25 Membujuk Simon

"Anu, Senior belum menjawab pertanyaanku saat di perpustakaan tadi.."

Hampir saja dia melupakan tugas pentingnya. Setidaknya dengan mengikuti Simon sampai ke mari, dia akan dengan mudah mendapatkan jawaban.

"Memang kau bilang apa?"

Ashley meringis menyadari dia telah terabaikan begitu saja. "Itu.." Dia berdehem sekali, menetralkan suaranya. Simon melirik sekilas sebelum kembali menatap ke depan. "Senior, mau kan jadi—"

"Aku tidak mau jadi pacarmu," jawab si pria berkulit pucat, lalu menggeser pantatnya menjauh dari sisi Ashley.

"EH?! Tidak! Bukan begitu!" Ashley tentu saja panik. Bagaimana bisa si senior ini berpikiran bahwa ini adalah pernyataan cinta. Tidak masuk akal.

"Lalu apa? Gerak-gerik mu mencurigakan, kau juga gugup begitu. Bukannya wajar kalau aku mengira kau ingin menyatakan cinta?"

Seketika telinga Ashley berubah menjadi merah padam, seperti tersiram saus tomat. Dia berdiri di hadapan Simon, dan tanpa diduga membungkukkan tubuhnya 90 derajat. "Saya! Ashley Grissham! Jurusan Seni angkatan 11 hendak meminta Anda! Simon Carver untuk menjadi model sampul majalah Universitas Salt Lake!"

Simon tercengang, rahangnya sudah jatuh dan terperangah saat melihat aksi pemuda tinggi di hadapannya. "Wow..wow.. Jacob pasti telah mencuci otakmu kan," cibir Simon seraya berdiri. Dia menepuk bagian belakang celananya, membersihkan debu yang menempel saat duduk di permukaan lantai semen di bawah. "Aku tidak akan mau melakukannya." Kemudian berlalu melewati Ashley yang masih membungkuk.

Menyadari kepergian Simon, Ashley segera menegakkan tubuh sebelum menyusul dan berdiri tepat di hadapan Simon dengan kedua tangan direntangkan lebar-lebar.

"What the—"

"Senior tidak boleh pergi sebelum menerima ajakan ku tadi."

"Apa-apaan kau?" Perempatan imajiner telah muncul di pelipis Simon. "Minggir!"

"Ayolah Senior~ Tinggal jawab 'Iya' saja, apa susahnya sih." Ashley tetap bersikukuh, tak pindah satu senti pun dari tempatnya berdiri.

"Jangan bersikap kekanak-kanakan," geram Simon. Lantas menarik kerah baju Ashley, membuat si pria bertubuh besar itu condong ke arahnya. "Sudah ku bilang, aku tidak mau. Tidak. Mau. Harus berapa kali aku katakan kalau aku tidak mau huh?!" Simon melepaskan cengkraman pada kerah Ashley. Lebih tepatnya mendorong si pemuda bertubuh besar agar tak lagi menghalangi jalannya, dan kemudian berlalu dengan langkah cepat.

Meninggalkan Ashley seorang diri di pelataran atap Salt Lake University.

"Astaga..." Ashley mengusapkan telapak tangannya ke wajah. "Dia benar-benar sulit dibujuk, pantas saja Jacob bertaruh banyak."

.

.

.

.

.

Derap langkah kaki menggema sepanjang lorong saat pemuda berkulit pucat berjalan cepat —setengah berlari— seolah sama sekali tak merasakan lelah setelah semua hal yang dilaluinya hari ini. Sapaan kosong Emily, tatapan penyesalan gadis itu, tindakan melarikan dirinya sambil membawa serta seorang junior, adegan konyol di atap kampus beberapa saat lalu cukup memuakkan sehingga tubuhnya hilang kendali. Mungkin juga berkat terik matahari tepat di atas kepala, sukses besar membakar sumbu di atas kepalanya yang kelewat pendek.

Tetapi sepertinya bukan itu penyebab rona merah menjalari hampir sebagian daun telinganya. Vending mesin terlihat dari kejauhan. Kotak besi merah berisi puluhan minuman kaleng menjadi fokus utama Simon sekarang. Tanpa mempedulikan orang-orang berlalu lalang di sekelilingnya, dia memang tak pernah peduli.

Tetapi orang-orang tersebut peduli. Saat suara menggelegar dari lempengan logam merah beradu dengan batang kaki seorang pemuda. Nafas Simon memburu, dia masih tidak peduli, walaupun kakinya berdenyut-denyut. Barangkali pembuluh darah atau saraf di dalam sana terguncang hebat akibat benturan tiba-tiba barusan. Vending mesin bergetar, hanya beberapa saat. Tendangan tadi tak berefek apapun selain pergelangan kaki Simon ngilu.

"Apa yang sedang ku lakukan sih.." gumam Simon, terdengar seperti bisikan. Semisal suara tadi cukup keras pun dia masih tidak peduli, toh orang lain masih akan sibuk dengan kegiatan mereka. Bukti kongkrit saat aksi menendang vending mesin hanya menjadi pusat perhatian selama kurang lebih lima detik, sepuluh paling lama, dan keadaan kembali seperti sedia kala. Seperti tak pernah terjadi apapun.

Simon merogoh kantong celana, mencari dompet di tempat biasa, saku kanan belakang celana.

Kosong.

Beralih ke saku kiri belakang, sama, kosong. Lalu depan, nihil, saku jaket di sana juga sama kosong.

Simon masih mencari berkali-kali, barangkali dia melewatkan detail kecil karena terlalu panik. Meskipun dia masih mempertahankan tampang datarnya.

Tidak ada. Sebanyak apapun dia mencari, memasukan tangan ke berbagai kantong di pakaian miliknya, semuanya tetap kosong. Tentu saja, apa yang dia harapkan memangnya? Dompet itu akan muncul ketika sudah genap sepuluh kali pencarian? Mana mungkin. Tidak ada yang namanya keajaiban. Dan itu berarti dia harus menyusuri tempat-tempat yang tadi dia singgahi.

Pertama, perpustakaan.

Gedung terletak lumayan jauh dari posisi Simon saat ini. Dia baru menyadari saat kembali menuju ke sana. Padahal beberapa saat yang lalu terasa sangat dekat, mungkin saja ini pengaruh emosi yang melonjak naik. Seseorang telah menyiramkan bensin pada api.

Suasana di dalam gedung masih sama seperti terakhir kali dia tinggalkan. Waktu hanya berlalu beberapa menit, tidak sampai satu jam. Simon berjalan pelan, namun matanya tetap awas mengawasi sekitar. Memperhatikan setiap seluk beluk, celah-celah yang memungkinkan dompetnya tertinggal. Dan, dia sampai di tempat dimana dia duduk. Bangku itu masih kosong, termasuk beberapa bangku lainnya. Bisa dipastikan kembali ke kelasnya masing-masing. Ini lumayan membantu pencarian Simon. Tak akan ada yang menganggapnya sebagai orang aneh karena jalan jongkok di sepanjang deretan kursi.

"Mencari apa?"

Seperti tersengat listrik, punggungnya terasa membeku saat mendengar suara yang berada tepat di belakangnya. Apakah itu penjaga perpustakaan yang akan mengusirnya karena telah berkelakuan aneh? Simon mengangkat kepalanya perlahan, menoleh ke samping sembari memikirkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang akan ditujukan padanya.

Tetapi, bukannya mendapati penjaga perpustakaan berkacamata tebal dan selalu memegang staples kemanapun, di belakangnya berdiri seorang pria muda berbadan besar. Rambut cepaknya terlihat mengkilap karena keringat, menjelaskan bagaimana pemuda itu mencapai tempat ini dengan cepat.

"Mencari ap—"

"Bukan urusanmu" Simon kembali dengan kegiatannya tanpa mempedulikan Ashley. 'Biarkan saja, nanti juga pergi sendiri.'

"Ayolah beritahu, barangkali aku bisa membantu~" Tampaknya Ashley tetap akan mengikuti kemana Simon pergi meskipun sudah dimaki, dibentak, dan dikatai secara kasar.

Simon menghela nafas. "Diamlah, itu sudah membantu banyak."

"Kau sebegitu tidak suka padaku yah?" Simon tak menyahut. "Setidaknya minum ini dulu, kau lelah kan karena daritadi berlari?"

Sensasi dingin seketika menjalari permukaan pipi Simon, membuatnya berjengit hingga tak sengaja menyenggol kaki meja di sebelahnya. "Apa-apaan sih kau?!" desisnya setelah berdiri.

"Ini.." Ashley mengulurkan kaleng soda yang masih di selimuti embun pada bagian luarnya. Masih dingin. "Aku lihat tadi Senior ingin membeli ini kan?"

Simon masih berwajah datar seperti biasa, tetapi jika diperhatikan lebih seksama lagi pupil matanya tampak membesar dua kali lipat. Raut yang ditunjukkannya ketika sedang terkejut atau panik. Dengan cepat dia segera menggenggam pergelangan tangan Ashley sebelum menariknya ke bagian rak agak pojok. Tersembunyi dari radar penjaga perpustakaan.

avataravatar
Next chapter