7 Iba

Hanna terbaring di lantai dapur, menahan sakit yang teramat pada semua bagian tubuhnya. Sejenak ia terdiam, menetralkan deru napasnya. Ia mendengar ada yang mendekat. Langkah kaki itu mendekat membuat jantung Hanna bekerja 2 kali lebih cepat.

"Ku mohon, jangan siksa aku lagi.... Sakittt..."

Hanna membatin sambil memejamkan matanya. Kepalanya tiba-tiba dibelai halus. Hanna membuka matanya dan melihat sosok 'ayah'nya. Tapi... Di bahu kanannya terdapat gesper besi bertengger.

*Ctas!

Edwick mencambuk punggung Hanna dengan gesper itu, jangan lupa bagian yang mengenai badannya itu adalah bagian besinya. Dapat dipastikan jika punggung Hanna sekarang melebam kemerahan. 3 hantaman keras tepat di atas punggung Hanna. Hanna meringis, rasanya sangat ngilu.

"Kemarikan tanganmu."

Ucap Edwick penuh penekanan. Hanna diam sejenak lalu menjulurkan kedua tangannya.

*Ctas!

*Ctas!

*Ctas!

Edwick mencambuk punggung dan telapak tangan Hanna hingga bagian lengan. Cambukannya membekas merah dan mengeluarkan darah. Rasanya sangat ngilu. Hanna harus menahannya. Edwick menghajarnya dengan brutal. Berkali-kali ia menyerang Hanna dengan gesper miliknya. Kali ini Edwick menyeret tubuh Hanna ke dalam bathtub. Mengisi penuh bathtub itu dengan air dingin. Lalu ia mendorong tubuh Hanna dan menenggelamkannya. Edwick mencengkram keras kerah baju Hanna lalu menyekek lehernya hingga Hanna kesulitan bernapas. Ditambah luka yang langsung terkena air dingin. Rasanya perih dan ngilu. Hanna mencoba memberontak karena ia memerlukan pasokan udara. Edwick menarik kepala Hanna dan membiarkan Hanna meraup oksigen sebanyak mungkin, lalu ia tenggelamkan lagi tubuh Hanna ke dalam bathtub.

Edwick menatap datar manusia yang sedang ia siksa sekarang. Ia melepas cengkraman tangannya pada kerah Hanna. Ia membenarkan baju yang sempat kusut karena ulah brutalnya tadi. Ia membalik badannya dan sempat melirik Hanna dengan ekor mata.

"Jangan merebut milik orang lain jika masih ingin hidup di rumah ini."

Setelah mengatakan hal itu Edwick langsung jalan ke arah ruang kerjanya. Sebelumnya ia sudah mengunci pintu kamar mandi itu dari luar. Membiarkan Hanna membeku kedinginan dengan seragam basahnya. Lukanya masih basah dan bekas cambukan itu membiru mengeluarkan darah.

"Bagaimana aku menyembunyikan semua ini?"

Hanna membatin memikirkan cara agar semua luka di tubuhnya tertutup sempurna. Ia harus sekolah besok dan luka ini tidak bisa langsung sembuh dalam satu malam. Hanna memegang hidung yang masih mengeluarkan darah itu. Ia meringis menahan sakit akibat benturan keras yang tadi ia terima dan dahinya lebam kemerahan. Ia mengambil gunting di dalam rak yang tersedia di kamar mandi. Ia berdiri dengan susah payah. Kakinya terasa tidak sanggup menyangga dirinya sendiri untuk berdiri. Ia berpegangan dengan wastafel lalu melihat penampilannya pada cermin. Hanna mengambil rambut bagian depannya dan memotongnya sehingga lebam pada dahinya tidak terlihat. Hanna tidak memiliki obat, di rak juga tidak ada. Bagaimana ia menghentikan pendarahan pada bagian punggungnya? Besok sepulang sekolah ia harus membeli obat merah dan perban.

Tapi dari pada memikirkan luka, Hanna lebih memikirkan bagaimana cara keluar dari kamar mandi terkunci ini. Hanna pun bersandar pada pintu mahoni yang terkunci itu. Ia menangis dalam diam memohon pertolongan pada Tuhan. Seluruh bagian tubuhnya terasa sangat sakit. Ngilu yang menyengat terasa sampai ke tulangnya. Bahkan mengepalkan tangan saja Hanna tidak kuat. Telapak tangannya terdapat banyak bekas cambukan Edwick tadi.

Hanna tidur meringkuk memeluk kakinya sendiri. Tidur di atas lantai yang dingin sangat tidak nyaman ditambah badannya yang terasa nyeri mau tak mau Hanna harus menahannya hingga besok. Biasanya jika ia sudah dikurung seperti ini nanti pintu akan terbuka pada pagi harinya.

***

Henry baru saja terbangun dari kasur empuknya, terganggu oleh suara gaduh yang berasal dari arah dapur. Ia bangun dengan terpaksa padahal ni masih pukul 2 pagi. Siapa yang bikin kegaduhan jam segini? Sedangkan ayam saja belum bangun.

"Siapa sih maaa kok berisik bangetttt"

Henry melenguh merenggangkan otot-ototnya. Mengucek mata ngantuknya. Matanya membulat sempurna saat menangkap sosok di balik suara yang membangunkan Henry barusan.

"KAK YINA?!"

Henry berteriak saat mengucapkan itu dan membuat sosok yang membangunkannya menutup kedua telinga.

"Aduhhh ada apasih Hen kok berisik banget hoammm.... Mama lagi tidur jangan berisik hemmm...."

Mata Jiahe membulat sempurna.

"Airin?!! ADUHHH MAMA KANGEN BANGET SAMA KAMU SAYANGGGGG SINI PELUKK."

Yang dipanggil Airin itu langsung berhambur dalam pelukan Jiahe. Jiahe memeluk erat sosok gadis tinggi itu karena ia sangat merindukannya. Dia, Airina Magrietta, keponakan Jiahe yang cuti menjenguk ayahnya di Jerman. Jiahe sangat menyayangi Airin seperti anaknya sendiri. Karena Airin sudah seperti kakak untuk Henry.

"Airin tidur di kamar Henry aja ya? Henrynya mama suruh di ruang tamu aja."

"Loh kok di kamar Henry?! Biar Kak Ayin aja yang di sofa maaaa.."

Airin menoyor kepala Henry. Henry mendengus kesal. Jika sudah dipertemukan dengan kakak sepupunya ini maka akan banyak pertikaian yang akan terjadi.

"Ngalah lu sama yang tua! Sono lu tidur di sofa."

"Iye ah."

Airin tertawa dan mengelus pucuk kepala Henry lembut. Tak terasa adik yang dulu ia gendong kesana kemari sudah lebih tinggi darinya. Airin melempar selimut dan bantal pada Henry dan menutup kamar Henry. Biarkan Airin tidur dengan nyenyak pagi ini meninggalkan Henry yang terpelongo menatap pintu yang sudah terkunci.

Besoknya hujan turun sangat lebat. Mau tidak mau Henry diantar Airin dengan mobilnya. Di sepanjang jalan mereka membicarakan hal random sampai terkadang Airin menoyor kepala Henry karena ucapan yang tidak terdengar sopan. Atensi Henry teralih saat melihat gadis kecil bersepeda di bawah hujan. Jaket yang ia gunakan sudah basah kuyup. Sepeda tuanya terus digenjot dengan kekuatan yang besar agar lajunya bertambah.

"Kak!"

"Apa sih Hen? Jangan suka teriak-teriak ntar budek telinga gue."

"Kak! Itu temen Henry! Ayo kita tebengin!"

"Hah mana?"

Penglihatan Airin tidak jelas ditambah derasnya hujan yang mengguyur kaca mobilnya.

"Yang naik sepeda itu? KENAPA GA BILANG AYO NTAR DIA DEMAM!"

Airin langsung melajukan mobilnya dan menepikannya. Hanna merasa bingung dan asing dengan mobil di depannya. Apa dia mau diculik? Tidak mungkin ada yang mau menyuliknya. Bahkan Hanna ingin rasanya diculik lalu dimutilasi karena ia sudah lelah dengan hidupnya. Tapi kembali lagi ia teringat dengan bunda yang sudah melahirkannya dengan susah payah sehingga nyawa bunda menjadi taruhan. Hanna tidak boleh menyerah bukan?

Hanna terkejut saat pintu mobil itu terbuka dan menampilkan sosok Henry. Hanna lagi-lagi terpukau dengan pahatan wajah anak Jiahe ini. Namun kembali ia tersadar dari lamunannya saat Henry menyodorkan payung.

"Ayok! kita berangkat bareng!"

Henry sudah ingin masuk kembali ke dalam mobil. Tapi Hanna tetap diam di tempat menatap Henry. Ia tidak mau meninggalkan sepedanya, hanya ini yang dia punya. Hanna kembali menaiki sepedanya dan membuat Henry heran. Mau apa gadis ini? Ingin sakit? Atau bagaimana??

"HEI! HANNA!"

Henry menahan sepeda Hanna dan duduk di belakangnya. Hanna bingung. Lukanya memang masih basah dan tidak baik jika dibiarkan lembab nanti akan membusuk. Tapi jika ia menebeng pada Henry, jok mobilnya akan basah. Hanna bimbang. Badannya sudah basah kuyup ditambah luka yang belum kering terasa sangat perih. Tapi dari pada merasa sakit, Hanna lebih memikirkan bagaimana menyembunyikan semua lukanya ini. Rambutnya menitikkan air hujan. Bibirnya membiru. Badannya menggigil. Henry reflek melepas jaketnya dan memakaikannya pada Hanna.

"Cepat masuk!"

Hanna bingung bagaimana ia menjawab perkataan Henry. Tidak mungkin dia menulis di bawah hujan.

"Sepeda?? Kamu tinggal aja dulu disini nanti aku antar kesini lagi. Udah ayo cepetan!"

Hanna menunduk dan masuk ke dalam mobil. Seragamnya basah kuyup dan rambutnya sudah seperti habis keramas. Airin yang melihat itu cuma bisa diam merasa iba. Untungnya paperbag yang ia bawa semalam tidak ia keluarkan, jadi Hanna bisa mengganti seragam sekolahnya dengan seragam miliknya. Tentu saja Airin bekerja, dia bekerja sebagai ajudan atau lebih tepatnya bodyguard. Bisa terbayang seperti apa jika ada masalah dengan seorang Airina bukan?

Di dalam mobil semuanya bungkam seribu bahasa. Tidak ada yang mau membuka suatu obrolan yang panjang maupun singkat. Seakan lem merekat di bibir dan memaku pandangan mereka ke arah depan. Airina yang merasa tidak nyaman pun berdehem memecah hening. Ia menengok ke arah sepupunya itu. Menyenggol lengan kanan Henry dengan sikunya.

"Kenapa diem aja sih? Gue gak suka suasana hening gini Hen."

"Kak, tapi kita gatau apa yang harus diomongin."

"Terserah aja asal gak diem-dieman gini. Gue gerah Hen."

"kak."

"Apa?"

"Gimana mau ngomong? Dia itu... yaa nanti kak Ayin tau sendiri."

"Apasih jangan bikin gue kepo."

"Udah nanti tau sendiriiiii udah cepetan bentar lagi telat nih!"

"Ck! Iyeiye!"

Airina kembali menatap jalanan yang macet karena hujan. Sebelum turun dari mobil, Henry mengecup pipi kiri Airina dan menyusul Hanna yang menunggunya. Henry tersenyum cerah begitu pun dengan Hanna. Henry menyodorkan paperbag milik Airina pada Hanna.

"Nih pake biar gak masuk angin."

Hanna menunjuk dirinya lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia mau menolak tapi Henry memaksanya untuk menerima. Hanna menghela napas panjang dan menerimanya karena Henry sudah seperti meraju raut wajahnya. Hanna tersenyum halus dan membuat Henry salah tingkah di hadapannya.

"Udah ayok masuk bentar lagi bel."

Hanna mengangguk dan terkejut saat dengan tiba-tiba Henry merangkul bahunya. Rasanya perih saat lukanya bergesekan dengan baju, ditambah rangkulan Henry yang menambah rasa ngilu. Hanna meringis namun ia sembunyikan dengan menggigit bibir bawahnya. Semoga saja Henry tidak sadar dengan luka-luka di tubuhnya

avataravatar