29 Nafas Hangat

Sorot mata hitam menatap lurus tepat ke bola mata pria di bawahnya. Serius dan mengintimidasi. Rahang itu mengeras diselingi geraman dalam, urat-urat muncul di sekitaran lehernya. Jakun itu bergetar. Persis seperti tatapan predator pada mangsanya. Gambaran pemuda konyol menghilang seketika. Kini Ashley benar-benar menciptakan aura kuat identik dengan tubuh besarnya. Seperti apa yang dipikirkan orang-orang saat pertama kali melihat sosok Ashley.

Begitu juga dengan Simon. Pandangannya terkunci pada manik berkilauan milik Ashley. Terikat tanpa tali kekang, patuh seperti hewan sirkus. Dia sungguh merasakan sensasi aneh ketika melihat rahang tegas pria di atasnya. Ada dorongan ingin menyentuh, apakah sekeras yang terlihat, tetapi tangannya tertahan oleh cengkraman Ashley yang luar biasa kuat.

Simon susah payah menelan ludahnya, membasahi kerongkongan yang kering, sebelum membuka mulut. "Apa yang kau—"

Dia tak akan pernah bisa menyelesaikan ucapannya ketika tubuh besar Ashley ambruk dan menimpa tubuh kecilnya. Namun itu bukanlah puncak masalah, hal paling mengejutkan yang membuat kepalanya terjungkal balik dan isi perutnya berputar-putar adalah karena benda lembut hangat menempel tepat di bibirnya. Membungkam total.

Simon tidak bisa menjerit, seolah isi kepalanya benar-benar kosong. Bibir Ashley tebal dan empuk, menempel sempurna dengan bibirnya, memberi kehangatan tidak terduga yang anehnya terasa menenangkan. Tubuh Simon sekaku batu, hanya bisa menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri, mencari celah kecil untuk memastikan jika ini hanyalah mimpi. Sayangnya, hembusan nafas hangat terasa begitu nyata saat menerpa pipi Simon, membuyarkan segala lamunan mengenai ini hanya mimpi semata. Alasan halusinasi karena efek alkohol terbilang mustahil karena Simon bukanlah orang yang mudah teler.

Sekitaran lima menit —atau lebih— sampai Simon bisa mengendalikan diri dan kembali pada kewarasan yang telah hilang selama beberapa waktu terakhir. Lengannya telah terbebas dari cengkraman tangan Ashley, kini dia gunakan untuk mendorong dada bidang pria di atasnya. Memberi kekuatan ekstra pada tulang-tulang kurus tangan miliknya untuk menyingkirkan si raksasa tidak sadarkan diri. Suara berdebum lumayan keras terdengar ketika tubuh Ashley menimpa permukaan sofa, bersamaan dengan Simon menggeser tubuhnya. Sofa itu memang lumayan besar, tetapi tidak cukup besar untuk menampung dua pria dewasa.

Ashley masih terpejam, tentu saja dia sama sekali tidak sadar meskipun mendapat dorongan lumayan bar-bar juga benturan pada punggungnya saat menimpa permukaan sofa. Dia persis seperti orang mati jika tidak melihat bagaimana dada bidangnya bergerak naik turun dengan stabil. Terlelap dalam damai.

Berbanding terbalik dengan Simon yang kini tengah berusaha menetralkan detak jantungnya. 'Apa-apaan ini!' batinnya mengerang. Simon ingat jika Air Conditioner dalam keadaan menyala beberapa waktu lalu, sama sekali belum dimatikan. Udara harusnya tidak sepanas ini. Tidak sampai membuat wajahnya seperti terbakar terik matahari, merah seperti udang rebus.

Simon tak cukup bodoh untuk tak mengetahui penyebab hal ini terjadi. Jemari lentiknya menyentuh permukaan bibir tepat dimana bekas bibir Ashley menempel beberapa saat lalu. Rasa hangat itu bertahan di sana, perlahan berubah menjadi gejolak meletup yang disertai geli di dalam perut. Isi perutnya sedang dikocok berkali-kali, tetapi anehnya Simon menyukai sensasi ini. Bukan seperti mual akibat mabuk perjalanan, atau pasca teler semalam. Dia yakin pernah merasakan hal semacam ini, tetapi jauh, sangat jauh ketika dirinya masih sepantaran anak SD. Ketika pertama kali mendapatkan nintendo switch, perasaan berbunga-bunga menggelikan itu selalu mampu membuat bibirnya tertarik ke atas.

Pandangannya beralih ke arah pria besar di atas sofa, tepatnya menuju ke bawah hidung tempat dua bongkah daging tebal itu berada. Nafas Ashley terdengar beraturan, keluar dari hidung serta celah pada mulut yang terbuka. Sudah sejak kapan Simon merubah posisinya menjadi duduk berhadapan dengan wajah Ashley, menatap pemuda itu lekat-lekat. Manik gelap Simon menyusuri area wajah Ashley, mengabsen seluk-beluk tanpa melewatkan satu detail pun. Berusaha mencari letak kecacatan, barangkali dia bisa berlindung dibalik kecacatan itu.

Perasaan geli semakin bergejolak saat Simon menetapkan pandangannya pada bibir Ashley. Dua bongkahan kenyal yang menjadi pelaku tubrukanan dengan bibirnya.

Simon memijit pangkal hidungnya, kejadian barusan terjadi sangat cepat bahkan untuk dicerna. Namun, berapa kali Simon mencoba menyangkal, sensasi bergelombang kembali memenuhi ulu hati, sangat nyata. Kumparan-kumparan yang tidak pernah berfungsi kini berputar, saling berhubungan secara sistematis.

Lantas, Simon memilih untuk memperbaiki ini semua. Memperbaiki pikiran yang mulai aneh. Tidak waras berkat pengaruh alkohol, begitu pikir Simon ketika memilih pergi dari ruang tengah.

Ingatkan dia untuk tak menenggak alkohol ketika hari masih siang. Itu tidak bagus, benar kata Ashley.

Simon berjalan lunglai tetapi mencoba cepat menyusuri selasar hingga berada di kamar dapur. Dia membutuhkan sesuatu untuk menyegarkan pikirannya. Memperbaiki bagian-bagian tercerai berai di dalam sana, kembali pada posisi semula.

Kucuran air memenuhi ruang dapur setelah keran diputar. Aliran deras membasahi telapak tangan Simon di bawahnya, memenuhi hingga tumpah ruah membentuk aliran baru pada setiap tepi. Ayunan telapak tangan membasahi seluruh wajahnya. Simon melakukan hal serupa berkali-kali, sampai dia yakin semuanya telah kembali ke tempat semula. Mengenai pikiran dan perasaannya yang berantakan dalam hitungan waktu.

Nafasnya terdengar tak beraturan setelah cukup lama menahan nafas saat membasuh wajah. Air keran sama tak terlalu membantu. Simon mengangkat tangan, menempelkan tepat di dada sebelah kiri. Jantungnya masih berpacu sangat cepat, seperti baru saja berlari maraton.

Tangan kurusnya beralih dari keran ke arah pintu lemari pendingin, membukanya dengan satu tangan lumayan lebar sehingga seluruh isi di dalamnya tampak jelas. Simon tak perlu berpikir dua kali untuk mengambil botol mineral terselip di balik pintu. Bulir embun memenuhi permukaan botol, lebih banyak ketika bertemu suhu ruangan yang lebih hangat. Tonjolan pada leher pemuda itu bergerak naik turun, menghasilkan bunyi saat cairan dingin mengucur memenuhi mulut lalu mengalir secara sistematis dalam kerongkongan. Tegukan lumayan nyaring.

Simon berhenti sesaat untuk bernapas sebelum kembali menenggak air hingga setengah botol. Dia terbatuk beberapa kali berkat terlalu terburu-buru, tetesan air mungkin beralih jalur menuju tenggorokannya. Membasahi Alveolus.

"Ini tak membantu."

Dan, Simon harus mulai mengakui jika segala yang telah dilakukannya hanya menemui jalan buntu. Tubuhnya memerosot ke lantai, bersandar lemah pada lemari di belakangnya.

'Ini tidak mungkin', 'ini tak masuk akal', 'bagaimana bisa?'

Benar. Ini kelewat tak masuk akal. Bagaimana bisa dia merasakan hal semacam ini. Maksudnya, setelah banyak wanita telah dia tiduri, banyak bibir telah dia dapatkan —beberapa diantaranya adalah pengalaman pertama bagi si wanita— bukankah itu jelas menunjukkan seperti apa kepribadiannya?

Playboy brengsek. Terdengar keren dan tidak berlebihan mengingat tak terhitung seberapa banyak gadis telah berlalu lalang dalam kehidupannya.

Lalu sekarang apa?

Playboy brengsek mendapatkan karma dan menjadi Gay?

Simon menggeleng kuat-kuat, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang mulai bermunculan.

"Ini tidak alami!"

avataravatar
Next chapter