webnovel

PETER BERKHARISMA

Pupil Metha seketika melebar, jantungnya berpacu dengan cepat.

Bagaikan kilat, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melintas di hadapannya.

Namun beruntung, Metha masih berdiri di sisi jalan, ia tidak kenapa-napa dan hanya syok saja.

Entah apa yang akan terjadi jika Metha sudah berdiri di tengah jalan, mungkin sekarang ia sudah berbeda alam.

Memikirkan itu membuat Metha bergidik ngeri. Tak ingin hal itu terjadi padanya!

Metha dapat melihat mobil sedan yang tadi melintas cepat di hadapannya berhenti di depan sana.

"Kau tidak apa-apa, Nona?"

Metha tersentak kecil kala mendengar suara itu. "P-philip?" panggilnya terdengar gugup.

"Ya, Nona. Apakah kau baik-baik saja? Maaf atas keteledoran saya." Philip membungkukan badannya, benar-benar merasa bersalah.

Tidak ada bedanya dengan Metha, jantung Philip pun sama-sama berdetak cepat.

Perlahan-lahan rasa syok Metha mulai kabur. Ia tersenyum kecil. "Ahk tidak apa-apa, tidak usah merasa bersalah yang berlebihan seperti itu. Aku baik-baik saja, tidak ada yang luka."

"Benarkah itu, Nona?" tanya Philip merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Metha barusan.

Tadi, ia mengira jika korban sudah tergeletak ke atas aspal dengan darah merembes ke luar. Maka dari itu ia langsung berhenti dan berjalan ke luar dengan rasa panik yang teramat tinggi.

Metha terkekeh kecil. "Benar. Lihat saja aku masih sehat."

Philip melihat itu, ia sudah dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa Metha memang baik-baik saja. Ia menghela napas tenang. "Syukurlah," ucapnya bergumam namun samar-samar masih dapat didengar oleh Metha.

"Kalau seperti itu aku izin pergi terlebih dahulu." Metha kembali melanjutkan langkahnya namun suara Philip tiba-tiba menginterupsi dan menghentikan pergerakan kakinya.

"Nona, lebih baik ikut masuk ke dalam mobil saja, hitung-hitung sebagai menebus kesalahanku."

Meskipun Metha baik-baik saja, namun tetap rasa bersalah masih melekat di hati Philip.

Metha menggelengkan kepalanya. "Terima kasih atas tawarannya, namun aku memilih untuk berjalan kaki saja. Lagi pula jaraknya dekat kok, ada di depan sana."

"Tapi Nona ...."

"Tidak usah merasa bersalah, aku sudah memaafkanmu. Dan aku juga sangat yakin jika kau memang tak sengaja." Setelah mengatakan itu Metha langsung berlalu.

Jika Metha berlama-lama di sana mungkin Metha tidak akan tahan dengan rasa empati yang diberikan Philip untuknya.

****

"Kau lama sekali. Pergi ke mana dulu?" Peter mendengus kesal. Mengambil sepotong pizza yang baru saja Philip beli, dirinya benar-benar sudah kelaparan.

"Mohon maaf, Tuan. Tadi ada sedikit masalah di jalan," jawab Philip jujur. Ia tak ingin menyembunyikan apa pun terhadap atasannya.

"Apa?" Peter melirik Philip sekilas yang kemudian kembali berfokus pada acara makannya.

"Saya hampir menyelakai seseorang."

Peter tampak tak bergeming. Seakan info yang diberikan Philip barusan sudah merupakan sesuatu yang lumrah. Ia sama sekali tidak masalah dan ... tidak peduli!

"Siapa?" tanya Peter lebih lanjut. Bukan karena peduli, ia hanya penasaran saja.

"Nona Metha."

Uhuk uhuk!

Sontak saja Peter tersedak.

Philip tampak kalang kabut, ia langsung membuka botol minum dan memberikannya pada sang atasan.

"Pelan-pelan, Tuan!" peringat pria itu karena Peter meminumnya seperti unta yang berada di tengah-tengah gurun pasir.

Peter membersihkan mulutnya yang sedikit basah menggunakan tisu. Lalu, ia menatap Philip dengan raut wajah serius. Ia tidak ingin makan lagi, perutnya mendadak kenyang saat mendengar nama Metha!

"Coba katakan sekali lagi, siapa yang hampir kau celakai?" tanya Peter memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Nona Metha, Tuan."

"Kenapa bisa?" Peter sangat tertarik dengan pembicaraan ini, apalagi menyangkut pautkan dengan si wanita pahlawan kesiangan.

"Ini sebuah ketidaksengajaan, Tuan. Tiba-tiba saja terjadi."

Peter menyenderkan punggungnya pada badan kursi. Mengusap-usap dagunya dengan pelan seraya tersenyum menyeringai. "Sekarang dia ada di mana?"

"Mungkin, dia ada di rumahnya, Tuan," jawab Philip mencoba menebak. Ia pun tak tahu pasti jika wanita itu memang ada di rumahnya.

"Antarkan aku ke sana sekarang!" Peter bangkit dari duduknya, merapihkan kemeja yang tampak sedikit kusut akibat duduk.

Philip mengernyit. "Buat apa, Tuan?" tanyanya heran.

Pasalnya Peter tidak pernah seperti ini sebelumnya. Boro-boro menghampiri wanita, membicarakan wanita saja biasanya Peter langsung mengamuk.

Peter mendesis. "Tidak usah banyak tanya, kau cukup patuh saja apa yang atasanmu perintahkan."

Akibat tak ingin mendapatkan amukan Philip langsung menganggukan kepalanya. "Baik, Tuan." Ia langsung ngacir menuju mobil berada.

Selama perjalanan Peter tidak henti-hentinya untuk tersenyum. Bukan senyuman manis seperti orang yang tengah dimabuk asmara, melainkan senyuman miring.

Entah apa yang lelaki itu pikirkan dan entah apa yang lelaki itu rencanakan. Hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.

Peter keluar dari mobil yang sebelumnya telah dibukakan oleh Philip.

Kini, sikapnya begitu terlihat kharisma apalagi ditambah dengan kacamata hitam yang bertengger manis di hidung mancungnya. Tak apa, ingin menebar pesona saja.

Tetapi jikalau ada wanita yang menggoda dirinya, pasti akan langsung ia tendang. Seperti awal, dirinya tidak menyukai wanita! Kecuali satu orang.

Sebelum berjalan masuk ke pekarangan rumah Metha, Peter melipatkan kemeja bagian tangannya terlebih dahulu sampai siku, membenarkan arloji, sabuk, kerah, sepatu bahkan rambut yang sudah rapi pun ia bereskan kembali.

Melihat tingkah sangat atasan yang tampak berbeda pesat, dalam diam Philip mengulum bibirnya menahan senyuman yang ingin ia lebarkan. Namun ia harus tetap profesional!

"Ekhm." Dan sekarang Peter membenarkan pita suaranya. Takut-takut nanti terdengar serak yang pastinya akan menjatuhkan nilai kharisma dirinya. Ia tidak mau itu terjadi, memalukan saja.

"Ikut aku!" Nada suara Peter mendadak tegas. Ia melangkah masuk ke dalam.

Siapa pun yang melihat pria itu dapat dipastikan mereka akan langsung terjatuh pingsan.

"Bel rumahnya di mana?" tanya Peter heran. Ia celingukan, namun bel rumah sama sekali tak terlihat.

Philip menepuk keningnya. Tidak habis pikir dengan tuannya itu. "Mohon maaf, Tuan. Rumah nona Metha tidak memiliki bel."

Peter seketika tertohok. "Jangan becanda. Kalau tidak memiliki bel rumah bagaimana si pahlawan kesiangan itu tahu bahwa ada tamu di luar," tuturnya mendelik sinis. Ia kembali celingukan tanpa melepaskan kacamatanya.

Philip menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata sekuno-kunonya dirinya, lebih kuno lagi Peter, perihal seperti ini saja dia tidak tahu.

"Tuan, caranya sangat mudah. Tuan tinggal ketuk pintu saja," tutur Philip memberikan solusi.

Peter menyatukan kedua alisnya. Tak ayal, ia langsung mengetuk pintu.

Brak!

Brak!

Brak!

"Tuan tuan tuan!"

Philip tersentak panik. "Tuan hentikan!"

"Kenapa?" tanya Peter mendengus kesal.

"Tuan kita mau bertamu bukan mau nagih hutang."

"Lalu?" Peter memiringkan alisnya. Pikirnya ia sama sekali tidak melakukan kesalahan.

"Yang tuan lakukan barusan itu namanya menggebrak pintu bukan mengetuk pintu!" Ingin rasanya Philip menjewer Peter dan membawa pergi dari sini, dirinya sudah kepalang malu oleh tingkah kuno Peter.

"Ok, baiklah." Tangan Peter kembali terangkat.

Hendak akan mengetuk namun pintu itu terlebih dahulu terbuka dari dalam.

"Siapa ya?"

Deg!

Next chapter