3 Hors d'oeuvre

Sudah satu minggu sejak Farhan dan Nissa jalan bersama. Mereka menjadi semakin akrab sebagai seorang teman. Ya, sayangnya Farhan harus cukup dengan status teman. Nissa rupanya telah memiliki seorang kekasih, setidaknya begitu pengakuannya beberapa hari lalu.

Kekasih Nissa merupakan mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia. Mereka sudah menjalin kasih sejak Nissa masih kelas dua SMA, terhitung sudah hampir tiga tahun.

Jujur, Farhan sedikit merasa minder. Perempuan yang memberi kesan pertama dengan apik di hatinya ini nampaknya memiliki standar yang cukup tinggi. Sedang ia, hanya orang biasa dan berasal dari keluarga sederhana. Tak ada yang ia bisa banggakan. Otaknya pas-pasan, pun dengan wajah dan isi dompetnya.

Kesimpulannya, ia lebih baik mundur teratur. Menerima nasib jika hubungan mereka tidak mungkin berjalan lebih dari sekedar teman.

***

Nissa menyukai kampusnya yang sekarang. Begitupun dengan teman-temannya. Setidaknya sejauh ini.

Kelas terakhir hari ini berakhir pukul tiga sore. Beberapa teman sekelasnya sudah merancang beberapa list yang akan mereka lakukan untuk mengisi akhir pekan. Ini hari Kamis, dan mereka tidak memiliki kelas apapun hingga hari Senin mendatang. Tugas? Tidak ada tugas lain selain meresensi tiga buku per minggu dari dosen Membaca Sastra mereka.

Nissa baru akan beranjak dari kursinya saat seorang teman kelasnya menyebutkan namanya.

"Kenapa? " Tanya Nissa. Nissa tidak bisa menyembunyikan perasaan heran ketika Deas, salah satu teman sekelas Nissa memanggilnya. Deas merupakan anak yang sedikit lebih pendiam dari pada yang lain. Ini adalah obrolan pertama mereka sejak resmi menjadi teman sekelas minggu lalu.

"Aku ada acara amal, mendongeng untuk anak kecil yang sering ngaji di masjid komplek belakang kampus. Kalau kamu nggak keberatan, mau nggak kamu jadi salah satu Voulentir untuk jadi salah satu pengisi acara. "

"Aku? " Nissa menunjuk dirinya sendiri. Jujur saja ia menyukai anak-anak. Tapi mendongeng untuk anak kecil ia sama sekali belum pernah melakukannya.

Deas menjawab dengan anggukan yang antusias. Ia mengambil sebuah selebaran kecil dari kantung jaketnya.

"Aku tunggu di depan pintu gerbang fakultas jam 8 pagi. Dan nggak boleh telat. "

Deas sudah berlari keluar kelas ketika Nissa ingin mengeluarkan kalimat penolakan. Dan gagal. Mungkin Nissa harus menyiapkan mental untuk mempermalukan dirinya besok pagi.

***

Nissa menghabiskan waktu dua jam sebelum tidur untuk mencari referensi dongeng anak dan bagaimana cara mendongeng. Akhirnya ia meminjam tanpa ijin dua boneka milik keponakannya sebagai alat tempur pagi ini. Sebuah kemeja berwarna putih dengan jeans warna biru menjadi pilihan outfitnya hari ini. Ia sengaja mencepol rambutnya karena nampaknya hari ini akan begitu terik.

Beberapa motor sudah terparkir dengan acak di depan pintu gerbang fakultas ketika ia datang. Hal yang paling tak ia duga adalah keberadaan Deas dan Farhan yang tengah berbincang ria. Farhan menduduki motor matik putih miliknya sementara Deas membonceng di belakang. Deas langsung turun dari jok begitu melihat kedatangan Nissa. Menarik tangan Nissa agar lebih mendekat ke yang lain.

Seorang senior mereka, Rion, menjadi ketua tim Voulentir untuk acara pagi ini. Setelah memberikan pengarahan singkat, kemudian memberi komando untuk segera berangkat.

Nisa nampak kebingungan karena ia datang dengan ojek online pagi ini. Ia hanya mengenal Deas dan Farhan dalam rombongan. Kedunya tampak sudah akan berboncengan. Namun seolah mengerti kebingungan Nissa, Deas menyerahkan helm milik Farhan padanya.

"Terus kamu bonceng siapa, De?"

"Gampang." Jawabnya santai. Deas yang nampak pendiam di kelas nyatanya cukup memiliki banyak teman akrab. Dia nampak mendekati salah satu senior dan langsung membonceng motornya.

"Namanya Kak Bram. Wakil ketua BEM fakultas. Anak musik. " Jelas Farhan tanpa diminta. Nissa hanya mengangguk dan mengambil alih tempat Deas. Lima belas menit mereka menyusuri gang-gang sempit, mereka tiba di sebuah pendopo kecil. Semua mengerjakan job desc sesuai arahan Kak Rion tadi.

Nissa kebagian menyiapkan acara ice breaking bersama Deas dan beberapa orang lainnya. Beberapa game dan bingkisan kecil sudah mereka siapkan. Nissa bersukur karena ia tidak harus mempermalukan dirinya dengan kemampuan mendongeng nya yang amatir. Ia hanya perlu mengambil alih microphone dan berperan sebagai pemandu acara Ice breaking.

"Kenapa nggak kamu aja sih, De?"

"Suaraku mungkin bakal keluar pas ngobrol satu lawan satu. Tapi kalo keroyokan gini, kayanya aku harus lulus kuliah berbicara retorik dulu. " Jawabnya setengah bercanda. "Aku tahu kamu pernah jadi MC pentas seni dari akun insta mu. makanya aku ajak kamu kemarin" Jawabnya lebih lanjut.

Deas tidak terlalu buruk pikir Nissa. Ia cukup baik dan menyenangkan. Pembawaannya yang riang menjadi hiburan tersendiri untuk Nissa. Mungkin Nissa perlu menambahkan nama Deas ke dalam daftar nama teman yang bisa ia hubungi di akhir pekan.

Selain sisi lain Deas yang tak sependiam seperti di dalam kelas, ia juga melihat sisi lain Farhan. Farhan yang selama ini ia kenal sebagai laki-laki biasa, menjadi tampak istimewa secara tiba-tiba. Bukan karena Farhan bisa berubah menjadi power rangers. Tapi karena sisi kebapakan yang dimilikinya.

Farhan yang dia kenal selama seminggu ini adalah teman satu kelompok diskusinya yang pasif. Butuh bantuan dan sedikit tidak peka dengan keadaan. Ia masih ingat harus membantu Farhan mengejar ketertinggalan ketika ia bolos hari pertama masuk kuliah. Farhan bagi Nissa dalam seminggu ini hanya laki-laki biasa seperti teman sekelasnya yang lain.

Tapi hari ini, Farhan nampak berbeda. Ia mendongeng dengan sangat apik. Membuat semua atensi orang-orang tertuju padanya. Ia bisa diandalkan untuk hal-hal yang berat seperti menata panggung, mendekorasi dan mengangkat galon. Ia merebut semua perhatian orang-orang dengan cara yang teramat sangat sederhana. Senyuman ramah dan bersahabat yang luput dari perhatiannya selama seminggu ini.

Dia masih Farhan yang sama yang ia temani ke perpustakaan dan mentraktirnya makan. Tapi ia tampil dengan kesan berbeda yang begitu sederhana dimata Nissa.

Acara amal berakhir pukul lima sore. Waktu yang tepat untuk kembali mengisi perut. Kebetulan, jalanan sekitar fakultas akan berubah menjadi pasar kuliner dadakan menjelang malam. Banyak warung tenda yang menyajikan beberapa makanan sederhana untuk mengisi perut. Nissa, Deas, dan Farhan memisah dari rombongan dan memilih sebuah lesehan dengan menu pecel lele sebagai hidangan utama.

Jika boleh jujur, ini pertama kalinya Nissa makan jajanan pinggir jalan dan duduk lesehan di trotoar. Maklum, ia bersekolah di sekolah elit sejak SD hingga SMA. Maka ia lebih sering nongkrong di McD atau cafe bersama tan-temannya. Karena canggung dengan warung lesehan ia menyerahkan menu makanannya dengan Deas. Begitupun dengan Farhan yang kembali kedalam mode lelaki pemalas dan sedikit tidak peka. Farhan langsung memilih duduk selonjoran di salah satu tikar yang sudah disediakan.

Lesehan Prasojo adalah lesehan yang cukup terkenal karena menu pendamping berapa tempe dan terong crispy yang disajikan bersama pecel lele racikannya.

Lagi Farhan menunjukkan sisi lain kesederhanaan yang tak pernah ia rasakan. Betapa lahapnya lelaki itu memakan makanannya dengan menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu. Ia mengamati cara makannya sendiri sebelum beralih ke Deas. Hanya dia dari mereka bertiga yang menggunakan fasilitas sendok garpu yang disediakan. Mungkin bukan Farhan yang menjadi berbeda dimatanya. Tetapi ia yang berbeda dari yang lainnya.

-----

note.

Mohon maaf sebelumnya karena Kei hiatus tanpa kabar sebelumnya selama setahun ini. Sedikit klise memang, tapi ada hal pribadi yang harus Kei selesaikan dan tidak bisa dibicarakan. Kei harap hal ini tidak mengurangi keinginan pembaca untuk membaca bab selanjutnya

avataravatar