1 Bab Satu

"Halo? Seonbae? Ah, ini aku Na Yeon. Aku sedang dalam perjalanan menuju sekolah, ah bukan, aku sedang mengejar bus menuju sekolah, jadi sepertinya aku akan sedikit terlambat sampai sana. Bisakah kau menggantikanku beberapa saat hanya sampai aku sampai?"

Song Na Yeon menjepit ponselnya di antara telinga dan pundaknya lalu menaiki bus yang akhirnya berhenti setelah pengejaran selama hampir lima menit. Sambil mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya, Na Yeon berkata, "Dengan cara apapun... kau kan sudah sering menggantikanku... baiklah, lain kali aku akan datang tepat waktu... hehe, kau yang terbaik... sampai jumpa."

Na Yeon memasukkan ponselnya ke dalam tas tangannya lalu melihat ke sekelilingnya. Ah, lagi-lagi tidak ada tempat duduk. Ia menghela napas lalu dengan enggan berpegangan pada tiang penyangga yang ada di dekatnya.

Akhir-akhir ini, entah mengapa seluruh kendaraan umum yang dinaikinya tidak pernah mengijinkannya untuk duduk. Seperti minggu lalu contohnya.

Saat dalam perjalanan menuju ke tempat kerjanya, Na Yeon menaiki bus yang sama seperti yang ia naiki sekarang dan berakhir memberikan tempat duduk yang ia duduki untuk seorang ibu-ibu hamil. Lalu tiga hari setelahnya saat kembali dari Hongdae, Na Yeon harus berdiri dalam perjalanan pulang menggunakan kereta hanya karena ada seorang pria mabuk di ujung koridor kereta yang terlihat menyeramkan. Dua hari setelah itu, Na Yeon memutuskan untuk menggunakan taksi untuk pergi kemana pun dan hasilnya, ia tetap menggunakan kereta karena tidak ada satu taksi pun yang berhenti saat ia melambai-lambaikan tangan.

Entah apa yang sedang dilewatinya akhir-akhir ini, tapi kelelahannya menggunakan kendaraan umum membuatnya ingin berhenti dari pekerjaannya saat ini.

Ia bekerja sebagai guru bahasa Mandarin di Institut Bahasa International di Jongnogu dan jam kerjanya sering sekali berubah-ubah karena keluar masuknya murid privat yang menjadi muridnya. Selain itu, jarak dari rumahnya menuju Jongno memakan waktu dua puluh menit menggunakan bus. Itu pun jika tidak macet. Kalau terjadi kemacetan dalam perjalanan, bisa-bisa memakan waktu tiga puluh menit untuk sampai di sekolah.

Belum lagi kalau ia mendapatkan murid yang tidak bisa diajak kerja sama. Orang tua murid akan menyalahkan guru wali yang mengajar jika anak mereka tidak mengalami perkembangan. Padahal tanpa mereka tahu, anak mereka sendirilah yang terus membuat onar.

Seminggu terakhir ini, Na Yeon mendapatkan tugas untuk mengajar kelas regular dan privat. Dan itu membuatnya harus pergi ke sekolah setiap hari dan di jam yang berbeda-beda. Hari ini ia mendapatkan jadwal mengajar di siang hari tapi besok, ia harus berada di sekolah dari pagi karena guru rekannya di departemen Bahasa Mandarin yang mengajar di kelas reguler besok, dikabarkan sedang dirawat di rumah sakit dan Na Yeonlah yang ditunjuk untuk menggantikannya.

Ia sudah mulai lelah dengan pekerjaannya dan ia sedang berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Sayangnya, ia bahkan tidak tahu kemana ia harus bekerja kalau ia berhenti dari pekerjaannya saat ini.

***

"Penjualan albummu mencapai angka tertinggi tahun ini, Ji Hwan. Wah...," Produser Kim Eun Ji menepuk tangannya saat melihat presentasi laporan bulanan yang ditunjukkan oleh asistennya. Gambar tabel pada layar proyektor di depan meja rapat itu menunjukkan kalau album Joo Ji Hwan terjual lebih dari satu juta keping dan mencetak rekor baru dalam tahun ini.

Joo Ji Hwan tersenyum. "Terima kasih, Produser Kim."

"Kau bahkan berhasil menjual albummu di Jepang dan Taiwan."

Ji Hwan menengadah ke arah layar proyektor yang berada tidak jauh di sampingnya. Ia menyipitkan kedua matanya lalu mengalihkan pandangannya pada majalah musik yang ada di hadapannya. Ia tidak terlalu tertarik dengan tabel presentasi itu. Ia sudah mencoba mencari tahu apa itu keuntungan penjualan, royalti dan kekurangan pendapatan namun semakin ia berusaha untuk mengerti, semakin ia sadar kalau tidak ada yang lebih dimengertinya selain menyanyi.

Produser Kim mematikan mesin proyektor dan menyalakan lampu ruangan rapat. Ia kembali duduk di hadapan Ji Hwan lalu berkata, "Apa kau tidak berpikir untuk mengadakan tur? Tur Asia, mungkin?"

"Sepertinya belum memungkinkan untuk mengadakan tur Asia. Karena kita belum bisa menjangkau Asia Tenggara dan sekitarnya. Jika ingin mengadakan tur Asia, kita juga harus bisa menjual album Ji Hwan Hyong di seluruh Asia. Bukankah begitu?"

Samuel Han menopang dagu ke arah Ji Hwan yang duduk di sampingnya.

Ji Hwan menengadah ke arah Samuel dan mengangguk sambil tersenyum. "Hmm, ya."

"Benar juga. Kalau begitu, bagaimana kalau kita menjangkau lebih banyak penggemar di Jepang dan Taiwan terlebih dulu. Kalau penggemar di sana sudah sebanyak di sini, bukankah penggemar di Asia Tenggara akan bermunculan dengan sendirinya?" Produser Kim membuka kacamata bacanya dan melipatnya.

Samuel berdeham. "Dari presentasi yang ditunjukkan tadi, sepertinya penggemar Hyong di Taiwan jauh lebih banyak daripada Jepang. Bagaimana kalau memulainya dari Taiwan terlebih dahulu?"

"Bagus, aku setuju saja. Bagaimana menurutmu?"

Ji Hwan sedang membolik-balik halaman majalah saat ia sadar kalau kedua pasang mata orang yang berada di ruangan rapat saat ini sedang menanti reaksinya. Ia menengadah dan tersenyum. "Aku setuju."

Produser Kim melempar tatapan kesal pada Samuel.

Samuel Han tertawa renyah dan mencoba mencairkan suasana. "Aha... kalau begitu... bagaimana kalau kita mulai dengan membuat album baru?"

Tidak ada reaksi dari Produser Kim yang mulai melipat kedua tangannya dan Ji Hwan yang kembali membaca majalah. Karena itu, Samuel kembali menambahkan, "Album dengan bahasa Mandarin. Kita belum pernah mencobanya bukan?"

Kali ini sepertinya usul Samuel membuahkan hasil. Ji Hwan tiba-tiba menengadahkan pandangannya dan Produser Kim pun menegakkan posisi duduknya.

***

"Sekian untuk hari ini. Sampai jumpa minggu depan."

Na Yeon menutup buku panduan mengajarnya lalu membungkukkan badannya ke arah murid-murid yang duduk menghadapnya. Murid-muridnya memberi salam dalam bahasa Mandarin lalu beberapa dari mereka membereskan barang-barang mereka dan berjalan keluar dari ruang kelas.

Hari ini murid-murid yang diajarnya sama sekali tidak membuat keributan. Mungkin karena murid-murid yang diajarnya kali ini bukanlah murid didiknya yang ia bimbing dari awal jadi, tidak ada yang berani macam-macam. Kalau saja hari ini ia mengajar anak-anak SMA mengesalkan yang sudah menjadi muridnya sejak tingkat satu, selain masalah transportasi, mereka pasti akan menjadi salah satu alasan ia mendapatkan hari buruk hari ini.

"Song Na Yeon!"

Sebuah suara yang berat muncul di ambang pintu dan membuat Na Yeon memalingkan pandangannya. Begitu melihat wajah pemilik suara tersebut, Na Yeon menarik sudut-sudut bibirnya membentuk seulas senyum menyeringai. Ia mengangkat sebelah tangannya, "Hyeon Woo Seonbae. Halo!"

"Jangan halo-kan aku kalau besok kau terlambat lagi! Kau tahu tidak sih bagaimana rasanya jadi guru pengganti di kelasmu itu? Seperti orang dungu. Masa tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku dengan Bahasa Korea?"

Na Yeon terkekeh saat Hyeon Woo berjalan menghampirinya sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya. "Maaf, Seonbae. Kelas Guru Park yang tadi itu sudah dalam tahap Intermediate. Jadi mereka tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Korea atau Inggris selama kelas dimulai."

"Kalau begitu jangan suruh aku menggantikanmu lagi. Kau ini... lagipula otakmu di mana, Na Yeon? Masa kau menyuruh guru bahasa Jepang menggantikan guru bahasa Mandarin? Jelas saja aku merasa dungu."

"Baiklah, baiklah. Lain kali aku tidak akan memintamu menggantikanku lagi. Ini terakhir kalinya. Oke?"

Na Yeon mengangkat kedua ibu jarinya sambil memamerkan gigi-giginya.

Hyeon Woo mendecakkan lidah lalu menggoyang-goyangkan jari telunjuknya yang masih teracung. "Traktir aku makan kalau kau mau dimaafkan," ujar Hyeon Woo sambil berjalan membelakangi Na Yeon.

Na Yeon terkekeh lalu berjalan menyusul Hyeon Woo sambil memeluk buku-buku panduannya. "Samgyeopssal!"

***

"Jadi kau berencana untuk pergi ke Tokyo untuk melanjutkan studimu? Apa gelar sarjanamu tidak cukup?" Na Yeon meniup sup ayam di hadapannya lalu memasukkan sesendok penuh sup dan nasi tersebut ke dalam mulutnya.

Setelah berdebat mengenai kedai makanan paling enak dan murah di sekitar Jongno selama hampir satu jam, Hyeon Woo akhirnya memilih kedai nasi sup langganannya yang terletak di gang kecil di sebelah gedung tempat mereka bekerja. Awalnya Na Yeon ingin mentraktir seniornya itu untuk makan Samgyeopssal, namun Hyeon Woo merubah haluan menuju kedai nasi sup saat ingat kalau Na Yeon tidak akan mau ikut makan.

Dengan mulut penuh nasi, Hyeon Woo membalas, "Aku ingin memperdalam sastra dan budaya Jepang. Suatu saat aku akan menikah dengan orang Jepang jadi, aku harus benar-benar mengerti seluk beluk negara itu."

"Cih, kau bahkan belum punya pacar."

"Kau kan sudah menolakku, bagaimana aku bisa punya pacar?"

Na Yeon menuang air putih ke dalam gelas kacanya lalu meminumnya dalam satu kali tenggakan. Membicarakan hal ini pasti akan berujung pada kecanggungan. Lebih baik mengalihkannya sebelum rasa sup ayam yang disantapnya berubah hambar.

"Ngomong-ngomong...," Na Yeon memasukkan selada ke dalam mulutnya lalu melanjutkan, "...apa kau punya lowongan pekerjaan yang cocok untukku saat ini?"

Hyeon Woo berhenti mengunyah. Kedua alisnya berkerut, bingung. "Lowongan pekerjaan?"

"Hmm."

"Hei, jangan dimasukkan ke hati. Masa karena perkataanku tadi siang kau langsung ingin berhenti bekerja?"

Na Yeon menggoyang-goyangkan tangannya sambil tertawa. "Bukan, bukan karena kau, Seonbae. Bukan karena aku merepotkanmu. Aku merasa baik-baik saja kalau pun aku harus merepotkanmu setiap hari. Masalahnya adalah...," Na Yeon menopang dagu di atas meja, "...aku lelah. Sepertinya aku membutuhkan pekerjaan yang lebih bebas. Maksudku pekerjaan lepas. Pekerjaan yang bisa disesuaikan dengan waktuku. Dengan kemampuan dan pendidikan terakhirku, aku bisa jadi penerjemah atau editor atau semacamnya. Bagaimana menurutmu?"

Hyeon Woo meletakkan alat makannya di samping piring. Ia mengusap mulutnya dengan selembar tisu lalu menatap Na Yeon. Kali ini tatapannya terlihat tegas. "Kau ingin mencari uang atau kesibukan? Kalau kau ingin mencari uang, kusarankan kau bertahan saja. Karena jika kau berhenti, kau akan sulit menemukan pekerjaan dengan gaji sebesar yang kau terima sekarang. Tapi, kalau kau ingin mencari kesibukan, yah... pekerjaan apapun cocok-cocok saja menurutku."

Jawaban Hyeon Woo bukan jawaban yang ingin didengar Na Yeon saat ini. Yah, walaupun itu jawaban yang bijaksana tapi, entah mengapa ia ingin mendengar sebuah jawaban seperti 'itu ide yang bagus!' atau 'ya, aku juga setuju denganmu,' atau semacamnya. Sebuah jawaban yang memihaknya.

Na Yeon menghela napas lalu mengisi kembali gelas kosongnya dengan air. "Sepertinya masih akan kupikirkan lagi."

Dan sepertinya masih ada orang yang harus ditanyai pertanyaan yang sama sebelum Na Yeon memutuskan untuk benar-benar berhenti dari pekerjaannya saat ini. Ya, masih ada satu orang lagi yang harus ia tanyai pertanyaan yang sama.

***

"Apa? Kau yakin?"

Cheon Soo Min meletakkan setrika baju di samping papan setrika lalu berjalan menghampiri sahabatnya yang sedang duduk di balik meja penerima tamu. Ia duduk di samping Na Yeon lalu mengulang pertanyaannya. "Kau yakin? Apa kau sudah memikirkannya matang-matang?"

Bahkan sahabatnya sendiri tidak mengatakan kalimat yang ingin didengarnya saat ini. Ah, sepertinya ia memang benar-benar tidak diperbolehkan untuk berhenti. Dan sepertinya memang sedikit egois jika ia berhenti bekerja hanya karena masalah pribadi semata.

"Aku juga masih memikirkannya." Na Yeon mengibaskan tangannya pada Soo Min sambil membuat tawa palsu. "Untuk itulah aku bertanya padamu."

Soo Min menghembuskan napas lega. "Oh, astaga. Kupikir keputusanmu sudah bulat. Menurutku, kau harus bijak. Begini...," Soo Min merekatkan kedua telapak tangannya, "...kau punya dua orang adik yang sedang bersekolah dan seorang ibu yang tidak bisa bekerja di luar karena sakit. Seluruh keluargamu saat ini hanya bergantung kepadamu dan pemasukan satu-satunya hanya datang dari pekerjaanmu saja. Kalau kau memutuskan untuk berhenti saat ini, apa kau bisa bayangkan apa yang terjadi dengan kedua adik dan ibumu?"

Na Yeon mengangguk perlahan. Kedua matanya terpaku pada pintu kaca toko binatu Soo Min yang transparan seraya isi pikirannya membayangkan apa yang baru saja dikatakan oleh Soo Min.

Melihat sahabatnya itu terdiam, Soo Min kembali menyuarakan isi pikirannya. "Jika kau berhenti dan tidak memiliki pemasukan lain di luar bekerja sambilan di sini, jika dihitung-hitung...," Soo Min menggerak-gerakkan jari-jarinya lalu tersontak kaget dengan isi pikirannya sendiri, "...kedua adikmu hanya akan bertahan sekolah kira-kira tiga bulan. Itu pun di luar dari pengeluaran bulanan seperti biaya listrik, air dan sewa rumah."

Kali ini kalimat yang dilontarkan Soo Min baru dapat dicerna dengan baik oleh otak Na Yeon. Perkataan Soo Min lebih terdengar masuk akal ketimbang bijaksana.

Benar juga. Saat ini tulang punggung keluarganya hanya dia seorang. Ibunya tidak bisa bekerja sama sekali karena tubuhnya yang lemah. Apalagi kedua adiknya, untuk uang jajan saja mereka bisa meminta sampai dua kali dalam sehari. Kalau ia benar-benar berhenti dari pekerjaannya saat ini, apakah itu tidak terlalu egois?

Na Yeon menghela napas. Ia baru saja ingin mengatakan sesuatu namun Soo Min sudah terlebih dulu membuka mulutnya, "Kalau kau ingin berhenti dari pekerjaanmu sekarang, setidaknya kau sudah harus mempunyai pekerjaan pengganti dengan gaji yang sama dengan yang kau miliki saat ini."

Lagi-lagi perkataan Soo Min membuat Na Yeon berpikir.

Pekerjaan pengganti? Mengapa ia tidak terpikirkan sejak awal? Kalau begitu, ia harus mencari pekerjaan baru dari sekarang kalau ia memang ingin berhenti.

Soo Min mendesah kesal melihat Na Yeon tertegun. "Kau ini sejak dulu selalu begitu. Untuk memutuskan hal sepenting ini saja kau tidak berpikir dulu. Dasar...," gerutu Soo Min sambil berjalan kembali ke tempat penyeterikaan baju.

***

Joo Ji Hwan duduk di kursi sofanya, menikmati alunan musik klasik dengan secangkir cokelat panas di tangannya. Hari ini cuaca di luar sedikit lebih dingin dari hari-hari biasanya. Untungnya ia tidak dijadwalkan untuk menghadiri acara apapun hari ini jadi, ia tidak perlu berurusan dengan hawa mematikan dan mantel-mantel tebal. Ji Hwan menyukai hari libur sama seperti ia menyukai kehangatan.

Ia sedang menyeruput cokelat panasnya saat tiba-tiba terdengar suara pintu depan rumahnya terbuka.

Itu pasti Samuel. Tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam rumahnya tanpa mengetuk seperti sepupunya yang satu itu. Ia lebih suka begitu. Ia bukan tipe orang yang senang membukakan pintu untuk tamu sambil tersenyum hangat seperti orang lain pada umumnya. Apalagi di hari libur. Ia tidak ingin mengangkat tubuhnya dari tempatnya berada. Untuk alasan apapun.

Samuel Han mengangkat sebelah tangannya ke arah Ji Hwan sementara tangan yang lain mengangkat kantong plastik putih yang besar. "Hai, Hyong."

"Hai."

"Aku membelikanmu spageti, macaroni dan roti-rotian. Kali ini kau tidak bisa membiarkannya membusuk di kulkasmu. Ini makanan yang sering kau makan di London, jadi kau pasti akan menyentuhnya." Samuel berseru dari dapur yang terletak di samping ruang duduk.

"Terima kasih." Ji Hwan membalas dengan suara yang tidak terlalu kencang namun cukup terdengar oleh Samuel yang sedang menaruh bahan-bahan makanan ke dalam lemari es.

Ji Hwan menyapu isi rumahnya dengan kedua matanya. Ia mendesah.

Setiap kali melihat isi rumahnya seperti ini, Ji Hwan selalu merasa bersalah. Rumahnya terlalu besar untuk ditinggali sendiri. Ruang tamunya yang bernuansa Barat terasa asing dan sepi. Dapurnya yang dihiasi dengan bar untuk minum terasa kosong; tidak ada satu orang pun yang menduduki bangku-bangku tinggi yang mengelilingi meja panjang itu kecuali dirinya atau Samuel. Dua kamar tidur yang terletak berseberangan dengan ruang dapur pun tidak pernah tersentuh. Bahkan air kolam renang yang terletak di taman belakang rumahnya juga tidak pernah menari-nari indah.

Awalnya Ji Hwan mempunyai alasan yang kuat mengapa ia membangun rumahnya sebesar ini. Tapi sekarang ia mulai sadar. Ia salah.

"Hyong, aku sudah melihat jadwal-jadwalmu untuk tahun depan." Samuel Han menghempaskan dirinya pada sofa panjang yang terletak di samping tempat duduk Ji Hwan. Ia mengeluarkan telepon genggam berlayar lebar miliknya dari saku celana lalu menggeser-geser layarnya dengan ibu jari. Setelah beberapa detik terdiam memandangi layar ponselnya, Samuel kembali melanjutkan, "Aku dan Produser Kim sudah sepakat untuk membuat peluncuran perdana album Mandarinmu di tanggal 1 bulan April tahun depan. Karena pada bulan Juni sampai akhir tahun depan kau harus mulai mengadakan tur Korea jadi, jadwalmu hanya kosong sampai bulan Juni tahun depan. Selain itu, banyak juga Sutradara dari stasiun TV yang memintamu untuk membuat soundtrack untuk drama mereka jadi kuputuskan untuk menjadwalkan peluncuran albummu pada bulan April. Bagaimana?"

Ji Hwan memiringkan kepalanya, memandangi lukisan abstrak yang tergantung di tembok di seberangnya. "Aku tidak masalah. Tapi aku butuh penerjemah."

"Penerjemah?"

"Aku tidak bisa bahasa Mandarin. Aku hanya bisa menyanyi."

Samuel menepuk dahinya. "Ah, iya! Bagaimana aku bisa melupakan itu. Tenang, Hyong, serahkan padaku. Aku akan menyelesaikan masalah itu secepat yang kau inginkan."

"Minggu depan."

Samuel mengerutkan kedua alisnya pada Ji Hwan yang tidak melepaskan tatapannya dari lukisan di hadapannya. "Maksudmu, kau ingin penerjemahnya datang minggu depan?"

Lukisan abstrak di hadapannya lama kelamaan berubah menjadi sebuah pemandangan yang tidak enak dilihat. Sepertinya isi kepalanya sebentar lagi akan berputar. Setelah memastikan kalau lukisan yang tergantung di atas televisi itu benar-benar tidak berubah bentuk, Ji Hwan memalingkan pandangannya pada Samuel. Ia menghela napas sejenak, "Aku hanya mempunyai waktu kurang lebih delapan bulan saja untuk membuat satu album jadi aku harus mulai bekerja secepat mungkin."

"Ah... aku mengerti. Baiklah. Aku akan mulai memasang iklan besok. Apa ada lagi yang kau butuhkan?"

"Kopi."

Samuel Han mendesah lalu bangkit dari sofa dengan enggan. "Hyong, kau benar-benar membutuhkan wanita."

avataravatar
Next chapter