7 UPIK ABU MENJADI CINDERELLA

Metha meringis, merasakan rasa sakit di keningnya. Sial, kenapa dirinya tidak tahu jika itu merupakan sebuah pintu yang terbuat dari kaca lebar.

Metha menatap ke sekelilingnya. Ternyata ada beberapa orang yang sedang menatap dirinya. Tak urung, ada salah satunya yang cekikan karena dianggap lucu. Ia tersenyum kecil guna menutupi rasa malunya.

"E-ehk," pekik Metha kala ada sebuah tangan kekar yang tiba-tiba menarik tangannya cukup kencang. Hampir saja dirinya akan terjengkang jika tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.

"Dasar kuno! Terus saja bikin malu," sentak Peter setelah membawa Metha jauh dari kerumunan tadi. Ia menghempaskan tangan Metha yang berada dalam cekalannya. Kedua matanya menyoroti kilatan merah pertanda ia marah.

Lagi-lagi Metha meringis, memegang pergelangan tangannya yang berwarna merah akibat tangan Peter yang mencekalnya cukup kuat. Huh, dasar Peter jahat.

"Ikut aku!" titah Peter yang kemudian berjalan terlebih dahulu meninggalkan Metha yang masih saja meringis.

Metha menurut, ia ikut melangkah mengekori Peter dengan langkah yang cukup lebar, takut-takut dirinya kembali ditinggalkan dan berakhir seperti tadi. Cukup, dirinya masih mempunyai urat malu untuk mengulangi kejadian yang tadi.

"Cepat, ganti pakaianmu. Aku sudah tidak tahan melihat penampilanmu yang seperti gorila," tutur Peter setelah sampai di sebuah ruangan yang cukup besar.

Metha tidak menjawab. Ia malah menatap ke sekelilingnya yang kemudian kembali mendecak kagum. Mewah! Itulah kata pertama yang Metha sampaikan untuk ruangan ini.

Banyak, macam-macam pakaian yang Metha yakini harganya fantastis. Ahk, Metha menjadi merasa minder untuk mengambil salah satu pakaian guna mengganti baju dirinya yang basah.

"Metha!" bentak Peter. Metha benar-benar menguji kesabaran dirinya. Dia malah celingukan bak orang gila yang sedang mencari makanan. Aneh, Metha merupakan wanita yang aneh.

Metha mengalihkan perhatiannya. Menatap Peter sekilas. Sungguh, bentakan Peter barusan sama sekali tidak berpengaruh bagi dirinya.

Tiba-tiba saja datang dua wanita cantik berpakaian sama yang ditemani oleh Philip.

"Nona, silahkan akan saya bantu untuk merubah penampilan Nona," ucap salah satu wanita berseragam itu. Ia merentangkan salah satu tangannya seraya membungkuk kecil, mempersilahkan Metha untuk segera berjalan ke arah yang ia tunjukan barusan.

Metha mengangguk seraya tersenyum kecil. Kemudian, ia melangkahkan kakinya seperti apa yang diperintahkan wanita berseragam tadi, yang ia sebut sebagai pelayan salon ternama ini.

"Silahkan pilih, pakaian mana yang akan Nona pakai," ujar pelayan salah satunya seraya membawa tiga buah gaun selutut dengan warna yang berbeda-beda.

Metha tampak canggung. Ia bingung harus memilih gaun yang mana. Jujur saja, ia lebih suka memakai kaos serta training dibanding gaun.

"Eum, yang itu saja," final Metha menunjuk salah satu gaun yang berwarna hitam. Coraknya juga cukup sederhana hanya ada satu buah pita yang berada di pinggang bagian belakang.

Ahk, apakah Peter gila? Dirinya hanya akan pulang ke rumah lalu tidur bukan berdandan ria lalu pergi ke pesta.

Layaknya seorang ratu, Metha dilayani dengan begitu baik, dirias dengan suka hati dan dirubah penampilannya dengan senyuman yang selalu terlukis di wajah para pelayan salon itu.

Hampir memakan waktu satu jam. Akhirnya Metha selesai. Ia menatap pantulan dirinya di cermin berkali-kali. Merasa tidak nyaman dengan gaun selutut yang ia kenakan sekarang. Apalagi dengan bagian bahunya yang sedikit terbuka. Metha sudah terbiasa memakai kaos kebesaran.

Philip dan Peter datang.

"Apakah sudah sel-"

Hampir saja Peter kehilangan napasnya. Bahkan, ucapannya barusan tersangkut di tenggorokan. Sungguh, dirinya tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat penampilan Metha sekarang.

Bagaikan upik abu yang berubah menjadi Cinderella. Malam ini, Metha benar-benar terlihat sangat cantik dengan wajah yang dipoles sedikit make-up. Ya, Peter tidak bisa berbohong. Ia akui jika Metha sangatlah menarik.

Metha menundukan kepalanya. Entah kenapa, ia menjadi merasa canggung saat ditatap intens seperti itu oleh Peter. Ia melangkah mundur dan berdiri sejajar dengan pelayan-pelayan yang telah mengubah penampilan dirinya.

"Nona, jika Nona sudah selesai. Mari, akan saya antarkan pulang. Ini sudah sangat larut malam," ujar Philip memecahkan keheningan yang terjadi di antara meraka. Termasuk membuyarkan lamunan Peter.

"Ekhm." Peter berdehem untuk menutupi rasa gugupnya. Sial, bisa-bisanya dirinya terpana dengan penampilan Metha. Ia menggelengkan kepalanya kecil, harus kembali menjadi Peter yang datar dan benci terhadap Metha.

Metha mengangguk kecil dengan ujaran Philip barusan. Dirinya juga sudah sangat ingin pulang. Takut-takut sang ibu cemas karena dirinya pulang larut malam.

Drrrtt ... drrrtt ....

Suara deringan ponsel menarik perhatian orang-orang yang berada di ruangan itu.

Metha yakin, jika itu merupakan ponsel dirinya. Ia celingukan untuk mencari keberadaan ponselnya yang entah berada di mana.

"Ini, Nona." Salah satu pelayan menghentikan Metha yang sedang celingukan. Ia menyerahkan ponsel milik Metha yang ia temui di ruang ganti.

Metha menghela napas tenang. Mengambil ponsel itu dengan segera tidak lupa mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut karena telah membantu dirinya yang kelinglungan mencari ponsel.

Ternyata, Helena yang meneleponnya.

Metha izin melangkah mundur menjauhi mereka untuk mengangkat panggilan dari sang ibu.

Ponsel Metha bukanlah ponsel mewah. Boro-boro mewah, yang layarnya bisa disentuh saja tidak. Ia hanya memakai ponsel kuno berukuran kecil, yang hanya bisa dipakai untuk bertelepon serta SMS saja. Ditambah lagj layarnya yang sudah sangat berwarna kuning.

Kendati demikian, Metha tidak pernah mengeluh dengan ponsel yang ia miliki itu. Yang terpenting dirinya dapat menghubungi ibu, itu sudah lebih dari kata cukup.

"Hallo, Ibu," panggil Metha setelah menghubungkan panggilannya.

["Kamu masih berada di mana, Nak? Kenapa belum pulang? Ibu benar-benar sangat khawatir,"] berondong Helena dengan nada yang begitu cemas. Bagaimana tidak, Metha merupakan salah satu anaknya. Dan, ia juga belum yakin jika Metha dapat menjaga dirinya di tengah malam seperti ini.

Metha terkekeh kecil. "Ibu tenang saja, aku baik-baik saja. Sekarang juga aku akan pulang. Nanti akan aku ceritakan kenapa aku bisa pulang terlambat," jelasnya. Berharap sang ibu berhenti mencemaskan dirinya.

Dapat terdengar helaan napas dari balik telepon.

["Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ayo pulang, ibu tunggu.]

"Siap, Bu," balas Metha barengan dengan tawa kecilnya. Kemudian, ia memutuskan panggilannya setelah mengucapkan kata pamit.

Metha menggenggam ponselnya. Kembali melangkah untuk menemui Peter serta Philip. Dirinya sudah tidak sabar untuk segera pulang.

"Ayo, kita pulang sekarang," ajak Metha seraya menenteng paper bag yang berisi pakaian kotor milik dirinya.

Philip yang sedang membayar semua biaya salon mengalihkan pandangannya. "Baik, Nona. Sebentar."

Sedangkan Peter melangkah mendekati Metha. Wajahnya kembali datar seperti semula.

"Mana ponselmu?" pinta Peter.

Metha mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Ada apa dengan ponselku?" tanyanya heran.

"Mana ponselmu!" Alih-alih menjawab, Peter malah tetap kukuh menginginkan ponsel Metha.

Dengan raut wajah yang kebingungan. Metha menyerahkan ponselnya. "Ini."

Peter mengambil ponsel itu dengan kasar. Yang kemudian ....

Prang!

"Peter!"

avataravatar
Next chapter