3 Bab 3

(3)

Januar kembali Ke rumah dengan perasaan kesal. Ia melepaskan dasi dan langsung melempar asal, tas kerjanya pun ia banting ke atas kasur. Ia sudah benar - benar merasakan penat yang bekerja sebagai seorang karyawan kantoran. Seleranya bekerja pun kembali menurun.

Yang membuatnya semakin kesal, ia tak bisa berbuat apa - apa pada Citra, meskipun ia sangat jengkel dengan sikap Citra. Ia tahu, kalau Citra juga sumber kelemahannya. Sekali saja Citra berani menangis didepannya, pasti ia tak akan membiarkannya begitu saja.

"Kalau saja… Citra itu seorang lelaki, mungkin semua ini tak akan serumit ini… aku pasti akan menghabisinya sejak awal.. Aish !! Sial !!" Gerutunya sambil menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.

Dengan malas, Januar mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Ia mencoba melihat ke daftar pesan atau pun riwayat panggilan. Tapi, tak ada yang bisa ia temukan di sana. Lalu, sejenak, ia tersadar, kalau sudah lama, tak pernah ada orang yang meminta bantuan J'hunter. Sampai - sampai, perlahan, ia mulai merindukan pekerjaan keji itu.

"Apa semua orang sedang dalam masa - masa tenang sekarang ?? Kenapa tak ada satu pun yang meminta bantuan J'hunter ?? Haaahhhh…. Menyebalkan !!" gumamnya sambil memegang sebelah kepalanya.

Ia pun membuang ponselnya ke atas kepalanya.

Sebelum ini, frustasinya tak separah kali ini. Sekarang, semua bertambah berat untuk ia jalani. Ia sadar, kalau semuanya bermula dari pengkhianatan perempuan yang memang sangat dicintainya itu. Jika perempuan itu tak berselingkuh, ia tak akan menjadi kalut, dan pekerjaannya tak akan berantakan. Dan jika pekerjaannya baik - baik saja, maka ia tak akan punya pikiran untuk bekerja seperti sekarang. Pekerjaan yang benar - benar melelahkan.

Ingatan akan Mela mulai berkelebat lagi dipikirannya. Semua ingatan menyakitkan dihari anniversarynya. Dan itulah hari yang paling menyakitkan selama hidupnya.

Dengan cepat, ia berusaha membuang jauh - jauh pikiran itu. Jika tidak, ia akan semakin tertekan.

"Sudah ! Kau tak perlu mengingat perempuan itu ! Kalau kau memang mencintainya, lepaskan dia. Dia berkhianat, karena mungkin ia belum mencintaimu sepertinya layaknya kau mencintainya." Kali ini ia berusaha berpikir positif tentang pengkhianatan Mela.

Tapi akhirnya tetap saja. Ia masih merasa sangat tak terima dengan semua yang Mela lakukan. Ia mendesah kesal, sambil mengacak rambutnya kasar.

Untuk mengusir kegelisahannya, Januar pun beranjak untuk membersihkan dirinya. Ia mengganti pakaian, lalu bergegas mandi.

Ia berjalan dengan malas menuju kamar mandi. Dan saat ia melewati meja makan, perutnya tiba - tiba berbunyi dengankeras. Pertanda bahwa perutnya meminta makan. Ia menghela napas berat. Tapi akhirnya, ia pun menuruti kemauan perutnya itu.

Saat tangannya membuka tudung makanan, ia tak menemukan makanan apapun di sana. Mood hatinya pun kian memburuk.

"Ah…. sial !!" Desahnya. Karena gagal menemukan makanan, ia pun beranjak kembali ke tujuan awalnya. Hari ini memang hari yang cukup berantakan untuk seorang psikopat keji macam dirinya.

***

Pukul 7 malam, Citra baru tiba di apartemennya. Rasa penat sangat menderanya hari ini. Dia terpaksa harus lembur, untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedikit berantakan karena karyawan baru bernama Galan itu.

"Gara - gara lelaki itu, jam pulang ku harus terpotong dengan lembur… Dasar menyebalkan !!" Gerutunya sambil menghidupkan seluruh lampu yang ada di apartemennya. Lalu menuju ke dapur untuk menyiapkan makan malamnya.

"Heran.. sebenarnya apa yang Pak Gunawan unggulkan dari si - Galan… menurutnya saja kalau kinerja Galan pasti bisa membuatku puas.. tapi nyatanya, dia tak lebih dari seorang pecundang. Sudah begonya bukan main, masih… saja berani membuatku kesal. Dasar tak tau diri !!" Ocehannya pun berlanjut.

Sesampainya di dapur, ia terkejut melihat sesosok perempuan yang sedang makan. Tak lain, dia adalah sahabatnya sendiri.

"Aida ?? Sedang apa kau disini ??"

Perempuan itu hanya menatap Citra tanpa dosa. Kemudian, perempuan itu melanjutkan acara makannya.

"Aku sedang makan."

Mendengar jawaban santai dari Aida, ia menjadi sangat gemas. Ia pun menghampiri sahabat karibnya itu.

"Aku juga tau kau sedang makan… tapi, bagaimana kau bisa ada disini ? Kau masuk lewat mana ?"

Aida memutar bola matanya dengan malas.

"Hei !! Kau pikir kita sudah bersahabat berapa lama ?? Kau pikir aku baru pertama kali datang ke apartemenmu ??" Aida mengetuk jidatnya dengan sendok yang sedang dipegangnya. Sedang ia hanya menatap sahabatnya dengan tatapan datar.

"O." Jawabnya singkat sambil menatap Aida penuh ejekan.

"Hh ! Dasar !" Aida memilih tetap melanjutkan aktivitas makannya. Ia pun tersenyum sembari duduk tepat didepan Aida.

"Btw, bagaimana dengan kabar pekerjaanmu ?? Sepertinya, akhir - akhir ini, kau tak pernah memberi kabar apapun padaku ?? Apa sebegitu lancarnya kah pekerjaanmu selama ini ??" Aida mengalihkan topik. Tapi, kali ini, topik Aida berhasil membuat rasa kesalnya kembali muncul.

Citra menghentikan makannya. Senyum diwajahnya pun menghilang dengan seketika. Ekspresi wajahnya berubah malas.

"Kenapa kau menanyakan hal itu ??" Aida mengerutkan keningnya, bingung akan jawabannya yang tak biasa ia ucapkan jika itu seputar pekerjaan kesayangannya.

"Tumben sekali wajahmu berubah seperti itu… biasanya, kau akan langsung mengoceh jika aku bertanya tentang pekerjaanmu…Kenapa sekarang malah sebaliknya ?" Aida mulai banyak bertanya.

"Aahhh.. sudahlah.. aku hanya sedang lelah saja dengan pekerjaan itu… bahkan, aku mulai muak dengan semua yang berhubungan dengan pekerjaan itu.." Mau tidak mau, perasaan yang selama ini ia tahan, akhirnya terucapkan juga pada sahabatnya.

"Apa katamu ?? Muak ?? Waaahh… si - pekerja keras Lidya Citra Nuari ternyata sedang muak dengan pekerjaannya… Memangnya kenapa bisa begitu Bu manager ??? Apa yang membuat anda muak ??" Aida malah menggodanya.

"Haahh… kau ini.. bukannya aku sudah menceritakan karyawan baru yang menyebalkan itu padamu ??" Ia semakin kesal saja.

"Apa ?? Karyawan baru ?? Dia laki - laki atau perempuan ?? Sepertinya dia laki - laki ya ??" Aida semakin memberondongnya dengan pertanyaan tak berguna.

"Huh… Kau ini… kalau masalah laki - laki saja kepo nya minta ampun.." Cibirnya.

"Aahhh… sudahlah, jawab saja.."

"Iya - iya… tapi dia laki - laki yang sangat menyebalkan… dia tak berguna, bodoh, bego, tak tau apa - apa, dia juga sangat kurang ajar !! Bahkan, Pak Gunawan menerimanya bekerja tanpa me - review terlebih dahulu…. Yang lebih parah lagi, dia itu tak pernah bekerja ditempat lain sebelumnya… Gila kan ?!?!" Ia pun tak segan menunjukkan semua keburukan Galan. Apalagi, emosinya pun ikut menguasai dirinya.

"Apa dia tampan ?" Pertanyaan Aida tampak tak menghiraukan ucapan Citra sebelumnya.

"Bagaimana perawakannya ?? Apa dia terlihat gagah ?? Apa dia terlihat manis dan hangat ? Atau tampak seperti orang kejam tapi sebenarnya pribadi yang halus ??" Aida melanjutkan ocehannya.

Citra menghela nafas kesal. Tapi, ia masih tetap menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

"Hmmm…. Aahhh… sudahlah !! Kau ini, kalau masalah laki laki saja, pasti kau langsung berubah antusias… Tapi kalau aku bicara yang lain, kau tampak biasa saja. Bahkan, kau akan lebih bersikap acuh… Dasar !!" Ledeknya dengan tajam.

Bukannya takut, tapi Aida malah terkekeh keras.

"Hahahaha...… kau ini… ini kan memang sifat bawaan dari lahir… jadi, kau tak perlu heran lagi.."

Mendengar jawaban Aida, tak lantas membuat Citra hanya memutar bola matanya dengan malas.

"Sudahlah, tak usah membahas hal itu, kalau kau tak ingin membuatku terkena darah tinggi." Aida kembali terkekeh.

"Oh ayolah Citra… tak perlu berlebihan seperti itu.. lebih baik sekarang, kau ceritakan saja apa yang membuatmu sangat kesal pada si karyawan baru itu."

Citra pun menghela nafas berat. Itulah yang menjadi salah satu kelemahannya saat bersama sahabatnya. Ia tak akan bisa menyembunyikan apapun dari Aida.

"Apa yang ingin kau tanyakan ??" Citra melirik Aida dengan malas.

"Ceritakan saja orang seperti apa karyawan menyebalkan mu itu." Jawab Aida cepat.

"Kau mau tahu covernya atau isi didalamnya dulu ??" Ia bertanya sekali lagi.

"Sudah… ceritakan saja seperti apa dia… jangan terlalu banyak bertanya.." Geram Aida merasa dipermainkan. Ia tersenyum.

"Iya iya… santai…" Ia berusaha menahan geli.

"Laki - laki itu bernama Galan Wicara. Punya perawakan tubuh tinggi gagah. Wajahnya…. Ya… tampan… Rambutnya menutup seluruh keningnya.. Dan, masalah senyum, dia sangat ahli memamerkan senyum manis.. Tapi.... Aku tetap tak menyukainya." Wajahnya kembali tertekuk lesu. Sedang Aida, sebagai pendengar, ia hanya bisa tersenyum senyum sendiri. Tapi, saat mendengar kata terakhir darinya, senyum Aida sirna dengan seketika.

"Kenapa kau bicara seperti itu ?? Padahal, aku tadi sempat melihat senyum disela sela ceritamu.. Sangat jelas, kalau kau juga cukup mengagumi Galan kan ??" Aida mencoba menggodanya.

"Hei !! Kau jangan beropini seenaknya… Yang aku ceritakan barusan, hanya beberapa hal yang bisa sedikit menutupi segudang kelemahannya.. Lihat saja, kalau kau tahu dengan sendirinya, kau pasti akan menyesal pernah mengaguminya.." Sungutnya.

Wajahnya terlihat semakin ketus. Sedangkan, Aida tampak kurang percaya dengan apa yang ia katakan.

"Memangnya apa yang membuatmu sebenci itu padanya ?" Tanya Aida lagi.

"Banyak sekali yang tak ku suka darinya… Dia itu sangat bodoh.. untuk ukuran orang yang punya IQ yang cukup tinggi, dia itu benar - benar tak bisa apa - apa.. aneh kan ?? Semua pekerjaan yang aku berikan padanya, tak pernah ada yang bisa ia selesaikan.. tapi bahkan, ia tak pernah mendapat teguran serius dari Pak Gunawan... Ia terus dibela seperti orang yang tak punya salah apa pun… Lihat saja, Pak Gunawan memang belum tahu seperti apa karyawan tanpa tesnya itu." Tangannya seketika mengepal penuh. Wajahnya menyiratkan dendam yang dalam. Aida hanya tertegun mendengarkan semua ocehan kerasnya yang tak berujung.

Tampak belum puas bicara, Citra tetap melanjutkan ucapannya. Aida yang duduk didepannya menghela nafas pasrah. Dan ia memilih tak peduli. Ia terus saja melampiaskan amarahnya.

"Malam ini pun, aku harus pulang terlambat karena pekerjaan lelaki payah itu tak ada yang selesai ! Kalau terus seperti ini, aku tak akan tinggal diam ! Galan harus mendapatkan hukumannya. Kalau perlu, ia layak dipecat !" Spontan, Aida membelalakkan matanya mendengar kata terakhir yang ia katakan.

"Woah.. woah… tenangkan dirimu Citra… semuanya harus dihadapi dengan tenang… jangan bertindak gegabah.. jika kau salah bertindak, kau juga yang akan mendapat imbasnya.." Aida mencoba meredam emosinya. Tapi lagi - lagi, ia tak ingin mendengarkan nasehat dari sahabatnya itu.

"Untuk sekarang tidak ada waktu untuk berpikir tenang, ia sudah sangat keterlaluan, kau mau temanmu ini mati karena sering lembur dan tekanan darah tinggi"

"Citra.. Citra…lebih baik kau tenangkan dulu pikiranmu, jangan sampai amarah membutakanmu. Ok ? Sekarang kau tenang saja, dia kan masih amatir, jadi abaikan sajalah dia, jangan dipikirkan lagi…" Meski pun tak yakin bujukannya kali ini bisa didengarkan oleh Citra, Aida tetap berusaha meredakan amarah Citra.

Wajah Citra seketika datar, dan tangan kanannya mengacungkan telunjuk ke arah pintu. Aida tak mengerti dengan isyarat Citra.

"Lihat, bahkan kau saja membela dia.. padahal sangat jelas kalau akulah sahabat mu.. Kalau begitu,lebih baik kau pulang saja." Usirnya dengan halus.

Aida mengernyit saat mendengar ucapan Citra.

"Apa kau bilang ? Jangan bilang kalau kau sekarang mencoba mengusirku ??" Aida cukup kecewa dengan perlakuan Citra.

"Lebih baik kau pulang .. ini sudah malam… kau bisa sakit, kalau terlalu lama terkena angin malam… apalagi malam ini, malam yang cukup dingin.." Citra tetap tak memasang senyum. Hingga Aida pun ikut kesal.

" Aku disini untuk menghiburmu.."

"Kau tak sedang menghiburku." Sela Citra dengan cepat.

"Tapi maksudku kan hanya ingin menemanimu.."

"Sudah. Sebelum perasaanku semakin memburuk, dan sebelum kau semakin kesal dengan perlakuanku, kumohon, pulanglah."

Suruhan itu sudah sangat jelas untuk Aida. Canda tawa yang sempat hadir, seketika sirna dan berakhir dengan pengusiran kecil. Aida pun menuruti permintaan Citra, meskipun ia cukup kesal melihat sikap Citra yang terlalu Childish.

Aida pun mengambil tas tangannya yang ada diatas meja makan, lalu ia pergi tanpa berpamitan pada Citra yang beranjak masuk ke dalam kamarnya. Mereka pun akhirnya terjebak dalam situasi perselisihan.

***

Seorang pelayan mendekati meja perempuan yang tengah sibuk bercengkrama dengan seorang lelaki. Pelayan yang tampak datang membawakan pesanannya.

"2 coffe latte dan seafood pedas. Lalu salad original. Silahkan menikmati." Ucap pelayan itu saat sampai.

"Terimakasih." Jawab Mela ringan. Pelayan itu pun langsung kembali ke tempatnya.

"Sayang, apa kau yakin hanya akan makan salad itu saja ?? Aku takut, kalau kau sampai sakit.."

"Ohh.. tenang saja, ini juga bagian dari pekerjaan ku.. kau tak perlu terlalu khawatir sayang…" Mela pun mengambil tangan lelaki didepannya lalu menggenggam tangan itu dengan lembut. Mereka pun saling tersenyum manja.

"Sayang, bagaimana dengan pekerjaanmu ? Apa semua baik – baik saja ? Apa kau merasa kesulitan ? " Tanyanya sambil menyuapkan salad kedalam mulutnya.

"Hm … semuanya baik – baik saja.. pekerjaan ini cukup ringan bagiku…" Lelaki itu mengangguk.

" Syukurlah… Lalu, kapan kau akan digaji ??"

"Mungkin lusa. Memangnya, apa ada barang yang ingin kau beli ?"

Mela pun langsung mengangguk cepat.

"Baiklah, lusa, setelah aku mendapatkan gaji, aku akan membawamu pergi ke mall. Kita cari apa yang kau mau."

"Benarkah ??? Terimakasih Ervan sayang…..makin…. Cinta." Mela tersenyum senang. Kemudian, Ervan mengambil tangannya lalu mencium punggung tangannya.

"Kalau untuk Mela, apapun akan kuberikan."

Perkataan Ervan membuat Mela semakin senang.

Tiba – tiba, ponsel miliknya bergetar. Dengan segera, ia mengambilnya dan melihat, tenyata itu pesan dari Aldo.

Mela sayang, nanti malam kau tak ada acara kan ?

Aku akan mengajakmu kencan di suatu tempat yang paling indah

Selain itu, aku juga sudah menyiapkan sesuatu untukmu.

Sebuah senyuman langsung terbit diwajah Mela. Ia sudah mulai membayangkan hadiah apa yang akan Aldo berikan kepadanya.

"Hei.. ada apa ? Sepertinya, ada yang sedang membuatmu semakin senang ??" tanya Ervan mulai penasaran.

"Oohh.. ini ada kabar dari temanku, dia akan segera menikah."

Mela menatap Ervan sembari tersenyum, agar Ervan dapat percaya. Dan benar saja, Ervan hanya menanggapinya dengan gumaman.

Setelah itu, Mela langsung membalas pesan dari Aldo. Tentu saja, ia menyetujui permintaan Aldo.

"Ini sebuah kesempatan, jadi tak boleh dilepaskan." Batinnya dalam hati.

Kemudian, Mela beralih melihat ke dalam daftar riwayat pesan yang ada di ponselnya. Dan tepat diurutan terakhir, terpampang nama seseorang yang sudah lama tak pernah memberinya kabar. Pesan dari Januar.

Ia ingat terakhir kali mengirimkan pesan padanya adalah dua bulan lalu. Tapi, itu pun tak kunjung mendapat balasan. Lelaki itu menghilang bagai ditelan bumi. Malaikat pelindungnya menghilang. Seketika, ia merasakan kehilangan.

"Sayang, kau tak apa kan ?"

"Aku tak apa." Jawabnya dengan gelengan. Memang, memikirkan Januar seketika membuatnya sedih. Entah apa yang membuat Januar sedikit lebih istimewa dari kekasih – kekasihnya yang lain.

"Sungguh kau tak apa ?" Ervan kembali memastikan.

Dengan mantap, Mela pun mengangguk sambil tersenyum tipis.

"Kalau ada masalah, ceritakan saja padaku. Aku siap medengarkanmu kapan saja." Ucap Ervan sambil mengelus punggung tangannya. Mela tersenyum kecut. Bagaimana mungkin ia menceritakan tentang lelaki lain pada Ervan, yang ada, malah nantinya, Ervan juga akan meninggalkan nya tanpa kabar seperti yang Januar lakukan.

"Sudahlah, lupakan saja aku hanya merasa sedih akan ditinggal menikah oleh sahabat dekatku itu.. pasti waktu berkumpul denganku akan semakin terbatas." Bohongnya.

Tapi, kebohongan itu tetap Ervan percayai seperti biasanya.

***

Cercaan sinar mentari menelusup masuk ke dalam celah kecil fentilasi kamar Januar. Hingga salah satunya berhasil mengusik tidur lelaki tampan itu. Ia pun akhirnya terbangun sambil menguap dan menyadarkan diri bahwa pagi telah datang lagi.

Januar merasakan segala penat yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tetapi sialnya, penat yang ia rasakan itu, tak mudah pergi juga. Kerap kali memaksanya mendesah kesal. Ia mematung malas.

Entah Januar sedang meratapi nasibnya yang tak kunjung membaik juga. Ataupun, hanya karena ia mulai lelah mendengar omelan yang tak pernah ada habisnya. Manager divisinya itu, tak akan berhenti mengomel sebelum Januar benar – benar melakukan apa yang diinginkannya. Sungguh suatu keberuntungan besar untuknya.

Januar melirik ke arah meja kecil di samping ranjangnya. Mencoba mencari benda kecil yang menjadi hal penting dalam hidupnya. Tepatnya adalah si ponsel kesayangan. Ia bermaksud untuk tahu jam berapa saat ini.

Mata Januar seketika melebar, saat layar ponsel menyala, dan jam menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit. Tanpa menunggu lagi, ia segera melompat keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar mandi. Ia sudah benar – benar terlambat.

Untung saja, persiapan Januar hanya membutuhkan sepuluh menit saja. Segera, setelah itu ia langsung berjalan menuju garasi dan segera berangkat bekerja.

Diantara deretan mobil – mobil mewah yang ada disana, ia hanya sering menggunakan mobil Ferrari modif yang berwarna merah. Karena, mobil itu juga yang selalu ia gunakan saat bekerja sebagai J'hunter.

Pintu garasi terbuka otomatis, kemudian ia melesatkan mobilnya secepatnya. Ia harus sedikit meringankan omelan Citra nanti.

Ditengah perjalanan, ponselnya tiba-tiba berdering keras. Januar mengumpat kesal. Ia pun segera memasang headset ke salah satu telinganya.

"Shit!! Siapa lagi ini ??" Tertera nama Ben, seseorang yang duduk disebelah kubikelnya.

"Halo ?! Ada apa ? Kenapa kau meneleponku disaat seperti ini ??" ia masih membentak.

"Lan, kau ada dimana sekarang ?? Ini gawat !!" suara Ben terdengar tak kalah panik.

"Yah, gawat kenapa ?? Cepat katakan ??"desaknya.

"Gawat, Bu Citra, sekarang sedang menunggumu sambil duduk di kubikel mu.. kau harus cepat datang !! Karena kalau ku lihat dari ekspresi wajah nya, ia sedang benar – benar marah sekarang.. cepat !!" Oceh Ben

"Sial !! Sepertinya manager itu tak akan mengampuniku kali ini… hahh !! Dasar !!" Ia kembali mengumpat tak terkendali.

Januar pun mengakhiri panggilan Ben dengan tiba – tiba dan langsung fokus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ia ingin segera mengakhiri semuanya.

Sesampainya di kantor, ia memarkirkan mobilnya tepat disebelah mobil silver milik Citra. Januar mengerlingkan matanya semakin kesal. Kenyataan ia ingin menjauh dari Citra pun seakan semakin mustahil. Karena sepertinya, hal kecil saja, ia selalu berurusan dengan si manager galaknya itu.

Januar masuk ke dalam kantor dengan penuh hati – hati. Berjaga jika mungkin Citra muncul dengan tiba tiba-tiba dan langsung memarahinya habis habisan. Tapi, ternyata, hingga ia masuk kedalam divisinya, ia belum melihat tanda – tanda ada kehadiran Citra.

Tapi, kekhawatiran Januar kembali muncul saat ia sudah cukup dekat dari meja kubikelnya. Ia teringat ucapan Ben saat ditelepon, kalau Citra sudah menunggunya di meja kubikelnya. Dan ternyata benar. Citra sudah duduk manis di kursi kerjanya sambil menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

Sebelum berjalan mendekati Citra ia menarik nafasnya dalam – dalam. Berharap, ia hanya berakhir dengan omelan saja. Tak perlu ada tindakan lainnya lagi.

Dirasa cukup Januar pun melangkah menghampiri Citra dengan wajah dibuat seolah sedang merasa bersalah.

Langkahnya begitu hati – hati, lalu berhenti tepat disamping Citra duduk. Perempuan itu pun menoleh sambil menatapnya tajam. Sedang ia hanya tersenyum kecut.

"Selamat pagi bu." Januar berusaha menjadi seramah mungkin. Tapi Citra hanya memandanginya sinis.

"Maaf Bu.. pagi ini, saya benar benar terlambat. Tapi, saya janji.." ucapannya terpotong.

"Janji ? Sudah ! Tak perlu berjanji lagi… karena asal kau tahu saja, semua janji yang kau ucapkan hanya omong kosong !" kata kata Citra begitu pedas terdengar oleh semua karyawan divisi. Sungguh isyarat ampuh yang bisa langsung membuatnya diam.

"Kalau omelan saya belum cukup menyadarkan anda, tolong sadarkan diri anda sendiri ! Saya lelah harus berurusan dengan orang yang sulit seperti anda." Ucapan Citra begitu halus namun begitu menusuk juga. Januar hanya tetap diam. Ia mencoba bertahan sedikit lagi. Sedang karyawan yang lainnya, menyimak pembicaraan mereka berdua dengan tegang.

"Ini yang terakhir kalinya saya menerima karyawan tolol untuk bekerja di divisi saya. Karena hanya karyawan tolol saja, yang akan membiarkan omelan saya memenuhi hari – harinya." Citra akhirnya berdiri dari duduknya dan menoleh ke arah Januar sebelum kembali.

"Buktikan kalau anda bukan karyawan tolol yang saya maksud tadi."

Citra pun meninggalkan Januar dan kembali ke ruangannya setelah berhasil membuat seluruh karyawan bergidik ketakutan dengan ucapannya.

Tapi, meskipun begitu, kata - kata itu masih tak cukup menakutkan untuk Januar. Jadi, ia menganggap kalau Citra hanya sekedar menggertaknya saja.

"Terserah." Jawab Januar setelah Citra berlalu meninggalkannya. Kemudian ia kembali ke kubikelnya dengan tenang.

Saat Januar telah duduk, Ben, yang sedari tadi hanya menjadi penonton setia,akhirnya resmi membuka mulutnya.

"Wahh !! Kau benar – benar hebat.. baru pertama kali ini, aku melihat ada karyawan yang bersikap tenang saat mendapat ultimatum besar dari Bu Citra…. Wah… kau benar – benar luar biasa… Apa kau tak pernah merasa takut ?? Haa??" Ben berusaha mendapat perhatian Januar karena tak juga mendapat tanggapan dari Januar.

"Hei !! Apa kau tuli ?? Kenapa kau tak menjawabku ??" Ben mendesak jawaban dari Januar. Bukan menjawab pertanyaan Ben, Januar malah beranjak pergi berlalu meninggalkan Ben.

"Hei !!! Galan !! Ku mau kemana ?? Hei tunggu !!" Ben mencoba menghentikan, namun Januar semakin cepat melangkah.

Januar berjalan dengan cepat menuju tempat parkir, dan berpikir untuk pergi dari sana. Tapi, saat sampai disana, ia melihat Citra sedang duduk berjongkok didepan mobil Januar sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sepertinya, perempuan itu sedang menangis.

Januar menggeram kesal.

"Kenapa… aku harus melihatnya menangis… hahh!! Sial !"

Yang membuatnya semakin kesal, karena ia terlalu serius melihat Citra menangis. Dengan begitu, sekesal apapun ia pada Citra, ia tak akan pernah membiarkan Citra menangis begitu saja.

Seperti biasa, ia bergerak reflek mendekat ke arah Citra. Ia tak tahan melihat perempuan itu terus menangis. Ia ingin segera menenangkan Citra, hingga perempuan itu berhenti menangis.Tak peduli meski ia sedang kesal atau tidak. Sungguh kelemahan mutlak yang begitu melemahkan mentalnya.

Tetapi, Januar menghentikan langkahnya, ketika tiba – tiba Citra bangkit dari jongkokannya, sambil mengusap air mata yang mengacaukan wajahnya. Ia pun langsung pergi bersembunyi agar Citra tak sampai tahu kehadirannya.

Januar menyelidik dari belakang pilar yang ada disana. Melihat kalau ternyata Citra telah kembali masuk ke dalam gedung kantor. Januar pun hanya bisa menatap punggung managernya yang pergi menjauh.

"Sepertinya dia benar – benar lelah denganku… tapi kurasa, aku juga sangat lelah dengannya… kalau kita sama –sama lelah, kenapa kita tak saling menjauh saja ??" Gumamnya sambil beranjak masuk ke dalam mobilnya, dan meninggalkan tempat itu.

avataravatar
Next chapter