5 Kehadiran Mikha

Tak ada yang istimewa selama Arga menjalani kehidupan di kampus. Tak ubahnya masa SMA, dia sibuk mengukir prestasi tanpa banyak mempedulikan tentang pertemanan, jalan-jalan, apalagi percintaan. Tujuan hidup Arga tetap satu, yakni menjadi pria sukses dan mapan, lalu menemui Melia yang telah mencuri dan menyita hati hingga tak ada sisa untuk perempuan yang lain.

Bukan tak ada gadis yang tertarik pada seorang Arga Eka Putra, tapi memang laki-laki satu ini sangat cool. Kalau saja mau dibagikan kartu antrian jodoh, pasti tidak kurang dari lima puluh orang yang dengan sukarela dan sukacita meminta. Dia masih seperti biasa, bergeming bagai arca Dwarapala. Bukan hanya berkepala batu, tetapi tubuh dan hatinya juga.

Bukan tidak ada gadis yang sempat menarik perhatian. Beberapa gadis juga sempat membuat Arga bimbang untuk sesaat. Ini salah satunya.

"Hoi, ngelamun aja." Mikha memukul bahu Arga dengan tumpukan buku yang dia bawa.

"Issshhh. Jadi hilang inspirasiku." Arga mendelik sebal, lalu menarik sedikit hijabnya. Hah? Arga berhijab? Bukan. Hijab si Mikha, kok. Arga masih cowok normal walau jadi bucin.

"Inspirasi apa ngelamun jorok? Ngaku, deh," canda Mikha tertawa lepas.

"Udah, yuk. Kita kerjain tugas Manajemen Keuangan." Arga menyudahi pembicaraan dan kembali larut dalam tugas kuliah bersama Icha, panggilan akrabnya untuk Mikha. Panggilan akrab apa panggilan sayang, ya?

Sesekali, Arga melirik ke arah Mikha. Tidak secantik Melia, tapi wajahnya menyenangkan dan menenangkan, puji Arga dalam hati.

"Iya sih, aku cantik, tapi jangan kelamaan liatnya. Jatuh cinta, kapok lo," ucap Mikha seolah tahu isi hati Arga.

Arga diam tak menjawab lalu kembali berkonsentrasi pada tugas kuliah. Untuk sesaat, mukanya memerah karena malu, ketahuan memandangi wajah sahabat satu ini. Setelah satu jam lebih mereka berkutat dengan tugas kuliah sambil berdiskusi, akhirnya selesai juga.

"Fiuh, kelar. Kita lanjut kuliah Riset Operasi di ruang B2. Eh, Ga, boleh nanya sesuatu nggak?" Mikha memasang wajah serius dan hanya dijawab dengan anggukan oleh lelaki di hadapannya.

"Kenapa kamu jomblo? Padahal banyak kayaknya yang suka sama kamu. Atau kamu sudah punya pacar? Atau ada yang diam-diam kamu suka?"

"Karena mereka bukan dia," jawab Arga singkat sambil berdiri dan meninggalkan tempat. Dia berjalan menuju gedung B karena lima menit lagi perkuliahan dimulai. Dosen yang mengajar Riset Operasi sangat disiplin, tak pernah terlambat. Mahasiswa yang terlambat bahkan sedetik saja, tidak pernah diizinkan masuk.

"Maksudnya, dia siapa, Ga?" Mikha menyusul dan berjalan di samping Arga. Dari binar matanya, terlihat jelas bahwa gadis ini sangat penasaran.

Arga seperti biasa, hanya diam dan terus berjalan sampai ruang kuliah. Tak terasa empat semester mereka bersahabat, tapi memang belum pernah sekali pun Arga bercerita tentang Melia pada Mikha. Dia hanya ingin menyimpan semua dalam hati.

Selama kuliah berlangsung, Mikha beberapa kali memandangi Arga. Sepertinya sahabat satu ini masih penasaran dengan pembicaraan tadi. Benar saja, begitu dosen keluar dari ruang kuliah, gadis ini sudah berdiri di samping kursinya.

"Aku mau dengar semua ceritamu. Kita bersahabat sudah dua tahun, tapi kamu nggak pernah bercerita apa pun tentang gadis itu, Ga," kata Mikha dengan gamblang.

"Ya sudah, kita ke taman perpustakaan, yuk," ajak Arga.

Sambil berjalan menuju taman, Arga mulai bercerita. Tentang bagaimana dia mulai menyukai Melia sampai tekad kuat dia untuk bisa berhasil menjadi pria yang mapan dan sukses agar bisa layak mendapatkan gadis itu di sisinya. Sudah lama Arga tidak pernah menyebut nama Melia, apalagi bercerita pada orang lain tentang perasaannya. Semenjak lulus SMA, dia menyimpan dalam-dalam segala hal tentang gadis itu di dalam hati. Ini pertama kali dia bercerita lagi.

"Aku salut dengan perasaanmu. Tapi sepertinya kamu perlu berpikir ulang, Ga. Sebetulnya kamu benar-benar cinta sama dia atau cuma sebatas obsesi cinta pertama. Karena first love memang punya kesan tersendiri bagi kebanyakan orang. Begitu juga aku. Tidak semua orang bahkan jarang banget yang berhasil dengan cinta pertamanya," komentar Mikha setelah mendengar semua penuturan Arga.

"Kenapa kamu tidak mencoba untuk membuka hatimu pada gadis lain? Setidaknya kamu akan punya perbandingan, Ga," lanjutnya.

"Nggak tahu, Cha. Sampai saat ini, masih belum ada satu gadis pun yang mampu membuat aku tertarik sampai bisa membuat aku rela melepaskan Melia dari hati dan pikiran. Aku tahu, orang-orang mengatakan aku ini sombong, pemilih, kutu buku, bahkan sampai yang paling pedas mengatakan bahwa aku ini homo. Kalau mereka tahu ceritaku ini, pasti predikatku berganti jadi bucin," jawab Arga dengan kalem.

Apa benar kata Icha bahwa perasaanku pada Melia hanya sebuah obsesi? tanya Arga dalam hati.

Dia sedikit bimbang dengan perasaannya sendiri setelah mendengar pendapat Mikha. Memang benar, sangat jarang di dunia ini yang berhasil dengan cinta pertama. Ibarat sebuah tanaman, maka cinta pertama adalah percobaan dan pembelajaran untuk pertama kali bercocok tanam. Bahkan bagi sebagian lagi, hanya mampu memandang dan mengagumi dari jauh, tanpa mampu mengungkapkan.

"Sudah mau hujan, Cha. Pulang, yuk," ajak Arga.

Mereka pun bergegas. Memang akan sangat merepotkan kalau sampai kehujanan. Buku, itu yang paling rawan kalau sampai basah karena hujan.

Tiba di rumah, Arga masih terganggu dengan kebimbangannya sendiri. Obsesi atau cinta? Mikha benar-benar telah meracuni pikirannya.

[Cha, menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang? Mencoba mengenal gadis lain?] Tak sabar, Arga mengirimkan pesan pada Mikha.

[Coba aja, Ga. Kalau ternyata kamu memang nggak bisa melupakan Melia, ya berarti kamu beneran cinta sama dia. Coba aja dulu, deket sama gadis lain.]

Arga termenung membaca pesan balasan Mikha. Saat ini, tidak ada gadis lain yang dekat ataupun ingin dia dekati. Mikha adalah satu-satunya gadis terdekat.

[Aku nggak punya target, Cha.]

Mikha tersenyum membaca kalimat Arga. Dasar pemuda bodoh, batinnya. Bukan maksud Mikha untuk memaki Arga. Dia hanya gemas.

[Mau coba denganku? Kita coba jalani. Niatkan untuk saling mengenal lebih dekat lagi. Bukan sebagai sahabat, tetapi sebagai pria dan wanita.]

Mikha menghela napas beberapa kali sebelum berani menekan tombol kirim di layar ponselnya. Dengan jantung berdebar, dia menunggu Arga membalas pesan tersebut.

Bagaimana kalau Arga menolak? Duh, malunya aku. Jangan-jangan, Arga malah menjauh. Nggak mau lagi sahabatan sama aku. Aduh, apa bilang kalau cuman bercanda aja, ya.

Mikha merasa gelisah. Sudah lebih dari lima menit, Arga masih juga belum membalas. Dia takut, Arga marah atau mungkin merasa tidak nyaman. Kepalang basah. Pesan itu sudah terkirim dan dibaca oleh Arga. Percuma saja kalaupun dihapus atau ditarik kembali.

Arga sedang menimbang-nimbang. Memang tidak ada salahnya untuk mencoba, tapi dia takut akan melukai Mikha pada akhirnya nanti jika ternyata dia belum bisa melupakan Melia. Arga tidak tega.

avataravatar
Next chapter