15 Malam Perpisahan

"Ayah..."

"Tidak apa-apa, nak, Ayah menuntut suamimu untuk menjelaskan semua kekacauan ini!" Ia berbicara dengan terus memegangi dadanya, sedang sang istri sibuk mengambil obat dikamar mereka.

Tidak lama, Istrinya datang dengan membawa botol kecil berisi butiran-butiran obat didalamnya. Duduk disisi suaminya yang tengah terengah-engah menahan amarah dan sakit di jantungnya. Mengusap pundak suaminya agar pria lanjut usia itu bisa lebih tenang.

"Tenanglah, semua akan baik- baik saja," ucapnya mencoba menenangkan suaminya, "minumlah," titahnya. Ucapan sang istri membuatnya sedikit tenang.

Pria parubaya itu menghembuskan napasnya , mencoba menghirup oksigen yang berada di ruangan yang luas ini dengan napas berat. Seusai minum obat istirnya mencium kening suaminya dan itu sukses membuat emosinya kembali stabil.

" Percayalah, anakmu pasti bisa menyelesaikan semuanya, kita sudah cukup tua untuk mengurus kekacauan ini," jelasnya dengan mengusap tangan suaminya. Sehingga membuat suaminya tenang dan merasa lebih baik.

  "Kau tahu bukan? Adam adalah hidupku, kumohon jangan sampai usahaku sia- sia untuk menyembuhkan anakmu! Mengertilah, kondisinya sedang tidak baik, memaksa dia untuk tetap di sini juga bukan ide yang baik. Kebahagiaannya lebih penting dari  egomu!" 

Aldrict terdiam, bagaimana pun dia kalah suara. Ia juga tidak bisa menjamin keselamatan anaknya jika bersekolah di sini.

"Apa yang dikatakan Daniel benar! Kita tidak bisa egois, kesehatan Adam lebih penting dibanding gengsi kita!"  Dalbert berkata dengan menyuapi sang istri buah segar, meski sudah di usia lanjut mereka selalu tampak romantis, istrinya selalu bisa membuat suaminya kembali tenang setelah tadi hampir terkena serangan jantung.

"Nah, Kau tenang saja! Aku akan mengajarinya banyak hal!" Daniel merasa menang menentukan jalan hidup keponakanya. 

Sahabatnya hanya mengangguk pasrah, melawan sang Daddy akan menambah masalah besar. Karena jika ia sudah mengambil keputusan tidak ada yang bisa menggugatnya. 

"Mengajari apa, Main game? Awas kau!" ancamnya  dengan mengepalkan tangannya didepan wajah Sahabatnya. 

"Sedikit biar aku ada temannya!" godanya dengan terkekeh.

"Tidak!" Mereka menolak serempak.

"Ish, ish, Ya sudah, siapkan guru terbaik di kota ini untuk  menunjang pendidikan Adam! Sekolah hanya formalitas, dia tetap harus fokus pada pendidikan bisnis!" 

Semua mata menatap Daniel, ternyata dibalik sifat gilanya tersimpan jiwa yang peduli akan perkembangan bisnis keluarga ini. 

"Aku tahu, Adam adalah Anak mahkota keluarga ini! Tapi jangan kalian rampas juga masa bermainnya! Sudah aku balik, akan mempersiapkan semuanya, biar kalian datang sudah bisa tinggal dengan nyaman.

"Thank!" Aldrict memeluk sahabatnya, "maaf aku salah sangka." 

"Sudahlah, jangan terus memelukku, aku masih normal, dan tidak berniat jadi homo," ucapnya dengan terkekeh.

"Sialan! Kau pikir aku tergoda dengan pria berbulu sepertimu!" tukasnya.

"Jadi jika aku tidak berbulu kau akan mencintaiku? Oh Astaga, Marisa suamimu berniat menjadi Homo," godanya dengan bergaya seperti perempuan.

Marisa hanya memutarkan bola matanya jengah melihat kedua sahabat yang baru saja bertengkar sekarang saling meledek.

"Aku titip anakku, jaga dia baik- baik," pintanya dengan wajah yang sendu.

Mereka tidak pernah jauh dari Adam, sehingga akan sangat berat melepas anak kesayangannya.

"Aku berharap keputusan ini adalah mimpi. Namun kenyataan kadang lebih menyakitkan. Demi keselamatanmu, Nak, Daddy rela jauh darimu. Meski semua ini sangat berat," gumam Aldrict dengan tatapan yang sendu.

*****

Di tempat yang berbeda, kakak beradik ini masih sibuk dengan obrolannya. Banyak yang mereka bicarakan. Dari sejak, umur 5 tahun Adam tidak pernah jauh dari kakaknya Martien.

 Baginya, Martien adalah kakak terbaik. Meski banyak yang bilang dia pria yang sombong dan arogan sejauh yang dia kenal dia pria yang penyayang dan penuh tanggung jawab. 

Kali ini Martien dan adam tengah tidur terlentang dengan kedua tangan mereka gunakan sebagai tumpuan kepalanya dan mereka menatap langit- langit kamar.

  Mereka saling bertatapan dan terkekeh pelan menyadari bahwa, memiliki kebiasaan yang sama. Martien mengelus sayang pucuk kepala adiknya. Ia menatap dalam nampak kekhawatiran dari wajahnya. Ia takut jika ia berjauhan dengan adiknya. Kesehatan adiknya akan menurun.

"Dek…," sang kakak kembali memulai percakapan. 

"Jika kakak jauh darimu, kakak mohon jaga kesehatanmu, kau harus menuruti semua ucapan orang yang akan tinggal bersamamu disana!" Martien masih mengusap pucuk kepala adiknya. 

"Adam janji, kakak tak perlu khawatir, baik-baiklah di negeri orang!" ucapnya.

"Dek, hati- hati memelih teman, maaf kakak tidak bisa menemani dan menjagamu, kakak harus melakukan sesuatu untuk masa lalu kakak," ucapnya dengan mata yang tampak memerah menahan sesak. 

"Kakak baik-baik saja?" Adam bertanya, Adam merasa ada yang aneh dengan kakaknya. 

Martien hanya menganggukkan kepalanya, ia merasa berat jauh dari adiknya mengingat kesehatan sang adik kadang turun dengan drastis. 

 Tapi dia juga harus tetap mengejar cita-citanya untuk menjalankan rencananya. Setelah itu baru dia bisa fokus untuk kesehatan adiknya, semoga tidak ada kata terlambat. 

 Martien meminta adiknya untuk segera tidur, ia mengelus pucuk kepala adiknya penuh dengan kasih sayang. Meski bukan saudara kandung tapi bagi martien Adam adalah  orang yang sangat berarti dalam hidupnya. 

Jika tak bertemu keluarga berhati malaikat ini, mungkin dia sudah mati kelaparan atau bahkan terseret ombak di lautan. Hutang Budi pada keluarga ini, membuatnya selalu patuh dan sangat menyayanginya melebihi dirinya sendiri.

"Meski kau bukan adik kandungku, Dam, Aku menyayangimu melebihi diriku sendiri. Aku berharap semoga kau bisa kuat dengan penyakitmu, tunggu Kaka kembali," gumam Martien.

Ia memeluk erat, adiknya yang tengah tertidur pulas, tampak sangat damai. Senyuman menghiasi wajah Martien, yang tak pernah ia tampakan pada orang lain.

Tak terasa air bening itu menetes, ia teringat ibu kandungnya yang telah meninggal. Bahkan, ibunya tak pernah merasakan makan enak, tak pernah merasakan tidur nyenyak seperti yang ia rasakan saat ini. 

"Ibu, semoga kau tenang di alam sana," ucapnya lirih. 

Tanpa dia sadari orangtua angkatnya sedari tadi memperhatikannya. Mereka menghampiri kedua anaknya. Duduk di tepi ranjang besar milik Martien. 

"Kamu kenapa, Nak?" tanyanya. Martien hanya mengulum senyuman, "Kau tidak usah khawatir, Adam pasti baik- baik saja. Kami akan selalu mengabarimu," ucapnya dengan mengusap tangan Martien yang sudah duduk berhadapan dengan Mamy dan Daddy-nya.

 Mereka berpikir, Martien khawatir dengan keadaan Adiknya, meski begitu ada satu hal yang lebih mengusik Martien saat ini.

Kemudian, Marisa mendekati anak kecilnya yang tengah tertidur pulas, "Anak Mamy akan tinggal jauh dari kami, tak terasa kau sudah besar, nak." Seketika, Air matanya tumpah. 

"Sayang, sudahlah. Kita harus ikhlas anak-anak kita jauh di sisi kita." Sang suami merengkuh pundak istrinya mencoba menenangkannya.

Martin menatap sepasang suami istri ini yang tengah pamer kemesraan.

 Sedang dulu ia tak pernah melihat keharmonisan dan perlakuan lembut dari ayah kandungnya. Saat pulang Ayahnya selalu berada di kamar seharian bersama ibunya. 

Dulu Martien tak mengerti, tapi sekarang ia paham ternyata ayah kandungnya memperlakukan ibunya tak lebih dari seorang pelacur. Ia kembali mengepalkan tangannya. Kebencian terhadap ayah kandungnya membuatnya hampir tak bisa menahan emosinya.

Diadopsi oleh keluarga ini, membuatnya paham apa arti kasih sayang dan sebuah ketulusan. 

"Nak, kau kenapa?" Marisa menghampiri martien dengan memegang tangan anaknya. 

"Tidak Mam, aku baik- baik saja. ucapnya lirih, "Terimakasih." Martien berucap dengan matanya nampak sedikit berkaca.

"Atas apa sayang?" Wanita parubaya itu menyunggingkan senyum hangat. 

"Atas kebaikan Mamy dan Dad padaku, meski aku bukan anak kandung kalian, tapi tidak ada perbedaan kasih sayang padaku, Terimakasih." Martien begitu sangat bersyukur memiliki orang tua sebaik mereka. 

"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kalian berdua adalah anak Mamy dan Daddy. " Jaga diri dan baik- baik di sana. Jangan mengecewakan kami yah, Nak," ucapnya lembut dengan mengulum senyum hangat.

Martin mengangguk pelan, ia tahu ia tidak akan pernah mengecewakan keluarga yang tengah baik padanya. 

"Tidurlah! Ini sudah malam, Nak," titah sang Daddy yang dari tadi mendengarkan percakapan istri dan anaknya. 

"Jika ada sesuatu segera kabari kami, Nak." ucap sang Daddy membuat martien ingin sekali menangis haru. 

Martien hanya menganggukan kepalanya. ia ingin sekali memeluk kedua orang tuanya ini, tapi ia tak memiliki banyak keberanian. Hingga kedua orang tuanya pergi menjauh dari hadapannya.

TBC

avataravatar
Next chapter