webnovel

Tiket Bulan Madu

Lisa, Bram dan Stevi saling melempar pandang. Wajah ketiganya sama-sama pucat.

"Siapa itu, Sayang?" tanya Stevi dengan suara bergetar.

Bram membelai rambut cokelat kekasihnya dengan lembut. "Aku tidak tahu. Tapi kau tenang saja. Aku akan melindungimu dari siapa pun orang yang ada di luar sana."

Sebenarnya Lisa ingin meratapi nasib ngenesnya dulu. Namun, gedoran di luar sana terdengar semakin nyaring. Samar-samar ia pun mendengar kalimat salam yang diucapkan berkali-kali.

Bram memberi isyarat agar Lisa segera mengintip siapa yang datang melalui jendela.

"Kalau itu orang tuamu atau orang tuaku, kau langsung telepon aku!"

Lisa mengangguk paham.

Jarak dari ruang TV ke ruang tamu terpaut sekitar sepuluh meter. Tidak butuh waktu lama bagi Lisa sampai ia mengetahui jawaban dari firasatnya sendiri.

Dan memang benar. Dua orang manusia di depan sana memanglah sang mertua alias orang tua Bram.

Sesuai instruksi Bram, Lisa langsung menghubungi nomor suaminya itu.

Bram mengangkat telepon Lisa pada dering pertama, membuat Lisa sedikit takjub. Ternyata sebesar ini efek dari rasa takut. Sampai-sampai, Bram yang 'anti' berkomunikasi via telepon dengan Lisa pun, mau melanggar komitmennya sendiri. Meski, ya ... semua karena Stevi.

"Siapa?"

Lisa bengong sejenak. Dia kira, Bram bertanya siapa Lisa. Untunglah tak lama kemudian dia mengerti maksud pertanyaan Bram.

"Mama dan Papa."

Mama dan Papa adalah panggilan untuk orang tua Bram. Sementara untuk orang tuanya sendiri, Lisa terbiasa menggunakan panggilan ayah dan ibu. Begitu pula Bram.

"Ulur waktu sebentar. Aku akan membantu Stevi bersembunyi dulu," ujar Bram. "Kalau sampai mereka tahu ada Stevi di sini, kuhabisi kau!"

Glek!

Lisa menelan ludah susah payah.

'Habis, katanya? Apakah dia akan membunuhku kali ini?'

"B-baik, Ma ... eh, Pak Bram maksud saya."

Sambungan terputus tanpa tanggapan apa pun dari Bram. Tapi tak apa. Tidak penting juga mau direspons atau tidak.

"Assalamualaikum!" Seruan dari luar makin terdengar tak sabar. "Bram! Lisa! Kalian ada di dalam, kan?"

'Apa yang harus kulakukan pertama-tama?' batin Lisa gusar.

'Apakah aku harus berteriak sambil berakting seolah aku baru mengetahui kedatangan mereka, atau langsung buka pintu saja, ya?'

Ketika otak Lisa masih berputar, tak sengaja ia mendengar percakapan mertuanya di luar.

"Pa, apa mereka masih tidur, ya?" Suara Mama.

"Bukankah sekarang sudah sangat siang?" Papa menanggapi dengan ragu. "Setahu Papa, Lisa itu anaknya rajin. Jadi, tidak mungkin sesiang ini dia masih tidur."

"Iya, sih. Biasanya dia sudah sibuk di dapur sedari pagi. Kemudian dilanjut membersihkan rumah. Dia memang rajin."

"Iya, Ma. Beruntungnya anak kita memiliki istri seperti Lisa."

Hati Lisa melambung mendengar pujian dari papa dan mama mertuanya itu. Ternyata, demikianlah sosok Lisa di mata mereka.

Hanya saja, ia sedikit terusik pada pendapat mereka mengenai keberuntungan Bram dalam mendapatkan Lisa. Faktanya, sejak dulu hingga detik ini, Bram tidak pernah merasa beruntung memperistri seorang Lisa Rahardian.

"Sebenarnya ke mana mereka?" Mama bertanya-tanya. "Bukankah tadi kata sekretarisnya Bram mengambil cuti selama satu minggu?"

Bola mata Lisa membelalak sempurna. Jadi, Bram sengaja mengambil cuti satu minggu penuh demi bisa leluasa berpacaran dengan Stevi?!

Gila. Bram memang gila. Sepertinya hati Bram sudah dikuasai setan.

"Entahlah, Ma."

"Dari tadi ditelepon juga tidak diangkat."

"Siapa? Lisa atau Bram?"

"Dua-duanya."

Lisa refleks memeriksa ponselnya. Dan benar, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mama.

"Mungkin mereka sedang ke luar, Ma."

"Tapi mobil Bram ada. Mustahil mereka bepergian dengan kendaraan umum."

"Benar juga. Coba, ketuk sekali lagi. Mana tahu mereka beneran belum bangun."

Rasa panik melanda Lisa seketika. Cepat-cepat dia mengacak rambutnya seakan baru bangun tidur. Dengan begitu, dia jadi punya alibi mengapa bisa lama sekali membukakan pintu.

"Assalamualaikum!" seru Mama sambil kembali menggedor pintu. "Lisa! Bram! Apa kalian ada di rumah?"

Lisa berlari menjauh dari pintu, kemudian berteriak. "Waalaikumsalam! Tunggu sebentar, Ma."

Sempurna. Acting Lisa benar-benar menakjubkan. Tinggal satu langkah lagi, maka ia bisa segera meraih oscar.

Sambil berdoa dalam hati, Lisa mulai memutar kunci perlahan.

'Semoga mereka tidak menaruh curiga apa pun.' Demikian isi doa Lisa.

"Ya ampun!" Lisa pura-pura terkejut. "Selamat datang, Ma, Pa. Silakan masuk. Apakah Mama dan Papa menunggu lama? Maaf sekali, ya. Hari ini Lisa terlambat bangun."

Mama dan Papa saling pandang sejenak, kemudian masuk ke rumah, diikuti Lisa dari belakang.

"Silakan duduk," kata Lisa lagi, menunjuk sofa dengan kedua tangan. "Mama dan Papa mau minum apa?"

Mereka menggeleng kompak. "Ah, tidak usah. Kami masih kenyang. Tadi habis makan di luar. Minumnya banyak."

Lisa manggut-manggut salah tingkah. "M ... baiklah kalau begitu, Ma, Pa."

Mama celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. "Oh, ya, Lisa. Di mana Bram?"

Sekali lagi, rasa panik mendera Lisa seketika.

'Aduh! Mas Bram sudah selesai belum, ya?'

"Kamu kenapa, Lisa?"

Lisa tersadar kembali. "Oh, iya. Mas Bram, ya? Ada ... ada. Mas Bram ada, kok. M ... tunggu sebentar, ya. Biar Lisa panggilkan dulu."

Dalam hati Lisa merutuk diri sendiri yang tidak bisa mengendalikan rasa panik. Kalau terus begini, bisa-bisa Mama dan Papa curiga ada sesuatu yang disembunyikan.

"Duh, Mas Bram ada di mana, ya?" tanya Lisa setelah tidak berhasil menemukan sang suami di kamar pribadinya.

Lisa mencoba peruntungan dengan menelepon Bram sekali lagi. Mana tahu dia masih mau mengangkat. Bagaimanapun, Bram harus hadir di antara Lisa dan kedua orang tua Bram sendiri.

"Kenapa? Mereka mencariku?"

Lagi-lagi Bram tidak pakai basa-basi, membuat Lisa lemot mendadak.

"Iya, Mas."

"Kau tunggu di dekat ruang TV. Kita akan menghampiri Mama dan Papa bersama-sama."

Sambungan terputus.

Menghampiri bersama-sama ....

Haha. Bukankah Lisa dan Bram sudah seperti sepasang suami-istri yang berbahagia sekarang?

Benar. Bram memang paling pandai bersandiwara. Sepertinya, dia lebih layak mendapatkan OSCAR mengingat akting Lisa sudah gagal total tadi.

Bram muncul di tempat yang tadi telah disepakati bersama. Tanpa mengucap sepatah kata pun, ia meraih tangan Lisa, lalu menggenggamnya erat.

Hati Lisa tetap menghangat meski ia tahu ini hanyalah sebagian dari sandiwara yang akan segera mereka jalani.

Senyum semringah Mama dan Papa menyambut kehadiran anak dan menantunya. Tentu mereka bahagia melihat sepasang pengantin lawas itu tetap nampak romantis seperti dulu.

"Ma, Pa, apa kabar?" sapa Bram sambil menyalami orang tuanya satu-persatu.

"Sangat baik," jawab Mama dengan senyuman yang makin lebar. "Apalagi melihat kalian berdua tetap harmonis seperti ini."

Lisa dan Bram saling bertatapan mesra. Kali ini Bram merangkul bahu istrinya dengan lembut.

"Kami kan, memang selalu harmonis," kata Bram. "Iya kan, Sayang?"

Lisa nyaris menjerit karena Bram mengakhiri ucapan tadi dengan cubitan kecil di lengan atasnya. "I-iya, Sayang."

"Dari tadi kalian berdiri terus. Duduk, dong."

"Ah iya, benar."

Lisa dan Bram pun duduk berseberangan dengan Mama dan Papa.

"M ... Mama dan Papa sengaja datang ke sini atau sekalian mampir saja?" tanya Bram mengawali pembicaraan. Dia ingin pertemuan dadakan ini berakhir secepat mungkin. Karena jujur, Mama dan Papa bukanlah tamu yang Bram harapkan kehadirannya.

Mama dan Papa kembali saling melempar pandang. Sepertinya Mama mempersilakan Papa mengambil bagian untuk berbicara.

"Baiklah, Papa langsung ke inti saja, ya."

"Silakan, Pa."

Papa merogoh sesuatu dari saku jasnya. Sesuatu berbahan kertas dan berbentuk persegi panjang. Ia meletakkan benda tersebut di atas meja. Mendorongnya lebih dekat ke arah Lisa serta Bram.

"Kami sudah membelikan kalian tiket untuk bulan madu ke luar negeri."

Next chapter