2 One: Snow Festival

"Benar, benar! Memang Shin sangat cocok dengan jubah putih ini! Sangat menawan!"

Suara ceria dari Zura memenuhi ruangan itu. Ia sedang melihat Shin memakai pakaian khusus untuk melakukan parade di Festival Salju, dan semua pelayan yang ada di sana langsung tersenyum karena Zura terdengar sangat puas dengan penampilan Shin.

Shin hanya tersenyum tipis mendengar sahabatnya itu begitu bersemangat, namun di dalam hatinya Shin merasa sedikit terusik. Semua orang di Kerajaan Raneia tahu apa itu Festival Salju. Festival Salju adalah festival khas dari Negeri Raneia yang diadakan setiap tahun saat salju pertama turun. Festival itu dilakukan untuk menyembah dan merayakan Dewa Salju yang menurut legenda telah menyelamatkan manusia dari zaman es ribuan tahun lalu. Dan setiap kali festival dirayakan, keluarga kerajaan akan menyiapkan parade untuk berkeliling ibu kota kerajaan.

Parade itu akan mengantarkan seorang pemuda terpilih yang akan memerankan Dewa Salju berkeliling dengan menggunakan pelangkin. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan Dewa Salju memberkati seluruh penjuru ibu kota kerajaan—meyakinkan rakyat bahwa musim dingin kali ini tidak akan berlangsung terlalu lama. Sang pemuda terpilih tidak lain adalah Shin, dan ia sudah memerankan Dewa Salju ini sejak lima tahun yang lalu.

Mungkin bagi rakyat Raneia biasa, lima kali adalah angka yang sangat banyak untuk memerankan Dewa Salju, namun Shin bukanlah rakyat biasa. Ia adalah sorrein, seorang pemburu iblis atau manusia dengan kekuatan yang bisa mengalahkan iblis. Bukan hanya itu, Shin juga merupakan pemburu iblis terkuat nomor tiga—membuatnya memiliki julukan sebagai Sang Sorrein Ketiga. Tentu saja tidak ada rakyat yang protes tentang Shin yang memerankan Dewa Salju selama lima kali berturut-turut, mereka bahkan merasa sangat senang dengan kenyataan itu. Tapi justru karena ia adalah Sang Sorrein Ketiga, Shin memiliki perasaan campur aduk tentang perannya sebagai Dewa Salju.

"Kenapa wajahmu seperti itu, Shin?"

Shin mendongak ke arah Zura, dan kali ini tidak bisa lagi menyembunyikan kegusaran di hatinya dengan senyuman.

"Apa aku benar-benar pantas memerankan Dewa Salju terus menerus? Bukankah seharusnya saat ini ada orang yang lebih pantas untuk menggantikanku?" tanya Shin.

"Maksudmu Kianne? Yang benar saja! Di dunia ini tidak ada yang lebih cocok memerankan Dewa Salju selain dirimu!" Desis Zura. Siapa pun yang mendengar nada suaranya akan langsung tahu Zura membenci pemuda bernama Kianne itu.

"Tapi Zura," ucap Shin. "Pemuda yang seharusnya memerankan Dewa Salju adalah pemuda bangsawan yang berwibawa, pemuda yang tangannya masih suci dan tidak bernoda. Sementara aku.. tanganku.." Shin berhenti untuk sesaat, lalu melanjutkan, "Bukankah ini hanya akan membuat Dewa Salju murka jika aku tetap memerankannya?"

"Omong kosong!" seru Zura sambil melambaikan tangannya. "Shin, yang menugaskanmu untuk memerankan Dewa Salju adalah Baginda Raja, tidak ada orang yang bisa menyangkal perintahnya. Lagipula, kau itu suci dan tidak bernoda! Buktinya saja selama kau memerankan Dewa Salju, Raneia tidak pernah mengalami musim dingin berkepanjangan! Itu bukti bahwa kau itu suci! Bahkan bunga jiwamu saja putih bersih seperti kapas!"

Mendengar bunga jiwanya disebut, ekspresi wajah Shin berubah jadi suram. Tangannya tanpa sadar memegang dada kiri tempat bunga jiwa bisa terlihat. Ia bisa merasakan suara debaran jantungnya berderu semakin cepat, dan bulir-bulir keringat dingin mulai bermunculan.

"Tuan Shin, sudah saatnya parade dimulai."

Suara pelayan dari luar ruangan menyadarkan Shin dari lamunannya. Ia langsung menghela napas panjang, berusaha membuat pikirannya kembali fokus. Ia lalu berdiri sambil sedikit mengangkat jubah putihnya yang menjuntai hingga ke lantai. Beberapa pelayan memasangkan cadar putih semi transparan pada Shin—membuat wajah tampannya tertutup.

"Semoga beruntung, Shin! Aku akan melihatmu dari balkon!" ujar Zura sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangannya.

Shin hanya tersenyum tipis lalu mulai melangkah pelan diiringi oleh beberapa pelayan yang membantunya berjalan.

***

Di jalanan ibu kota kerajaan yang lebar dan panjang, ribuan orang sudah berdesakkan memenuhi sisi jalan sambil membawa lentera untuk menerangi malam. Meski salju sudah mulai berguguran dari langit, mereka tetap berlomba-lomba mencari tempat yang paling bagus untuk melihat parade—sebab legendanya, jika mereka bisa melihat wajah sang Dewa Salju, mereka akan mendapatkan keberuntungan sepanjang tahun.

Saat pelangkin yang membawa Shin muncul, semua orang langsung bersorak sorai. Ribuan pasang mata itu menatap sosok Shin yang duduk tegap di atas pelangkin dengan wajah tertutup cadar dan jubah putih yang menjuntai. Tanpa perlu melihat wajahnya dengan jelas, semua orang tahu itu adalah Sang Sorrein Ketiga dan mulai menyorakkan julukannya itu.

Shin menatap kerumunan manusia itu dengan ekspresi suram. Meski ia sudah berulangkali memerankan Dewa Salju di parade ini, ia tidak pernah terbiasa diangkut dengan pelangkin dan dipuja-puja. Sensasi ini membuat hatinya seperti dicubit, apalagi kalau mengingat bahwa ia telah menipu begitu banyak orang.

Maafkan aku, batin Shin.

Di tengah suara sorak sorai yang seperti tidak akan berhenti memekakakkan telinga, Shin bisa merasakan sesuatu yang dipenuhi aura kegelapan di antara lautan manusia itu. Tangannya refleks memegang gagang pedang yang tidak pernah ia tinggalkan dan alisnya berkerut penuh waspada. Seluruh inderanya kini menyala jauh lebih kuat dari biasanya, dan matanya menyisir lautan manusia itu dengan seksama.

"AAH!! IBLIS!! ADA IBLIS DI SINI!!!"

"APA??! IBLIS??? LARI!! LARI!! ADA IBLIS!!"

Telinga Shin langsung menangkap teriakan itu, dan ia melihat ada kerumunan yang terlihat seperti menghindari sesuatu. Tanpa ragu, Shin langsung melompat ke tempat itu—membuat jubahnya berkibar seperti sayap putih di tengah langit malam yang gelap dan butir-butir es putih yang menari di udara. Rambut merahnya yang panjang berkibar seperti bara api. Ia mendarat dengan perlahan di atas tanah dan orang-orang yang melihat merasa seperti baru saja ada dewa yang turun dari khayangan. Beberapa bahkan mematung di tempat dengan kagum—seolah lupa bahwa mereka sedang berlari menghindari iblis.

Shin berjalan perlahan dan saat ia berhenti, tepat di hadapannya ada seorang iblis tengah meringkuk ketakutan saat melihat sosok Shin menghampiri dengan pedang bergagang merah di tangannya. Iblis itu mengenakan pakaian budak yang begitu kotor dan telah sobek sana sini. Rambut hitamnya yang panjang begitu kusut dan tak terurus. Dari sela-sela rambut itu, ada kulit putih pucat dan sepasang bola mata merah yang menatap Shin dengan penuh rasa takut.

"T-t-tolong ampuni aku!!" serunya dengan ngeri. "A-a-ampuni aku!! Aku hanya disuruh!! Aku tidak tahu apa-apa!"

Mendengar seruan sang iblis, alis Shin semakin berkerut. Kenapa bisa ada iblis tingkat rendah di sini—di ibu kota kerajaan yang penuh dengan sorrein dan dilapisi pelindung yang telah diperkuat? Ditambah lagi kata-kata yang keluar dari mulut si iblis semakin mengusik pikiran Shin.

"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Shin dengan suara yang tenang seperti air.

"Ti-tidak tahu! A-aku tidak tahu!! Sungguh! Ampuni aku!!" jawab si iblis.

Shin perlahan berlutut dan mendekatkan dirinya pada iblis itu. Orang-orang di sekitar mereka hanya bisa terkesima melihat betapa anggunnya Shin. Mereka semua tahu betapa kuat Sang Sorrein Ketiga saat menghadapi iblis, namun mereka tidak pernah melihatnya secara langsung, apalagi sedekat ini. Dan ternyata, Sang Sorrein Ketiga terlihat begitu anggun bahkan ketika menghadapi iblis dengan pedang di tangannya!

"Dewa!"

"Benar-benar seperti seorang dewa!"

Shin bisa mendengar ucapan pelan dari kerumunan itu, dan untuk sesaat ia bisa merasakan hatinya kembali mengerut. Namun sedetik kemudian, ia kembali menaruh perhatian pada iblis di hadapannya. Iblis itu terlihat begitu ketakutan, dan sepertinya ia tidak memiliki niat untuk melawan. Shin berpikir untuk membawanya ke penjara iblis istana untuk diinterogasi. Namun sebelum kata-kata keluar dari mulutnya, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya terasa seperti berhenti sesaat.

Iblis perempuan itu memiliki tanda seperti lerang berwarna putih bersih berbentuk bunga lili di lehernya.

Lili putih...

IBLIS LILI PUTIH!!!

Orang-orang yang sedang mengerubungi Shin saat ini tiba-tiba saja melangkah mundur begitu mereka melihat cahaya kemerahan menyelubungi tubuh pemuda itu. Tangan Shin yang tidak sedang memegang pedang langsung menyentuh kalung yang tersembunyi di balik jubahnya. Tanpa orang-orang di sekitarnya ketahui, dari balik cadar itu wajah Shin sudah berubah menjadi mengerikan—penuh dengar amarah dan kebencian. Jika ada orang yang melihat wajah itu, mungkin mereka akan mengira Shin-lah iblisnya.

"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Shin lagi—kali ini dengan suara yang begitu dingin dan mencekam.

Si iblis gemetar bukan main. Ia tidak menjawab dan hanya meminta ampun pada Shin sambil bersujud. Shin mengulang pertanyaan yang sama, dan tetap mendapatkan balasan yang sama dari si iblis. Lalu tanpa aba-aba, Shin menusuk iblis itu dengan pedangnya secepat kilat, tanpa rasa ampun. Dan dalam sekejap mata, tubuh si iblis melebur menjadi ribuan kelopak bunga merah yang langsung tersebar di udara, lalu menodai salju putih dengan merahnya yang seperti darah.

Semua orang yang melihat pada awalnya berteriak kaget, namun setelah itu mereka berteriak memuja Sang Sorrein Ketiga—mengelu-elukan kekuatan yang baru saja ia tunjukkan. Saat itu, ada banyak sekali orang yang baru pertama kali melihat Shin melawan iblis, dan mereka akhirnya mengerti kenapa Shin memiliki julukan lain selain Sang Sorrein Ketiga.

Dewa Bunga Merah.

***

Pemuda berkulit putih sebening kristal itu melepaskan jubah festival yang ia kenakan dengan tergesa-gesa. Wajahnya yang biasanya tenang dan anggun saat ini terlihat begitu kacau. Beberapa pelayan mencoba membantunya, namun ia menolak dan terus melepaskan semua aksesoris di tubuhnya dengan kasar. Ia bahkan mengabaikan Zura yang sedari tadi menanyakan kenapa ia bersikap seperti orang kesetanan.

Setelah berganti pakaian dengan pakaian yang biasa ia kenakan—pakaian tarung sorrein-nya—pemuda itu langsung melangkah cepat meninggalkan ruangan. Langkah kakinya lebar dan cepat, lalu setelah beberapa menit melangkah, ia berhenti di depan sebuah pintu dan mengetuknya pelan.

"Ketua, Shin telah tiba untuk melapor." ucapnya.

Pintu itu terbuka dan Shin langsung dihadapkan dengan seorang laki-laki berusia awal 30-an dengan rambut coklat muda dan bola mata kehijauan. Tubuhnya tinggi tegap, membuat Shin yang sebenarnya tidak terlalu pendek terlihat cukup pendek. Laki-laki itu adalah Leon, ketua dari para sorrein, sekaligus sorrein paling kuat di Raneia yang dijuluki Sang Sorrein Pertama. Aura pemimpin dan petarung langsung terlihat menguar dari wujudnya, dan siapa pun yang melihatnya akan langsung tahu bahwa ia adalah ketua dari para pemburu iblis. Leon menatap Shin sesaat kemudian mempersilakannya untuk masuk tanpa berkata apa-apa.

"Ketua." sapa Shin sambil membungkukkan badannya pada Leon.

"Shin, duduklah, dan minumlah teh hangat yang sudah aku siapkan. Wajahmu terlalu pucat, kau butuh menenangkan dirimu sedikit." ucap Leon dengan hangat.

"Tapi, Ketua—"

"Shin." potongnya, dan Shin langsung menuruti perkataan sang ketua dengan terpaksa.

Setelah menyeruput tehnya beberapa kali, Shin akhirnya merasakan dirinya mulai tenang. Ia lalu langsung menatap Leon dengan serius, dan tanpa sadar tangannya langsung menggenggam kalung yang ia kenakan.

"Ketua, saat aku melakukan parade tadi, ada seorang iblis yang masuk ke dalam ibu kota kerajaan." ujarnya.

"Aku dengar." kata Leon sambil menyeruput tehnya. "Katanya kau mengalahkan iblis itu dengan cepat dan anggun sampai-sampai rakyat mengira kau adalah seorang dewa, bukan?"

Shin sedikit terperangah dengan respon sang ketua, dan wajahnya terlihat sedikit memerah karena malu.

"Ke-Ketua, mohon untuk tidak... menggodaku seperti itu." ucap Shin dengan susah payah.

Leon hanya tertawa renyah untuk beberapa saat sambil meminta maaf, sebelum kembali membahas topik sebelumnya. "Lalu, apa yang membuatmu membunuh iblis itu, Shin?"

"Iblis Lili Putih."

Mendengar hal itu, ekspresi wajah Leon langsung drastis. Tatapan yang tadinya teduh dan hangat itu berubah menjadi dingin—seolah-olah ditenggelamkan oleh kegelapan.

"Dia.. kembali?" gumam Leon. "Kau melihat ada lambang relang lili putih di lehernya?"

Shin mengangguk. "Saat aku berjalan menghampirinya, iblis itu berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa dan dia hanya disuruh. Saat aku bertanya siapa yang menyuruhnya, dia juga berkata bahwa dia tidak tahu. Saat aku mendekat, aku bisa melihat jelas lambang itu—masih sama seperti lima belas tahun yang lalu. Dan aku berulang kali menanyakan siapa yang menyuruhnya, tapi jawaban iblis itu masih tetap sama: dia tidak tahu."

Leon terlihat seperti berpikir keras untuk beberapa saat, lalu menyahu, "Kalau iblis itu bisa masuk ke dalam ibu kota kerajaan di saat Festival Salju di mana pelindung kota diperkuat beberapa kali lipat, artinya ada seseorang yang sangat kuat yang membocorkan lapisan pelindung itu dan membawa iblis kelas rendah itu masuk tanpa diketahui siapa pun."

"Aku yakin dia sendiri yang membawa iblis itu masuk, Ketua." ujar Shinna.

"Lapisan pelindung di sekeliling ibu kota kerajaan sudah diperkuat, dan mungkin hanya iblis sekelas Iblis Lili Putih yang bisa merusaknya. Tapi jika ada yang merusak lapisan pelindung dengan paksa, seluruh sorrein yang ada di kota ini akan langsung tahu." Leon menghentikan ucapannya untuk sesaat. "Artinya, ada seseorang di antara sorrein yang berkhianat dan membantu Iblis Lili Putih itu, atau..."

Shin langsung melanjutkan, "Atau iblis itu menyamar menjadi salah satu sorrein di kota ini."

Leon mengangguk dengan berat hati. Siapa pun tidak akan pernah mengira ada salah satu sorrein yang akan membantu iblis, atau bahkan iblis itu sendiri akan menyamar menjadi seorang sorrein. Sejarah di antara iblis dan manusia sangatlah buruk, mereka saling membenci satu sama lain hingga ke tulang. Kalau ada manusia—apalagi sorrein—yang membantu iblis, mungkin ia sudah sangat gila. Namun yang paling mengerikan adalah kenyataan bahwa iblis kelas tertinggi—Chaos—bisa masuk ke dalam ibu kota kerajaan tanpa terdeteksi dan kemungkinan masih ada di dalam kota, entah merencanakan apa.

"Siapa saja yang tahu soal ini selain kita berdua?" tanya Leon.

"Untuk saat ini, hanya aku dan Ketua yang tahu." jawab Shin.

"Kalau begitu, rahasiakan dulu hal ini dari siapa pun. Aku akan memikirkan cara untuk mendeteksi pengkhianat atau iblis itu." ujar Leon.

"Baik, Ketua."

"Kalau begitu kau boleh pergi, Shin."

Shin membungkukkan badannya pada Leon sebelum akhirnya pergi keluar dari ruangan itu. Ia melangkah, melangkah, dan terus melangkah sampai akhirnya, di sebuah lorong yang kosong, ia jatuh berlutut ke atas lantai. Tangannya yang gemetar langsung memegang dada kirinya yang terasa sakit dan panas seperti terbakar. Ia terbatuk beberapa kali, dan dari sudut matanya ada air mata yang nyaris menetes.

Ia lalu menggeram pelan, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu.. Iblis Lili Putih!!!"

———

avataravatar