webnovel

Not an Ordinary Woman

Tubuh William memanas. Entah apakah karena hasrat untuk makan ataukah karena keinginan lain yang telah ia bendung sekian lama.

Nyatanya William bukanlah lycan yang memiliki banyak pasangan. Ia tak pernah melakukan hal itu dengan wanita lain. Anggap saja, baik Marion maupun dirinya sama-sama mendapat keuntungan karena menjadi orang pertama yang menikmati satu sama lain.

Namun, kali ini hasrat itu surut seketika tatkala manik yang telah berubah keemasan itu tertumbuk pada goresan lain di dada Marion, yang letaknya dekat dengan lengan.

Oh, jadi itu sebabnya Marion harus membuka kancing baju dan sedikit menurunkan kemejanya. Hanya sekedar menunjukkan apa yang ingin diketahui oleh pria itu, bukan untuk hal lain. Meski kenyataannya dalam tubuh keduanya telah bergelegak hormon yang sedikit lebih sulit untuk dijinakkan. Terlebih dalam kondisi seperti ini.

"A-apakah kau pernah melihat hal seperti ini, Pak?" tanya Marion, sembari membenahi pakaiannya. "Tak ada yang bisa memberi jawaban atas pertanyaanku."

William terdiam dengan tatapan horor, memikirkan dan menelaah apa yang baru saja ia lihat. Apakah benar ia telah melakukan itu pada Marion kala itu? Apakah itu yang dinamakan tanda? Apakah ini berarti Marion sudah menjadi miliknya?

"Tuan, Reynz?!" panggil Marion, yang membuat William tersadar dari lamunannya sesaat.

"Ah, iya, maafkan aku. Apa yang kau tanyakan tadi?"

"Goresan ini ... apakah kau pernah melihatnya? Apakah ini pertanda atas sesuatu, ataukah ...."

"Siapa saja yang sudah mengetahui tentang goresan di tubuhmu?" tanya William, tanpa memberi jawaban atas apa yang ditanyakan Marion sejak tadi.

Marion menggeleng. "Hanya kau dan Shana yang mengetahuinya."

Jawaban polos Marion membuat William semakin didera tanya dan gundah. Benarkah begitu mengerikan tanda yang ia berikan pada seorang jodoh yang telah menyatu dengannya? Tak bisakah tanda itu dalam bentuk yang indah agar bisa selalu dikenang oleh Marion bukan malah menimbulkan tanya?

William lalu bergegas bangkit. Ia mengambil sweaternya lalu menarik jemari Marion dan menyeretnya dengan tergesa menuju tempat di mana ia memarkir mobilnya. William membuka pintu mobil untuk Marion dan mendorongnya masuk yang kemudian disusul olehnya, duduk di depan kemudi.

"K-kita mau ke mana, Pak?" tanya Marion, ketakutan. Bayangan kejadian di mana ia berada satu mobil dengan William dan berakhir di hutan pinus, kembali berkelebatan di rongga kepala gadis itu.

Ia sungguh takut jika William kembali mengulangi apa yang ia perbuat kala itu.

Meski Marion masih tak begitu yakin bahwa itu adalah perbuatan William, tetapi siapa lagi? Karena pria itu adalah orang terakhir yang berada bersamanya dan menggendongnya keluar dari mobil.

Sekali selamat dari kejadian itu, tak menjamin ia akan selamat untuk kedua kalinya.

"Tuan Reynz! Jika kau memiliki tujuan jahat, kumohon urungkan niatmu. Aku takut ... kumohon lepaskan aku. Aku berjanji tak akan menunjukkan tanda ini pada siapa pun, jika itu yang membuatmu bersikap seperti ini. Pak Reynz—"

"Bisakah kau diam, Marion!? Diam dan jangan banyak bicara!" sentak pria itu, yang seketika membuat Marion patuh akan perintah yang baru saja dilontarkan secara tajam oleh William.

William mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang tidak pernah dibayangkan oleh Marion. Ia merasa telah berjalan jauh dari perumahan tempat kediaman pria itu, tetapi sesungguhnya mereka hanya berputar-putar. William tak ingin Marion menyadari bahwa lingkungan yang ia datangi adalah seperti sebuah lingkungan kerajaan yang berisi rakyat dan pemerintahan atas suatu kaum.

Para kaum lycan, yang tentu saja tidak masuk akal bagi manusia biasa seperti Marion.

William kemudian menghentikan laju mobil di depan sebuah bangunan yang tak kalah megah, tetapi dengan desain kuno yang bisa jadi menggambarkan kepribadian pemiliknya. Seorang wanita paruh baya telah berdiri di depan pintu, seolah tahu sejak awal bahwa William tengah menuju kediamannya.

Pria itu kini tidak mengangkat Marion seperti yang ia lakukan di hutan. Kali ini William bersikap lembut pada Marion, jika tidak, Ange mungkin akan menjewer telinganya dan tak akan pernah mau membantunya lagi.

"T-tempat apa ini, Pak?" tanya Marion lagi. William terus terang mulai lelah mendengar pertanyaan yang tak henti meluncur dari bibir Marion. Hanya saja, rasanya wajar jika gadis itu sedikit bersikap waspada, karena sebelumnya ia telah mengalami hal mengerikan saat bersama William. Gadis itu nyaris mati, bukan?

"Keluarlah. Ikuti aku dan jangan banyak bertanya. Orang-orang di sini tidak suka mendengar pertanyaan dan suara berisik."

"Maksudmu aku berisik?" sergah Marion sembari mencebik. Sementara itu, William yang tak pedulikan kalimat Marion, telah berjalan lebih dulu dan langsung disambut pelukan hangat oleh Ange.

"Akhirnya ia datang menemuimu."

"Kau yang telah mengaturnya, bukan? Kau memanfaatkan Leah untuk membuatnya datang. Ange, apa kau sudah gila!? Gadis itu bisa jadi bulan-bulanan para kelompok liar jika saja ini malam sialnya!"

"Nyatanya tidak, kan? Nyatanya ia selamat hingga tiba di rumahmu, bukan? Kau tak perlu mencemaskan bagaimana caraku bekerja, anak muda! Aku jauh lebih pintar dibanding kau, yang meninggalkan bekas semacam itu di tubuh gadis yang kau tiduri, lalu ingin kau mangsa. Andai aku tidak mengatakan padamu bahwa ia adalah jodoh abadimu, maka kau akan selamanya hidup sebagai lycan yang kesepian." Ange membalas omelan William sembari berjalan melewati tubuh tegap—yang semula menghadangnya—demi menyambut Marion.

"Halo, sayang ... namaku Ange, aku adalah ibu angkat dari anak bandel ini. Siapa namamu, hm?" tanya Ange, sembari membelai rambut Marion.

Mata Ange terpejam, seolah merasakan energi yang ada di tubuh Marion.

Rambut kecoklatan, bola mata sewarna kacang pistacio, postur dan aroma tubuh yang jelas dikenali oleh Ange yang lebih dulu mendapat pengetahuan dari sang dewi mengenai seperti apa jodoh para lycan. Termasuk William.

"N-namaku Marion. M-maaf, Nyonya. Aku tidak tahu mengapa Tuan Reynz membawaku kemari."

Ange mengibaskan tangannya. "Tak usah menanggapi pria itu, Marion. Ia terkadang melakukan segala hal yang membuatnya senang. Untuk kali ini, mungkin tujuannya adalah untuk menyembuhkan goresan yang ada di tubuhmu."

"B-bagaimana kau—"

"Barusan ia mengatakannya padaku. Sekarang, ayo masuklah. Aku akan membuatkanmu minuman ramuanku. Kau pasti akan menyukainya."

Kedua perempuan berbeda generasi itu masuk ke dalam sembari berbincang. Melewati William yang masih mematung di luar, bahkan tak mempersilakannya masuk.

"Sialan!" umpat William, yang pada akhirnya menyusul langkah keduanya.

Di dalam, Ange menyajikan minuman yang ia janjikan pada Marion. Ramuan yang sesungguhnya ia siapkan khusus untuk gadis itu.

"Apa yang kau berikan padanya, Ange?!" desis William, setengah berbisik. "Jangan memberinya ramuan yang tidak-tidak! Aku sedang tak ingin—"

Kalimat William terhenti saat tangan Ange menepuk pelipis William yang membuatnya memekik kesakitan.

"Otakmu itu butuh dicuci! Memangnya apa yang kuberikan padanya? Bukan obat perangsang seperti yang kau pikirkan, dasar kau mesum! Kau terlalu lama bergaul dengan kelelawar sinting itu hingga tertular virusnya! Ramuan itu adalah untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang tubuhnya selama beberapa waktu belakangan. Kau tidak tahu itu, kan?"

William menggeleng.

"Tentu saja. Kau, kan, bukan siapa-siapa baginya. Ia tentu tak akan menceritakan apa yang ia rasakan."

Kalimat Ange sontak membuat William kembali melontarkan umpatan. Sementara Ange kembali disibukkan dengan Marion yang masih menikmati minumannya, sembari sesekali bergumam nikmat.

"Kau diamlah di sini. Aku akan membuatkan ramuan untuk mengobati lukamu." Ange kemudian bangkit setelah meminta Marion menunggu.

Tak berapa lama, Ange kembali dengan membawa sebuah wadah berisi sesuatu yang berbentuk lumatan, sepertinya dedaunan dicampur beberapa rempah lain. Tanpa banyak bicara, Ange kemudian meminta Marion menunjukkan bekas goresan di tubuhnya yang segera diolesi ramuan tersebut.

Ange kembali memejamkan mata, hanya beberapa detik, kemudian terbuka kembali dan ia langsung menoleh pada William yang masih menunggu ucapan tetuanya itu.

Wanita paruh baya itu bangkit, berjalan menuju ke arah William yang kini tengah berdiri memandang ke luar pintu. Ia berbalik saat Ange menyentuh pundaknya.

"Kenapa wajahmu seperti itu? Apakah ada masalah?"

"Bekas itu tak bisa hilang. Meski aku berharap itu merupakan sebuah tanda yang otomatis kau tinggalkan padanya, tetapi ternyata bukan. Kau tetap harus menandainya, karena ia bukan wanita biasa," ucap Ange dengan raut yang tak bisa diterjemahkan oleh William.

"A-apa maksudnya?"

"Ia tak hanya bisa dimiliki olehmu atau lycan lain, melainkan juga oleh kelompok berkulit pucat."

Next chapter