9 Penyiksaan

London, Inggris.

Pagi sudah menjelang siang, sinar mentari meredup di kota yang di juluki The Smoke ini, kabut sudah terbiasa menghiasi cakrawala.

Begitupun seorang pria yang belum menginjak usia empat puluh tahun ini tampak muram, kini hatinya pun ikut berkabut seperti langit di kota London ini.

Ia membenamkan wajahnya di sebuah setir mobil mewah milik atasannya. Matanya memerah menahan sesak. Sejak tadi ia menggenggam ponsel miliknya. Menerima panggilan dari istrinya. Yang membuat hatinya bergetar hebat, menahan sesak yang kian memuncak.

Bagaimana bisa semua ini terjadi, saat ini ia rela tidak bertemu kedua anaknya. Bekerja menjadi supir pengusaha besar. Ia tidak pernah mengeluh, hasil dari keringatnya ia tabung untuk kepentingan putranya.

"Kabar kecelakaan anaknya membuat ia ingin segera kembali ke desanya. Ia kembali menghubungi istrinya.

"Bagaimana keadaan, Ken? tanyanya.

"Maaf, aku masih di Kota, jalanan macet aku belum sampai ke rumah sakit!" jawabnya di sebrang sana yang membuat darah pria ini mendidih.

"Ibu macam apa kau? Jadi kau memberi kabar padaku, kau dengar dari orang lain? Mana tanggung jawabmu terdapat anakku, olive?" bentaknya.

"Aku kehabisan bahan untuk hewan ternak, akan ku kabari jika aku sudah sampai!" tukasnya dengan menutup sambungan.

"Dasar, wanita gila!" gumamnya dengan memukul setir mobil.

Tidak lama seorang yang berpakaian rapi akan masuk kedalam mobil yang di apit kedua pria bertubuh tegap, memakai pakaian serba hitam. Salah satu dari mereka mengetuk pintu mobil yang tertutup rapat. Belum ada jawaban sehingga mereka harus menggedor kaca yang tepat di samping supir yang tengah tertunduk lesu.

Gedoran pintu yang keras membuatnya terperanjat, Membuka kaca mobil dan bertapa terkejutnya dia, bahwa Tuannya tengah menunggu di luar. Membuka pintu mobil dengan mata yang merah dan membungkukkan kepalanya dan memohon maaf atas kelalaiannya dengan tatapan yang sendu.

"Kita ke sekolah Carlos, aku ingin memberinya kejutan," titahnya, namun Tuannya merasa heran, tidak biasanya pria di depannya yang tengah sibuk dengan setir itu hanya mengangguk sebagai responnya dan tampak sayu.

Hujan turun dengan deras sehingga sedikit sulit untuk melajukan mobil di bawah derasnya hujan, angin pun nampak kencang. Bahkan daun- daun berterbangan terlepas dari ikatannya dengan sang ranting memenuhi jalanan.

Di dalam mobil hanya ada mereka berdua, Tuannya sedari tadi memperhatikan gelagat supir pribadinya yang tampak aneh.

"Kau kenapa, Fer?" tanyanya yang membuat Ferdi mengerjapkan matanya.

"Bolehkah, saya cuti, Tuan, " tanyanya, yang membuat pria yang tengah menatap heran itu mengerutkan dahinya. Tidak biasanya ia mengajukan cuti dadakan. Di tambah lagi, sekarang banyak jadwal padat ke luar kota.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Anak saya mengalami kecelakaan dan sekarang dia sedang mengalami koma," jelasnya dengan menhan sesak.

"Astaga, pinggirkan mobilnya!" titahnya dengan sedikit membentak.

"Maaf, Tuan, apa anda akan memecat saya karena meminta ijin," tanyanya dengan meminggirkan mobilnya dan menatap dengan rasa takut.

"Putar arah, ke bandara! Nanti pengawalku akan menungguku di bandara!" jelasnya.

"Maksud, Tuan?" tanyanya.

"Sekarang kita ke bandara! Jangan membuang waktu kasihan anakmu!" tukasnya.

"Lalu, bagaimana dengan Tuan muda Charlos?" tanyanya.

"Tidak usah khawatir ada supir pribadinya! Sekarang anakmu lebih penting!" titahnya.

Tidak berapa lama, mereka sampai di London Heathrow, bandara internasional di London. Ferdi membukakan pintu untuk Tuannya yang sudah di sambut olah kedua bodyguardnya.

Seorang dengan pakaian rapi datang menghampiri Tuannya meberikan sebuah amplop coklat.

"Fer, Tunggu!" Ferdi yang baru saja berjalan dua langkah kembali mebungkukan badannya.

"Untuk biaya rumah sakit anakmu," ucapnya dengan menyodorkan amplop coklat pada supir pribadinya.

Merasa terharu, yah, dia merasa terharu dengan kebaikan Tuannya selama ini. Dia benar- benar merasa berhutang Budi.

Niatnya menggunakan pesawat untuk mempersingkat waktu pun salah besar. Badai besar membuat terhambat, jika meminjam mobil Tuannya pun dalam keadaan hujan badai seperti ini sangat beresiko besar menuju desanya.

Duduk di sebuah kursi dengan sangat gelisah. Menundukan kepalanya menahan sesak. Penerbangan tertunda karena terjadi badai di kota ini. Ia harus menunggu, hingga larut malam badai belum juga mereda.

ponselnya berbunyi dengan sangat nyaring, ia berdiri menjauh dari kerumunan, menempelkan benda persegi itu tepat di daun telinganya.

Matanya membulat sempurna, ia memegangi dadanya yang terasa sesak.

"Tidak mungkin." Kata itu lolos dari bibirnya.

Ia menutup panggilannya. Mencoba menguatkan hatinya. Air bening itu tiba- tiba lolos, "Maafkan aku, Elissa," ucapanya lirih

Ia mencoba menguatkan hatinya, lututnya terasa lemas, tanpa dia sadari tubuhnya merosot dari sandaran tembok, hingga saat ini ia terduduk di lantai dengan memegangi lututnya dan tertunduk membenamkan wajah di lututnya.

Usahanya terasa sia- sia selama ini. Tabungannya sudah hampir cukup. Tapi kenapa? Takdir begitu kejam, hampir setiap hari ia mencari informasi pada setiap rumah sakit prihal donor ginjal untuk putranya.

Sia- sia, itulah yang ia rasakan sekarang. Putus asa sudah menyelimutinya.

"Ken, maafkan ayah," ucapnya lirih.

"Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa? Bahkan, aku menghabiskan waktuku untuk bekerja agar bisa membiayai semua pengobatannya.

Hancur sudah harapan pria ini, ia memejamkan matanya seketika air bening itu mulai membasahi pipinya. Masih dengan duduk di lantai dan menatap langit- langit. Bahkan dia tidak bisa melihat senyum putranya untuk yang terakhir kali.

***

  Hujan deras membasahi bumi, dari semalam setelah kepulangan Ken. Isak tangis terus memenuhi kediaman keluarga Ferdi. 

  Mendengar kabar anak laki- lakinya mengalami kecelakaan ia meminta izin dan segera melakukan penerbangan untuk kembali ke desanya namun karena badai ia baru sampai ke desanya menjelang pagi.

  Saat ini Key aman dia bisa menumpahkan kesedihannya dipelukan sang ayah. Matanya tampak bengkak menangis semalaman.  Anak kecil itu terus menyalahkan dirinya. 

  Sang ayah pun bertanya apa yang sebenarnya terjadi, putri kecilnya menceritakan kejadian mengerikan itu.

  

"Ayah, maafkan Key," ucapnya lirih.

"Loh, kenapa meminta maaf." Ayahnya mengusap pucuk kepala Key dengan penuh kasih sayang sembari memangku putri kesayangannya. Ia menutupi rasa sedihnya mencoba menguatkan anaknya.

"Key tidak bisa menjaga Ken," ucapannya terdengar parau.

"Bukan salahmu, sayang. Semua sudah takdir! Sekarang sebaiknya kita antarkan Ken ke tempat peristirahatannya!" ajaknya dengan menuntun tangan putri kecilnya.

   Pusara yang basah menjadi saksi kepergian anak laki- laki kecil yang selama ini menahan sakit. Penyakit gagal ginjal yang dideritanya terus menggerogoti kesehatannya. Saat ini dia pergi untuk selamanya meninggalkan kenangan banyak untuk saudara kembarnya.dan juga untuk keluarganya.

  Bayangan Ken masih saja menghantui di pikiran anak kecil yang selalu menghabiskan waktu bersama. Meski kadang jahil, tapi Ken selalu membantunya ketika ibunya menghukum Keysha.

  Seminggu berlalu, ayahnya telah kembali bekerja. Senyuman melekat indah di wajah gadis kecil itu saat mengantarkan ayahnya pergi  di ambang pintu. Selama seminggu ini gadis kecil ini bisa merasakan tidur nyenyak dan bisa merasakan sarapan di pagi hari karena ibunya berlaku baik padanya. 

  Belum ada sepuluh menit sejak kepergian ayahnya. Saat itu, ia sedang memakan kue jahe pemberian sang ayah.

 Tiba- tiba, Ibunya datang merebut potongan kue jahe di tangannya, menginjak dan membuang sisanya ke perapian di ruangan.   

 Key menghembuskan napas kasarnya, dia sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini dari ibu kandungnya. Entah dosa apa yang ia perbuat, hingga ibunya begitu membencinya.

  "Enak sekali, kau!" bentaknya, Key hanya diam mengunyah sisa kue yang ada di mulutnya.

"Pembunuh!" tuduhnya. Hati Key merasa sakit saat kata- kata itu keluar dari mulut ibunya. 

 "Aku bukan pembunuh!" tukasnya dengan Isak tangis.

"Diam, Kau!" bentaknya

"Aku berharap bahwa kau juga mati! Bukan hanya Ken!" bentaknya. 

Wanita itu menarik tangan Key membawa ke kamar mandi dan mengguyur tubuh anak gadisnya, dia menyiram tak henti.

  Anak kecil itu hampir kehabisan napas, tangisan membanjiri wajahnya. Sekarang tidak akan ada lagi yang membelanya. Ia teringat adiknya biasanya saat ibunya berlaku kejam seperti sekarang, dia akan berpura- pura sakit dan pingsan hanya agar ibunya menghentikan menyiksa kakaknya. Sekarang, mati pun key sudah pasrah.

 "Ibu apa salahku?" Gadis kecil itu bertanya di sela tangisannya. 

Olivia menatap tajam, ia hanya memiliki satu alasan untuk membenci anak gadisnya, melihatnya mengingatkannya pada luka lama yang menimpannya. 

  "Ibu key janji tidak akan nakal lagi." Key memohon, karena ia sudah merasakan kaku di tubuhnya. Hawa dingin sudah ia rasa di sekujur tubuhnya, nafasnya sudah mulai tersengal. Mungkinkah ia akan menyusul adiknya. 

  Keysha menatap dalam mata ibunya, hatinya terbesit. Ingin sekali merasakan kasih sayang seorang ibu, mendapatkan senyuman lembut, dan pelukan hangat. 

  Tapi, itu semua tidak akan pernah terjadi. Ia hanya bisa merasakan sakitnya bentakan dan perlakuan ibunya. 

 Kali ini Olivia tengah selesai mengguyur anaknya secara bertubi-tubi. Dia melempar handuk pada wajah Keysha 

"Pakailah! Aku tidak ingin kau mati sekarang! Aku malas berurusan dengan polisi. Mati, yah, mati saja! Pergi kau ke neraka, anak bodoh!" bentaknya ia berlalu dengan melempar gayung ditangannya ke depan Key, sehingga membuat anak kecil itu terlonjak kaget.

"Bangun!" teriaknya. Dengan ketakutan Key segera berdiri dari duduknya di atas lantai, terasa mual dan sesak. Namun ia tahan meninggalkan tempat itu, meski kepalanya sudah berputar ia mencoba menahannya. Ia berjalan dengan tubuh lemah menuju kamar adik kembarnya untuk mengambil pakaiannya yang ada di sana. 

 "Sedang apa kau disini?! Tempatmu bukan di sini! Kau tidak pantas berada disini!" hardiknya ketika Key baru saya memutar kenop pintu kamar.

 "Maaf, buk, Key hanya ingin mengambil baju yang masih tertinggal di kamar ini," ucapnya dengan bergetar menahan hawa dingin yang menyiksanya. 

 "Jangan masuk! Akan ku kirim pakaianmu ke lantai tiga! Ke tempat yang sangat pantas untukmu, bersama tikus- tikus!"  hardiknya dengan tertawa.

Key berlalu dengan langkah sendu, ia ingin sekali masuk ke kamar adiknya itu. Ingin merasakan wangi aroma tubuh dan parfum milik saudara kembarnya, menyentuh barang- barang kesayangannya agar ia juga bisa merasakan kehadiran adiknya. 

Rasa rindunya membuat Key tersiksa. Sampai di kamar ia tak segera mengganti pakaiannya, hanya handuk yang terselimut asal di pundaknya.

 Tubuhnya bergetar menahan rasa dingin, ia mendekap kedua tangannya. Airmata kembali membasahi pipinya. Biasanya, saat seperti ini saudara kembarnya akan datang membawakan kue jahe yang ia sembunyikan di balik bajunya. 

  Ken tidak pernah menyukai kue jahe, tapi ia selalu membeli banyak berpura- pura pada ibunya sangat menyukai kue itu. Agar ia bisa memberikan kue- kue itu pada kakaknya. 

  "Ken …," panggilnya lirih, "aku merindukanmu, kenapa kau tak megajakku?!  Aku takut, Ken. Aku takut sendiri!" racaunya dengan sesekali ia mendekap tubuhnya. Tidak ada satupun baju yang dapat ia kenakan saat ini, karena semua tersimpan rapi di kamar kembaranya. Selama ayahnya ada dia tidur di kamar Ken.

  

 Dorongan keras terhadap daun pintu yang tampak reyot, membuyarkan lamunan gadis kecil yang tengah kedinginan. Olivia melempar tas besar kehadapan anaknya. 

"Rapihkan! Jangan menjadi anak yang pemalas!" bentaknya. Key mengangguk pelan, ia sudah tidak tahan menahan rasa dingin di tubuhnya.

 Hanya ada satu almari plastik  yang satu pintunya sudah rusak, yang ia pungut di gudang rumah tetangganya. Milik salah seorang wanita tua yang selalu mengambala kambing bersamanya. 

 Key ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku dan bergetar, tapi ia urungkan teriakan ibunya kembali merusak gendang telinganya. Yah, ini akan memasuki jam makan siang. Dia harus bersiap, memberi kambing dan sapi- sapi makan siang, dan baru setelah itu ia bisa mendapatkan jatah makan siangnya. 

TBC

 

avataravatar
Next chapter