14 Rencana Ke Edensor

Pria berwajah tampan itu kembali, masih dengan wajah meringis. 

"Kenapa cepat sekali, om? tanyanya polos. 

"Astaga! Adam kenapa kalian tidak bilang toilet tamu sedang  diperbaiki!" Ia memegangi perutnya. 

"Yah, om ga tanya,"  jawabnya acuh.

"Om pinjam toiletmu yah, please!" pintanya memohon, "Om sudah diujung ini!" rengeknya.

"Baiklah, tapi ada syaratnya!" 

"Astaga! Mau buang air saja banyak syarat,  katakan! Aduh sudah tak kuat!"

 

"Aku mau Gundam keluaran terbaru!" jawabnya dengan bersidakep. 

"Tidak! Itu pasti mahal!" tolaknya. 

"Ya sudah! Kalau tidak mau aku tidak memaksa! Asal om tahu, kamarku dan kak Martin  sudah  ku kunci!" jelasnya dengan mengacungkan kedua kunci kamar di tangannya.

Daniel tidak memiliki pilihan lain, ia dengan terpaksa menyetujui syarat licik dari anak kecil kesayangannya ini. 

"Baiklah! Bawa sini!" Daniel merampas kunci kamar ditangannya ia sudah bisa menebak mana kunci kamar Adam jelas dari gantungan kunci yang ada robotnya menggantung.

Preett….

"Ups maaf kelepasan! Itu bonus buat kamu Dam!" ucapnya dengan berlari menaiki tangga dengan terkekeh.

"Dasar! Paman kurang akhlak! Mana bau lagi."  Anak kecil putra mahkota itu terus menggerutu menggelengkan kepalanya. 

Semua yang berada di ruang tamu terkekeh, melihat kedua orang yang tengah bernegosiasi yang diakhiri dengan kentut.

****

"Tidurlah, Nak!" titah sang Mamy pada Adam, "Kau juga Martien! Besok kau melakukan perjalanan jauh!" titahnya. 

"Kakak bolehkah malam ini Adam tidur di kamarmu? Pasti nanti kita akan sulit bertemu, mengingat akan ada kesibukan yang akan dijalani olehku! Kau tahu bukan? Aku akan bersekolah di umum itu tandanya akan banyak teman yang menyayangiku!" Adam berceloteh tak henti, baru kali ini dia akan merasakan kehidupan luar.

Martien hanya mengangguk pelan, Ayo! ajaknya. Mereka menuju kamarnya menaiki anak tangga dan bertemu pamanya, tidak lupa adam mengingatkan pria di hadapannya  untuk menepati janjinya. Sang paman hanya tersenyum masam.

Sebelum menemui keluarga yang tengah menunggunya, pria bertubuh tinggi itu menghubungi seseorang, ia meminta agar orang tersebut membelikan Gundam keluaran terbaru. Ia tersenyum, baginya akan melakukan apapun demi kesembuhan anak sahabatnya itu yang sudah ia anggap seperti anaknya, dia juga akan melakukan apapun demi melihatnya tersenyum.

Tanpa diketahui, siapapun dia terus mencari donor hati untuk Adam. Namun, sampai detik ini dia belum menemukan yang cocok untuknya.

"Aku sudah menemukan tempat yang cocok! Aku berpikir keras tadi di toilet!" Ia datang dengan ucapannya semua telonjak kaget karena terdengar suara. Karena kesal sang kakek melempar apel di tangannya dengan sigap Daniel menangkapnya dan segera menggigitnya.

"Enak! Terimakasih!" ucapnya 

sembari mengunyah apel yang telah masuk ke mulutnya ia mendaratkan tubuhnya di sofa. Semua yang berada di sana hanya memutar bola mantany jengah.

"Jadi gini, aku harus menemukan tempat yang udaranya masih alami dan sejuk!" jelasnya, "Bukan cuma itu, aku juga harus memastikan Adam jauh dari dunia bisnismu, kau tahu bukan? Aku tidak suka berkelahi!" jelasnya. 

"Di toilet aku berpikir keras, dan aku teringat satu tempat!" Jelasnya. 

"Aku ragu dengan pemikiran yang berasal  dari tempat jorok!" Aldrict menampik ucapan sahabatnya. 

"Dasar bodoh! Kau tidak tahu? Disanalah tempatnya para penulis mendapatkan ide tulisan yang brilian!" godanya dengan terkekeh. 

"Akan ku katakan pada publik, kau mencemarkan nama para penulis!" timpal Aldrict. 

"Jangan, aku hanya bercanda! Bisa di demo, tapi itu memang kenyataan!" Lagi- lagi Daniel berucap dengan memainkan janggut tipisnya yang tumbuh samar di dagunya. 

"Katakan, dimana tempatnya!" Marisa sudah tidak sabar. 

"Edensor District," ucapnya. 

Seketika semua mata saling bertatapan, mereka menggelengkan kepalanya bersamaan. 

"Tidak! Kami tidak setuju!" Mereka berbicara kompak, sedang Daniel hanya terkekeh. 

"Kalian seperti paduan suara saja!" godanya. 

"Kami sedang serius! Jangan bercanda!" sentak orangtua angkatnya. 

"Aku tidak bercanda! Aku serius!" Kali ini mereka melihat bahwa pria di hadapannya sedang tidak bercanda. 

"Itu bukan lingkungan sekolah terbaik!  Itu tempat wisata buatan!" Kali ini sang kakek angkat suara.

"Kau tahu bukan? Adam adalah putra mahkota, dan dia harus mendapat sekolah terbaik!" 

"Kondisinya tidak memungkinkan kalau di bersekolah di kota ini! Kalian tidak bisa egois! Dia memang keturunan bangsawan tapi dia hanyalah anak biasa yang tidak bisa bersekolah di lingkungan yang penuh penekanan! Kesehatanya lebih penting dari ego kalian!" sentaknya. 

"Kalian bisa mendatangkan guru- guru yang profesional dan terbaik tapi itu aku atur pada jam- jam tertentu! Aku tidak mengijinkan kalian memaksa otaknya terus bekerja!" 

"Dia anakku! Aldrict marah besar ia tidak terima bahwa pewaris perusahaannya akan bersekolah di sebuah desa terpencil. 

"Tapi aku dokternya! Aku tahu kemampuan tubuhnya! Daniel tidak mau kalah. 

"Aku tetap tidak mau!" Aldrict keukeuh pada pendiriannya. 

"Silahkan! Jika kamu ingin membuat kecewa anakmu!" hardiknya. 

"Aku akan mencari tempat terbaik! Aldrict akan berlalu meninggalkan tempat itu, namun Marisa menahanya. 

"Apa pertimbanganmu, Daniel? Kali ini Marisa menatap datar pria yang akan menentukan masa depan keluarganya itu.

"Cuaca di sana sangat bagus dan jauh dari hiruk pikuk dunia bisnis! Aku hanya takut Adam terancam!" Jelasnya. 

"Tapi Adensor itu bukan tempatnya mencari ilmu, Daniel!" Sahabatnya sudah sangat geram.

"Hanya tiga tahun Aldrict, beri dia kesempatan untuk bisa hidup bebas! Kau bisa mendatangkan guru privat tapi aku tidak mengijinkanmu jika kau meminta anakmu terus berpikir." 

"Kau tidak perlu khawatir, Adam anak yang cerdas." Ia menyombongkan anaknya.

"Dia memang cerdas, tapi perlu kau ingat! Kesehatannya tidak sama!" Daniel sudah mulai geram.

"Jangan selalu menganggap lemah anakku!" bentaknya, ia tak terima, ia menganggap Daniel merendahkan anaknya. 

"Astaga! Sadarlah! Dia juga sudah ku anggap sebagai anakku! Kau jangan egois! Berpikirlah realitis, terima kenyataan!" Daniel meminum air green tea yang di suguhkan pelayanan di rumah ini, berbicara dengan sahabatnya benar- benar membutuhkan tenaga.

Aku tetap tidak setuju!" ucapnya dengan bersidakep.

  "Lalu, kau akan menyekolahkan Adam di mana?" tanyanya dengan menahan kekesalannya. 

   "Di sekolah terbaik di kota ini! Aku tidak mau dibantah," bentaknya. 

   "Aku tidak masalah, sekarang, aku bertanya padamu, apa kau bisa menjamin tidak ada ancaman dari rekan bisnismu? Perlu kau ingat bahwa saat ini kondisi anakmu lagi menurun," jelasnya dengan menatap tajam sahabatnya. 

  

"Itu tugasmu, sebagai Dokternya, kau harus tetap menjaga kesehatan Adam!" tegasnya.

   "Yah, aku Dokternya, Tapi aku bukan Tuhan! Aku menyarankan hal terbaik untuk anakmu. Tapi, jika kau tidak mendengar suara ku, aku lebih baik mundur, kau cari saja Dokter lain," ucapnya hendak berlalu. 

   "Apa kau sudah gila, hah?" bentaknya dengan mengepalkan tangannya.  

      "Siapa yang gila, aku atau kau?!" bentaknya dengan mendorong tubuh seorang Ayah yang sangat keras kepala ini. 

    "Berhentilah, ikut campur kehidupan anakku," tukasnya dengan mencengkram kerah baju sahabatnya. 

   "Berhentilah, egois! Aku akan melakukan pengobatan di sana! Mengertilah, kondisi anakmu!" bentaknya dengan menepis tangan Aldrict. 

   Mereka terus beradu argumen, keluarga ini sudah tahu jika mereka berdebat sukar untuk dipisahkan.

  "Sekarang aku tanya padamu Aldrict, apa kau sudah menemukan pembunuh atas kematian Sekertaris mu?" tanyanya, yang seketika membungkam pria yang tidak bisa menerima pendapat temannya itu. 

  "Apa kau bisa menjamin, keselamatan anakmu di sini, disaat perusahaan sedang mengalami banyak masalah?" tanyanya. 

Lagi- lagi kalimat itu membuatnya seakan tercekik, yah, memang saat ini perusahaannya memang sedang berkembang. Tapi, saingan bisnisnya bukanlah lawan yang bisa di anggap main- main.

"Aku tanya padamu, sekali lagi, siapa yang membunuh supirmu? Jawab! Kau bekerja sangat lambat dengan kasus ini, tidak menutup kemungkinan mereka akan menyerang keluargamu!" bentaknya.

"Apa kau bilang? Apa itu benar Aldrict?!" tanyanya, dengan matanya tampak terlihat merah menahan amarah, kali ini Dalbert menatap tajam putra tunggalnya.

"Jawab Aldrict!" bentaknya, Ia memegangi jantungnya yang mulai terasa sakit. Yah, memang Dalbert memiliki penyakit jantung.

"Ayah...!" Marisa tampak khawatir.

TBC

avataravatar
Next chapter