1 Like a Fairytale | Seperti Dongeng Saja

Like a Fairytale

Kim Namjoon as Paman Arjuna, OC Liya || Surrealism, Romance || Oneshot with 1,5k words || General Audience

Nirvaneoust present

***

Seperti dongeng saja. Di dalam Kota Hati, kulihat seorang wanita berjalan dengan pakaian cerahnya. Rambutnya panjang, hitam, tanpa gelombang.

Saat itu masih sangat pagi. Kebiruan malu-malu untuk tampak, Mentari belum berani menaburkan cerah kuning emas sebab perjanjiannya untuk tidak berbuat apa pun sebelum Kebiruan sempurna melakukan pekerjaannya. Hijau rerumputan pendek tergelar sejauh mata memandang. Masih jelas terasa dingin basahan Embun tiap kutapakkan bergantian kakiku di atasnya.

Wanita itu terus berjalan ke arah Lubuk, sangat tenang. Aku tak dapat melangkahkan kakiku setelah berniat menyusulnya, seolah-olah ada makhluk dengan kedua tangan serta beberapa sayap merengkuhku dari belakang dan berbisik, "Tunggu dulu, kau belum diizinkan."

Wanita itu datang pada sebuah pohon yang tak setinggi jati dan tak lebih rendah dari beringin rindang pada umumnya. Dia sedikit bercakap-cakap meminta izin untuk berteduh sejenak di bawah pohon tersebut.

Makhluk bersayap tadi berkata padaku, "Kau tahu apa nama pohon itu? Orang-orang menyebutnya Pohon Kepedulian."

Kemudian, wanita itu duduk di bawah naungan Pohon Kepedulian, merapat sampai punggung si wanita menempel pada kayunya.

Samar-samar, cahaya Keemasan mulai menyelimutkan jubahnya pada rerumputan. Begitu indah, ia membuat Embun gemerlapan menyambut para pemandangnya. Kucari-cari, tetapi tak kutemukan Mentari di ufuk mana pun, yang ada hanya Kebiruan dan beberapa gumpal kecil Awan saja.

Mengherankan, sampai makhluk sebodoh diriku mengernyitkan dahi.

Setelah beberapa saat, makhluk tadi mulai melepaskan rengkuhannya satu per satu. Pikiranku kembali tertuju pada wanita itu. Dengan irama sedang, aku menuju kepadanya. Semakin dekat. Sesekali, kulihat Angin bertiup, menyibak rambut lembut sebawah belikat itu sampai terlihat putih pipinya. Ekspresinya begitu datar.

Sampai di hadapannya, kubuka pembicaraan kami, "Kau jangan masuk ke Lubuk itu."

Memang, pohon tempatnya berteduh berada pada jarak delapan belas atau dua puluh langkah dari Lubuk. Aku berada beberapa depa dari arah kanan bahunya, sedangkan Lubuk di sebelah kirinya. Dia tetap memandang ke arah depan. Untuk pertama kalinya, dia gerakkan bibir mungil itu untuk memberi celah pada kalimat, sebagai jalan bagi mereka untuk keluar menggema bersama pekat udara pagi.

"Ya, aku tahu. Jantungku akan pecah bila memasukinya. Bukan hakku dan bukan pula tempatku bersemayam."

Suaranya tak begitu keras. Bahkan, nada itu tak kalah datar dengan rautnya. Aku terbangun, bermimpi, terbangun, kemudian bermimpi lagi. Pemandangan itu terjadi berkali-kali. Sampai pada suatu ketika, terjadi hal yang berbeda.

Aku bertanya, "Siapa engkau?"

"Wulan Gusti," jawabnya.

Setelah dia menyebutkan nama itu, lama sekali rasanya kami tak bertemu. Aku tak tahu berapa lama tepatnya. Namun, aku yakin waktunya cukup bagi para pekebun menanti kebun baru, sampai pada saat untuk menuai buah yang dijanjikan kepada mereka.

Lambat laun, aku sudah melupakannya. Akan tetapi, entah di mana tempat dan kedudukannya dalam ketaksadaranku. Tanpa peringatan, dia menemuiku lagi dengan keadaan dan kejadian yang sama.

Sejenak, aku terdiam. Nama 'Wulan Gusti' memutar paksa pita ingatan dalam kepala ini.

Dapat! Nama itu berhasil kudapatkan.

Segera kutanyakan padanya, "Wulan Gusti?"

Sepertinya aku mengingat nama itu, hanya saja dengan ejaan berbeda. Bukan 'Wulan Gusti' jawabannya, melainkan 'Wulan Goestie Kusumawati' yang ada.

"Ya, aku berada di dalamnya," kata wanita itu, yang masih menolak untuk memandangku.

"Kau jangan mengada-ada! Dia memang berlalu-lalang dalam hidupku. Paras kalian pun sama, tetapi dia benar-benar memiliki perangai berbeda denganmu," tanggapku kepadanya.

Ia menjawab dengan sedikit nada tak acuh, "Tidak. Aku memang di dalamnya."

Kusahut dia, "Apa bukti dari perkataanmu?"

Kemudian, dia menoleh padaku. Dengan raut datar, dia membalas, "Kau meminta bukti, aku akan memberikannya."

Jeda.

Dia diam beberapa saat, lantas kembali bersuara, "Saat kau berusia belasan tahun, bagaimana caramu mengenalnya sebelum kau berbicara dengannya? Seberapa erat kedekatanmu dengannya, sampai kau tinggalkan beberapa orang sebab kau merasa mereka tak sedekat dirinya di hatimu saat itu, seolah-olah tak ada ganti bagi dirinya?"

Secara mutlak dia benar, aku terdiam.

Dia lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh lagi, "Kau melihat banyak aib bawaan sifat manusiawinya. Tapi, apakah tidak begitu janggal? Kau menemukan diriku, sosok lain di dalam dirinya ketika kau membaca tulisannya. Bukankah kau juga telah jatuh cinta begitu dalamnya? Meskipun kau hampir tak pernah membuat percakapan yang berarti dengannya."

Kali ini, dia benar-benar melahapku di dalam pembicaraan kami. Bahkan, pengetahuannya tentang batinku melebihi pengetahuanku atas diriku sendiri.

Kejadian itu membuatku mencoba untuk membangun hubungan dengan Wulan Goestie Kusumawati yang berada di dunia nyata. Sebentar, mungkin dunia indrawi lebih tepat untuk menamai dunia tersebut. Sebab, saat ini aku meyakini bahwa dunia yang merengkuh kenyataan di dalamnya bukanlah dunia indrawi. Dunia indrawi kebanyakan masih menampakkan berbagai tipuan.

Sayangnya, aku merasa hubungan yang kami bangun di sini tak berjalan dengan baik.

Di tengah kegelisahan akan hal itu, Wulan Gusti menemuiku dalam keadaan yang sama. Kali ini, dia tak mengarahkan pandangannya padaku. Aku melihat paras ayu itu dari sisi kanan pipinya. Kami saling diam cukup lama.

Perlahan, ini memperlihatkan, sesungguhnya diriku hanyalah lelaki yang lemah.

Aku mulai mengeluh padanya, "Aku telah mencoba membangun hubungan dengan wanita yang kau bilang engkau ada di dalam dirinya, tetapi semuanya tidak berjalan dengan baik. Mungkin, bisa dikatakan aku hanya memperburuk keadaan saja."

Dia menoleh. Aku mendengar gema suara tawanya. Dia menertawaiku sampai harus menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

"Kau memang sangat kikuk, bahkan dari semua lelaki dungu sekali pun. Bagaimana tidak? Tiba-tiba kau datang sebagai orang asing, lalu kau bertanya tentang hal-hal aneh. Kau tahu? Dia sampai merasa kau mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu."

Tawanya mengalir deras untuk beberapa waktu. Setelah surut, dia berkata lagi, "Terlebih saat kau memuji-mujinya, sementara yang kau puji adalah hal-hal yang biasa saja bagi dia. Bahkan, dia sempat menganggap kau terlalu memuja. Alhasil, dia mengambil jarak untuk kemudian dia letakkan di tengah-tengah antara engkau dan dirinya sekarang. Kau benar-benar kikuk."

"Mau bagaimana lagi? Aku terkejut melihat betapa berbeda engkau dan dirinya. Mendadak, sesekali dia melakukan hal-hal yang seolah-olah dia adalah benar-benar dirimu. Semua membingungkan. Tak ada kesempatan bagiku untuk berpikir dan menghalau kalimat-kalimat aneh keluar," jawabku, meski ini bukanlah hal yang penting untuk dia ketahui.

Suara berisik bergaung di ruangan sempit penuh rak-rak buku itu saat Liya membalik halaman demi halaman sebuah buku cerita di tangannya dengan tak sabar. Meski berlembar-lembar halaman telah dia sibak dengan teliti, tetapi gadis bersurai cokelat tersebut tak kunjung menemukan kelanjutan tulisan yang sepuluh menit lalu tengah dia baca.

"Apa mungkin kelanjutannya sudah sobek?" gumamnya pelan.

Namun, Liya tidak menemukan bekas sobekan atau apa pun. Seolah-olah, kelanjutan cerita itu memang terputus begitu saja.

"Sayang sekali, padahal lumayan bag─astaga!"

Liya menjejalkan buku tebal dan rapuh itu secara asal di rak terdekat saat suara langkah kaki yang berat terdengar mendekat. Dia menyembunyikan diri dengan masuk ke dalam keranjang rotan di sudut ruangan, lalu mengawasi sosok Paman Arjuna dari celah motif anyaman yang sudah renggang.

Paman Arjuna─lelaki berusia tiga puluh yang entah mengapa hingga saat ini menolak untuk menikah─bergerak pelan menuju rak buku di samping kanannya setelah melihat buku cerita kumal yang diletakkan secara sembarangan. Lelaki itu menghela napas panjang, lantas duduk di samping keranjang rotan tempat Liya bersembunyi.

"Keluarlah, Liya. Paman tahu kau kabur ke sini, padahal ibumu sudah menyuruhmu membantu Wiya membuat kue untuk seserahan," katanya.

Liya berpikir sebentar, lantas langsung berdiri dari dalam keranjang rotan, membuat Paman Arjuna terkejut bukan main hingga hampir menyumpah. Tutup keranjang itu nangkring di atas kepala Liya seperti aksesoris kebesaran yang aneh.

Sambil memegangi dada dengan dramatis, Paman Arjuna mengomel cepat, "Jantung Paman hampir copot, tahu! Kau beruntung kutukanku tidak jadi terapalkan dengan benar! Bisa-bisa tubuhmu sekarang sudah berubah jadi tikus sawah!"

Menanggapi Paman Arjuna yang sangat kesal setelah dikagetkan, Liya cekikikan. Gadis itu keluar dari dalam keranjang dengan kehati-hatian yang berlebihan.

"Maaf, Paman. Jangan ubah aku jadi tikus sawah, dong, aku minta diubah jadi orang kaya saja," ujar Liya tanpa rasa bersalah. "Oh, iya, ngomong-ngomong aku mau protes sama Paman, soalnya ada sebuah cerita yang baru saja aku baca dan kelanjutannya tidak ada."

Kening Paman Arjuna berkerut. "Buku apa?"

"Ini." Liya mengambil buku cerita jelek yang tadi dia baca sebelum Paman Arjuna masuk.

"Buku itu tidak ada kelanjutannya, jadi jangan dicari lagi," ucap Paman Arjuna, lekas-lekas merebut buku cerita itu dari tangan Liya.

Liya tidak terima. "Bohong, tuh! Itu tulisan Paman, 'kan? Siapa memangnya Wulan Gusti? Pacar Paman?"

Paman Arjuna menggeleng. "Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Sana, bantu Wiya di dapur. Kalau masih main-main di ruang baca, Paman adukan kau kepada ibumu."

"Ck, dasar tukang adu!" gerutu Liya. Gadis itu sangat enggan berurusan dengan dapur kalau bukan waktunya makan saja, tetapi di bawah tekanan sang paman, dia toh secara patuh segera meninggalkan ruang baca.

"Liya," panggil Paman Arjuna saat Liya sampai di daun pintu.

Liya menoleh, bibirnya mengerucut karena cemberut.

Paman Arjuna tersenyum. "Kapan kau berangkat ke sekolah? Bukankah liburan semestermu sudah hampir selesai?"

"Ke Camaraderie? Akhir pekan ini Liya berangkat."

"Sebelum kau berangkat," ucap paman Arjuna, "buku cerita ini sudah selesai dan bisa kau bawa."

Paman Arjuna meraih sebuah bolpoin khusus dari meja, lalu membalikkan badan sehingga tidak sempat melihat senyum Liya. Sementara sang paman menggoreskan beberapa kata untuk menyelesaikan cerita, gadis manis berlesung pipi tersebut melangkah keluar dari ruang baca dengan hati gembira.

Tinggal sejengkal sudah jarakku dengan keputusasaan, saat kuputuskan untuk memotong rantai yang telah mengikat kami berdua selama ini. Percakapan terakhirku dengan Wulan Gusti lama-lama terkikis Badai bersama sekumpulan Awan abu-abu, menyingkirkan Kebiruan langit dengan membawa seluruh rasa rindu.

Entah sudah berapa lama, aku tak pernah tahu. Sabit, purnama, mati, dan sekali gerhana telah menyela-menyelai hari itu hingga saat ini.

Selesai.[]

avataravatar
Next chapter