webnovel

EP. 050 - Ironi

Grizelle yang menghadap ke depan kaget dengan pertanyaan itu. Dia segera menoleh ke arah pria itu. Grizelle melihat kembali wajahnya dengan seksama. Benar, pria yang di depannya ini adalah salah satu pria yang berada di ruang makan tadi malam.

"Iyaaa… " jawab Grizelle sambil menutupi wajahnya karena malu.

"Kenapa mesti malu? Itu hal yang manusiawi", kata pria di sampingnya.

"Tidak! Saya hanya… hanya… hanya… hanya bingung harus bereaksi seperti apa", jawab Grizelle dengan gugup.

Pria yang awalnya menghadap ke arah laut, kini memutar badannya ke arah Grizelle setelah mendengar hal itu. Grizelle tahu orang itu sedang memandanginya tapi Grizelle terlalu malu untuk menampakkan wajahnya. Orang itu masih menatap Grizelle walau dia cuek.

Hening, itulah yang terjadi sekarang. Hanya ombak laut yang berbicara saat itu. Suara ombak menenangkan hati Grizelle yang salah tingkah sedari tadi. Rasa malu Grizelle masih tergambar jelas di wajahnya. Pria di sampingnya melihat wajah malunya, lalu telinga kanan, turun ke pundak, turun lagi ke bordiran semanggi yang ada di sebelah kanan jubah putih yang Grizelle pakai.

"Kenapa mesti malu. Dirimu yang sekarang terlihat jauh lebih baik dari tadi malam. Sudah lama tidak keramas, ya?" ledek pria itu.

"Aish!", jawab Grizelle yang langsung menengok ke pria itu karena kesal.

"Tenang. Aku juga jarang keramas saat di kapal. Terakhir kali aku keramas itu 2 hari yang lalu. Ngomong-ngomong, dari mana kamu mendapat jubah itu?", jawab pria itu.

"Jubah putih ini terlipat di depan kamar mandi yang dekat dapur", jawab Grizelle.

"Benar berarti", jawab pria itu.

"Benar apanya?", balas Grizelle.

"Itu jubahku!" jawab pria itu.

"Eh… !" Grizelle langsung menunduk melihat bagian kanan dan kiri jubah. Dia bingung, salah tingkah, meraba-raba jubah yang dipakainya dengan kedua tangan, dan terakhir…

"Maaf… saya tidak punya baju ganti", kata Grizelle memelas.

"Tidak apa-apa. Baju ini untukmu saja. Pakai saja dengan nyaman. Tidak perlu sungkan. Jubah putih itu jauh lebih baik. Kalau yang warna merah itu dipakai untuk seragam", kata pria itu.

Maksud dari pria itu adalah Grizelle cantik pakai jubah putih. Jauh lebih cantik dari tadi malam yang awut-awutan. Tapi pria itu terlalu malu untuk mengucapkan kata "kamu cantik". Padahal dia benar-benar terpesona dengan Grizelle di pagi itu.

"Boleh tahu nama anda, Tuan?" tanya Grizelle.

"Aiden. Aiden Woody Blair. Kalau nona?", jawab pria itu.

"Grizelle. Hanya Grizelle", jawab Grizelle.

Sekarang, langit sudah berubah menjadi biru. Grizelle mendengar ada suara langkah kaki yang mendekat. Aiden juga mendengarnya. Aiden malah melihat ke sebelah kanan, yaitu bagian depan kapal. Terlihat bayangan hitam mulai muncul di depan kapal mereka. Seorang prajurit yang menjadi kru kapal tiba-tiba menghampiri Grizelle dan Aiden.

"Jenderal, kita sudah hampir tiba di Eldamanu", kata seorang kru kapal.

"Sudah sampai ya? Baiklah, siapkan jangkar. Kemasi barang-barang dan kita pulang!" perintah Jenderal Aiden yang masih memandangi bayangan hitam yang semakin membesar di depan kapal mereka.

Grizelle hanya diam. Badannya sudah menghadap ke arah kapal sejak kru itu datang. Rambutnya kini sudah kering dan tertiup angin pagi. Hal baiknya, Grizelle selamat dari insiden kapal tenggelam. Hal buruknya yaitu Grizelle harus menelan fakta bahwa yang dia rasa mimpi, itu adalah kenyataan di masa lalu.

"Eldamanu. Jadi yang berseragam merah itu pasukan dari Kerajaan Eldamanu. Lalu yang berseragam biru itu siapa?"

Beberapa saat kemudian, kapal angkatan laut berlabuh di dermaga Kerajaan Eldamanu. Dermaga untuk angkatan laut berbeda dari dermaga untuk warga sipil. Dermaga itu lebih dekat dengan markas angkatan laut dan istana kerajaan Eldamanu.

Banyak warga yang menunggu kapal Jenderal Aiden datang. Mereka adalah keluarga dan sahabat dari kru kapal. Yang pertama kali turun dari kapal adalah para pahlawan yang gugur saat melawan bajak laut Tirtanu. Jenazah mereka ditandu oleh para kru kapal. Isak tangis warga mengiringi jalannya tandu.

Satu per satu kru kapal turun ke daratan, disusul dengan para pedayung yang diselamatkan kru kapal. Tawanan bajak laut yang ditangkap juga turun dari kapal. Tawanan itu langsung di masukkan dalam gerobak yang berbentuk seperti kandang. Gerobak itu segera ditarik kuda ke arah istana. Jenderal Aiden masih berada di atas kapal sambil mengawasi itu semua.

Grizelle ikut turun dari kapal. Dia tidak bisa berlama-lama di atas kapal yang tidak dia miliki. Hanya pakaian kotor yang dia bawa turun. Grizelle berjalan berlawanan arah dengan para prajurit. Dia berjalan menjauh dari kerumunan.

Beberapa saat kemudian, dia menemukan sebuah pantai yang sepi. Letak pantai itu tidak lebih tinggi dari jalan. Perpaduan pasir pink dan birunya laut berhasil menghipnosis Grizelle agar mendekatinya. Grizelle membuka tali sandalnya. Dia berjalan mendekat ke arah air sambil menenteng kedua sandalnya. Setelah dekat, dia duduk di pasir pantai pink itu.

Ombak bersinar seperti bintang. Menari dengan mantel perak. Menari dengan sepatu lonceng emas. Grizelle hanya terbaring hanyut ke dalam semua ini. Dia membiarkan kakinya basah tersapu ombak. Dia bingung harus pergi ke mana lagi. Mungkin dia harus menginap di pantai itu.

Matahari mulai bersinar terik. Grizelle masih berada di pantai itu. Dia melihat ke sekelilingnya untuk mencari pohon yang cukup besar dan teduh. Ternyata pohon itu ada di pojok kiri belakangnya. Dia berjalan ke arah pohon itu lalu duduk di bawahnya.

Yang Grizelle lakukan hanyalah duduk diam. Mencerna kembali semua informasi. Berusaha mengingat apa yang telah dia lupakan. Mengingat apa yang dia mimpikan setiap malam.

Siang berganti sore, Grizelle masih berdiri di pantai yang sama di Eldamanu. Sore berganti malam, Grizelle masih duduk di pantai itu. Malam berganti pagi, Grizelle masih berjalan di pantai.

Pagi ini, pemakaman jenazah para prajurit Eldamanu yang gugur di gelar. Pemakaman itu di gelar di sebuah bukit yang dipenuhi rumput. Pohon hanya ada di bagian bawah bukit. Sedangkan bagian atasnya hanya ada rumput, langit dan awan, serta teriknya matahari. Sayang, teriknya matahari tidak cukup untuk menghangatkan hati yang berduka.

Isak tangis keluarga dan sahabat yang ditinggalkan menyelimuti upacara pemakaman. Jenderal Aiden hadir memimpin jalannya upacara pemakaman. Ada 15 prajurit yang meninggal melawan bajak laut termasuk kapten kapal dan nahkoda. Mereka semua dimakamkan bersamaan.

Jenderal Aiden berbalik meninggalkan makam seusai upacara. Seekor kuda coklat menunggunya di luar pagar pemakaman. Dia segera menaikinya lalu pergi ke istana Kerajaan Eldamanu untuk melapor pada Raja.

Para pelayan dan penjaga istana Eldamanu berbaris rapi dari gerbang hingga gedung utama. Begitu Jenderal Aiden memasuki pintu gerbang, suara tepuk tangan menggema.

"Selamat!" teriak seorang pelayan.

"Panjang umur Jenderal!" teriak seorang penjaga.

"Kita menang!" teriak seseorang.

Sorak sorai dan tepuk tangan menemani Jenderal yang duduk di atas kuda yang berjalan pelan. Beberapa orang bahkan menghujani Jenderal Aiden dengan bunga. Walaupun begitu, raut wajah Jenderal tampak datar. Seakan pujian itu bukan ditujukan untuk dirinya.

Tibalah Jenderal Aiden di depan pintu utama istana. Dia segera turun dari kudanya. Tanpa diperintah, kedua penjaga yang ada di sana segera membukakan pintu untuknya. Begitu pintu dibuka, tampak karpet merah yang membentang panjang bagai altar pernikahan. Jenderal Aiden berjalan tengak di atasnya dengan mantap. Pandangannya lurus ke depan memandang seseorang yang duduk di atas singgasana.

Raja yang duduk di singgasana segera berdiri saat Jenderal Aiden mendekat. Jenderal Aiden langsung berlutut memberi hormat pada Raja. Raja berjalan turun, lalu menepuk kedua pundak Jenderal saat dia menunduk.

"Kerja bagus. Selamat!", puji Raja Eldamanu.

Raja Eldamanu kembali lagi menaiki tangga menuju singgasananya. Jenderal Aiden baru kembali berdiri setelah Raja kembali duduk di singgasananya.

"Lapor! Misi telah selesai. Semua bajak laut sudah kami kalahkan. Sebagian dari mereka menjadi tawanan dan kini di kurung dalam penjara Eldamanu. Ada 15 prajurit yang gugur dalam pertempuran ini", lapor Jenderal Aiden.

"Kerja bagus. Selamat!" puji Raja.

"15 ORANG MENINGGAL YANG MULIA! Apa yang bagus dari itu?" teriak Jenderal Aiden marah.