webnovel

{Prolog}

"Nocturne Chopin" op 9 no 2 melantun indah di aula Yusa. Jemari lentik yang menjadi maestro dari melodi itu lincah menari di atas tuts hitam-putih pada grand piano. Semua orang yang menonton konser itu menikmati setiap nada yang keluar dari permainan anak muda berusia 17 tahun. Jill Rose, pianis wanita terdingin di Esmeralda, berhasil mengambil seluruh perhatian para penghuni aula itu dengan ciri khasnya. Bermain piano dengan aura dingin.

Salah satu penonton menyayangkan permainan Jill yang memiliki aura dingin. Meski lagu yang dimainkannya adalah melodi bahagia, tapi aura dari lagu yang dirasakan mereka dingin dan menyayat. Karena itulah Jill dijuluki Pianis Terdingin di Esmeralda. Jill sendiri tak paham dengan kelebihan–atau mungkin kekurangan–yang dia miliki.

Jari Jill sampai pada not terakhir lagu "Nocturne". Matanya memejam anggun dan mulutnya menghela napas lega. Wajah-wajah takjub yang sejak tadi diam kini menyuarakan kekaguman mereka dengan tepuk tangan yang gemuruh. Jill menunduk hormat sebagai formalitas penutupan tanpa merusak kerapian gaun violetnya. Dengan begitu, konser tunggal Jill telah usai. Begitu gadis berkukit putih itu tiba di balik layar, seorang panitia langsung menyodorkan sebotol air mineral.

"Kerja bagus Jill. Seperti biasa," ucap panitia yang akrab dipanggil Kak Nia itu. Jill mengucapkan Terima kasih.

Seraya meneguk airnya, pandangan Jill menerawang jauh. Sekali lagi, Jill menghela napasnya untuk membuang penat. 'Dan seperti biasanya aura dingin itu keluar. Mau sampai kapan?' gelisah Jill dalam hati.

mendadak saja suara anggun yang familier di telinga Jill menginterupsi pikirannya. Jadwal Jill hari ini longgar, begitulah inti perkataannya. Maka, Lilian, pemilik suara itu yang juga mamanya Jill pun mengajak putri semata-wayangnya pergi ke mall. Menghempas semua penat yang telah Jill pikul seharian.

Tanpa Lilian sadari, Jill dapat mendengar komentar yang–cenderung berbisik–terlontar dari mulut penonton saat tampil tadi. Syukurlah, karena kekuatan setara dewi yang dimilikinya, Jill kuasa menstabilkan permainannya di saat indera pendengarannya kacau karena menangkap suara lain selain permainan pianonya.

Begitu tiba di mall, spot pertama yang mereka kunjungi adalah Zona Bermain, lalu tempat perbelanjaan, dan berakhir di sebuah restoran. Ajaibnya, setiap kali ibu dan anak itu menjelajah mall–atau tempat umum manapun–tidak ada seorang pun yang menegur mereka. Segala kesenangan itu itu mengalir begitu saja. Mereka menjelma menjadi ibu dan anak biasa, tanpa gelar, tanpa deretan penghargaan yang telah mereka raih. Padahal, nama mereka sudah melambung tinggi ke mana-mana.

hal itu disebabkan bukan karena mereka memiliki bodyguard atau penyamaran. Di Esmeralda, semua penghibur diberi kebebasan saat bepergian. Kota Esmeralda memiliki hukum khusus untuk para seniman. Contohnya, "Siapapun yang mengusik ketenangan Seniman, akan dikenakan sanksi sebesar tujuh ribu Yon". Sebab itulah banyak yang ingin menjadi seniman di Esmeralda karena selain mendapatkan "perlindungan", mereka juga berhak untuk menerima uang denda itu sepenuhnya.

"Jill, lulus SMA nanti, kamu mau lanjut sekolah tinggi atau mau berkarir?" tanya Lilian sambil membuka bungkus burger yang di pesannya tadi.

"Ada syarat yang harus Jill penuhi?" Jill balik bertanya. Pandangannya terfokus pada daging panggang pesanannya yang tengah ia potong-potong. Bukan tanpa alasan Jill melontarkan pertanyaan itu. Jill sangat mengenal mamanya. Semua keputusan yang Jill ambil harus berlandaskan musik.

Sempat Jill mengeluh tentang syarat Lilian, dan keluhan itu berujung pada perdebatan dan hilangnya komunikasi di antara mereka selama beberapa hari. Ada hal hanya keluhan, Jill saja heran. Untuk menghindari insiden yang sama, Jill harus bicara dengan lembut, perlahan, dan halus seperti sekarang ini.

"Kalau kamu mau lanjut sekolah, kamu harus ambil jurusan komposer musik."

Benar bukan? Jill merasa ucapan itu terlalu mengekangnya, karena terdapat kata "harus" yang ditekan Lilian dalam-dalam.

Jilla menghentikan aktivitas mengunyah nya. Satu masalah membelit di otaknya. Jill sangat mengagumi dunia sastra dan sangat ingin menjadi sarjana sastra. Ambisinya untuk keluar dari zona nyaman cukup besar. Sayangnya, ada satu dinding pembatas yang harus diterabas. Sesuai dengan apa yang Lilian katakan: Jill harus memilih jurusan komposer–itulah dindingnya.

"Jill mau sastra. Kalau S-1 sastra, lalu S-2nya komposer, boleh nggak, Ma?" tanya Jill hati-hati. Ini bahasan rawan antara ibu dan anak di keluarganya.

Cukup lama Lilian meninbang permintaan Jill. Satu gigitan, kunyahan, sekali telan, dan jeda yang cukup lama setelahnya–selama itu Lilian memikirkannya. Sialnya, Jill justru menjadi gugup karena jeda yang diambil mamanya itu mengambil alih suasana meja mereka menjadi hening.

Jantung Jill terasa hampir copot kaala seulas senyum terlukis di bibir tipis milik Lilian. Tak lama setelahnya, kepala Lilian mengangguk-angguk, menyetujui permintaan Jill. Perasaan tegang yang sempat menyesakkan dada Jill seketika hilang begitu saja, meninggalkan kelegaan yang lengkap dengan senyuman yang manis.

Next chapter