tak lagi halus, tetapi kasar dan mulai kisut. Tatapan yang menjadi sendu terukir di kedua sudut mata mereka. Sayu dan sedikit merah. Bahkan Melati pun ikut menangis, berat meninggalkan keluarganya.

"Bismillah," kata Melati dan menaiki mobil berwarna hitam. Lalu melambaikan tangannya.

Berat memang untuk meninggalkan orang di kampung. Apalagi kamu harus dituntut untuk melakukan suatu pekerjaan yang mengharuskanmu agar orang yang tersayang bahagia.

Yura mengerti apa yang dirasakan oleh Melati, karena itu ia mengajak gadis yang berusia dua puluh tahun itu untuk berbelanja.

"Enggak usah, Kak. Ati takut merepotkan," tolaknya dengan halus sambil tersenyum. Sungkan rasanya jika dia menerima banyak pemberian dari Yura, wanita itu terlalu baik.

"Anggap aja ini bonus awal kerja kamu Melati. Semangat ya Melati." Yura memaksa, memberikan apa yang dibutuhkan oleh gadis itu.

Di tengah jalan, Yura mencoba untuk menanyakan apa tujuan Melati bekerja. "Apa tujuanmu semuda ini mau bekerja keras, Melati? Tidakkah kamu ingin melanjutkan pendidikanmu?" tanya wanita dengan rambut berpotongan bob itu.

"Melati kerja keras demi Ayah, Ibu sama adik-adik di kampung. Ati gak mau mereka sama seperti Ati.gak berpendidikan dan tidak tahu apa-apa." Seketika netranya panas dan buliran itu tumpah.

"Dua adik Ati masih harus sekolah. Sedangkan si kecil butuh susu dan asupan bergizi. Ayah dan Ibu butuh rumah baru. Agar enggak merasa sesak lagi."

Karena perjalanan yang cukup jauh ke yayasan, Melati harus menunda keberangkatannya ke rumah majikan besok lusa. Sedangkan ia menginap di yayasan.

Pada malam hari, Melati yang sedang makan enak tiba-tiba ingat dengan keluarganya. Bagaimana bisa dirinya makan enak, sementara mereka di sana hanya makan dengan garam? Itu pun kalau ada beras untuk di masak. Jika tidak, maka hanya rebusan ubi singkong yang dimakan.

Tetesan air mata membanjirinya. Ia berlari masuk ke kamar dan memandangi foto mereka sekeluarga. Dan itu menambahkan tekad untuk dirinya agar sukses cepat dan membahagiakan keluarga yang tersayang.

Hingga pagi menjelang, Melati bangun ketika semua orang masih memejamkan mata. Di saat itulah ia merayu sang Pencipta.

Di antara kedua sujud serta tangan yang ia angkat, dicurahkan semua isi hati yang mengganjal.

Lalu membersihkan beberapa tempat yayasan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Melati segera di antar oleh Yura ke bandara.

"Kak, saya enggak pergi sendirian kan?" Melati yang polos bertanya dengan wajah yang bodoh.

Yura terkekeh, ia meraih tangan Melati dan memesankan tiket. "Tentu tidak. Apa kamu berani naik pesawat sendirian?" Dengan cepat Melati menggeleng.

"Nah, karena itu Kakak akan mengantarkan kamu ke rumah baru kamu. Kakak juga tahu, kamu pasti takut kan naik pesawat?"

"Hehe, banget. Ini adalah pertama kalinya Ati naik pesawat, jadi gugupnya minta ampun."

"Selow saja, jangan lupa berdoa." Mereka berdua segera melesat menuju boarding gate. Melakukan check in agar bisa memasuki pesawat.

Di dalam pesawat, Yura memutar akalnya agar Melati merasa lebih enakan. Sebab gadis itu tampak tegang sekali. Yura berdehem kecil.

"Bagaimana pengalaman kamu selama bekerja di rumah Buk Laras, Melati?"

Melati yang tadinya merem, langsung membuka bola matanya. "Hem, enak Kak. Mereka baik sama ramah."

"Oh ya? Kakak dengar mereka juga menawarkan kamu untuk ikut ke luar negeri kan? Kenapa kamu tak ikut saja?"

"Kalau saya ikut, yang jagain keluarga di kampung siapa, Kak? Saya masih tak berani menanggung tanggung jawab besar, apalagi di negeri orang, bahkan bahasanya saja aku tak bisa Kak."

Yura terdiam, tidak bisa berkata lagi. Sebab ia berasal dari keluarga yang berada. Jadi tidak dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga di usianya yang remaja. Ia juga merasakan bagaimana rasanya bersekolah dan kuliah. Tidak seperti Melati, gadis itu harus berhenti di tengah jalan dan memilih terjun ke dunia pekerjaan.

"Melati, orang yang nantinya akan kamu jaga memiliki kekurangan. Dia tidak sama dengan yang lainnya. Ya, semacam sebuah tragedi begitu." Yura berhenti sejenak, menarik napas.

"Tapi kamu tenang saja. Dia lumayan tampan jadi, tidak akan membosankan kalau kamu selalu ada di dekat dia."

Melati tergagap mendengar penuturan Yura. Dia tak mengira kalau Yura akan menggodanya. Dia saja masih belum terpikirkan bagaimana sosok remaja ah sebentar lagi pasti dewasa itu.

"Ma--maksudnya bagaimana Kak?"

"Ya ampun, nanti kamu bakalan tahu sendiri kok. Yuk turun. Sudah sampai."

Melati dan Yura sedang menanti jemputan dari keluarga Carlston. Sebelumnya, Melati tidak diberi tahu bahwa yang akan menjadi majikannya kali ini adalah orang terkaya nomor dua di Indonesia.

Kenapa begitu? Agar Melati tidak merasa minder dan rasa percaya dirinya pun juga tidak berkurang. Jika gadis itu tahu, maka tentu ia akan menolak dan meminta untuk dicarikan pekerjaan lainnya.

Mulutnya terbuka menganga saat melihat supir turun dan membukakan pintu untuk dirinya serta Yura. "Ma--maaf, saya bisa buka pintu sendiri kok, Pak. Tidak usah repot-repot," jawabnya dengan sopan.

"Kak, itu Bapak dari anak yang mau aku jaga ya?" bisiknya kepada Yura dan Yura mengiyakan, "iya, Ti."

Rumah yang besar, halaman yang dipenuhi oleh tanaman mahal. Kolam berenang bisa untuk menampung sekampung warga.Lagi-lagi Melati dibuat ternganga oleh hal yang baru pertama ia lihat. Bahkan itu hanya ada dalam mimpinya.

'Gila! besar sekali!' Batinnya menjerit terkagum-kagum.

"Rumahnya bagus kan, Ti? Kakak yakin kamu bakalan betah banget berada di sini. Dan ini adalah pekerjaan yang khusus buat kamu."

"Kak, beneran ini nyata. Ati gak lagi mimpi kan?!" Ia menampar pipi serta mencubit tangannya.

"Aw, sakit. Ini nyata." Kata puji serta kekaguman terus dilontarkan Ati hingga si tuan rumah datang dan menyambut mereka.

Seorang wanita yang cantik dan berkelas. Seperti putri di kerajaan. Ia melemparkan senyum hangat. Dia menghampiri Melati dan menyapanya.

"Halo, kalian sudah sampai? Bagaimana perjalanannya?" Wanita berumur 40 tahunan dengan wajah yang terawat dan pakaian mahal yang dikenakannya semakin menampilkan keanggunan nyonya keluarga Carlston itu.

"Halo, Nyonya. Ya perjalanan kami ... menyenangkan, apa kabar Nyonya?" Yura mulai menjawabnya. Mereka berdiri menyambut sang nyonya yang baru saja menghampiri mereka.

"Ah, duduklah, tak usah formal begitu," sela sang pemilik rumah. Lantas usai dia menatap Yura, barulah dia mengalihkan pandangannya.

Melati dibuat kikuk begitu mata sang nyonya menelusurinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Yura berbisik, meminta Melati memperkenalkan diri.

"Halo, saya Melati yang akan bekerja di rumah Nyonya," sapanya dengan gugup.

"Jangan panggil Nyonya, panggil saya Ibu saja ya, Melati?"

Masih terdengar sambutan ramah dari sang nyonya besar. Setidaknya itulah tangkapan pemahaman Melati.

Usai sedikit berbincang, mereka dipersilakan untuk beristirahat dan Melati dibawa menuju kamarnya.

Yura berpamitan dan pergi. Melati diarahkan ke kamarnya oleh ART. "Wah, kamarku saja besar seperti. Bagaimana dengan kamar mereka ya? Hm, pasti besar banget. Bisa muat sekeluarga deh." Ia merapikan baju serta menyusunnya di lemari.

Ini adalah kali pertama baginya memiliki kamar sendiri. Sebelumnya ia harus sekamar dengan pekerja lainnya dan berbagi tempat.

"Aaaah." Ia merebahkan badan, lalu melihat keluar jendela. Pemandangan yang indah gedung pencakar langit berdiri berjejer.

Kehidupan Melati mulai berubah semenjak bergabung dengan keluarga ternama itu. Tak hanya gajinya yang lima kali lipat, tetapi fasilitas yang diterima oleh Melati juga mewadahi.

Kamarnya diketuk oleh salah satu ART dan memberikannya ponsel.

"Tidak usah, Bik. Saya enggak pakai ponsel juga gak masalah," tolaknya.

"Melati, kamu diwajibkan untuk memiliki ponsel. Sebab segala urusan di rumah ini akan dihubungkan dengan ponsel ini," jelas si ART.

"Oh begitu. Terima kasih karena sudah membelikan ponsel ini."

"Apa yang akan aku lakukan dengan ponsel ini? Cara memakainya saja aku tidak paham?" Melati nampak kebingungan dengan ponsel canggih yang sebelumnya dia tak pernah memimpikannya.

avataravatar
Next chapter