16 LOVE OR LOVE

Aska memegang pistolnya dengan harapannya yang telah musnah, tidak ada lagi jalan keluar selain hanya dengan kematiannya.

Aska menatap Karin dengan mata yang putus asa. Hati Karin menegang melihat Aska seperti kehilangan kesadarannya.

Aska mengangkat pistolnya tepat di mata Karin.

"Lihat baik-baik, pistol ini ada pelurunya, dan aku tidak bercanda dengan kematian." Aska mengeluarkan peluru dari pistolnya dan memasukkannya kembali tepat di mata Karin. "Jika kamu marah padaku, bahkan membenciku, dan tetap bersikeras meninggalkanku, kamu bisa membunuhku sekarang, karena jika aku masih hidup aku tidak akan pernah membiarkan kamu pergi." Aska meletakkan pistolnya ke telapak tangan Karin.

Karin diam terpaku, matanya menatap pistol yang sekarang berada dalam genggamannya. Tangannya gemetar, tubuhnya terasa kaku dan tak mampu untuk bergerak. Bibirnya terasa keluh untuk bersuara. Ketakutan mulai menyergapnya, baru kali ini Karin tahu, di balik sikap manis Aska ternyata tersimpan hati yang begitu sangat keras.

"Dan apa ini sebuah pistol? kenapa Aska sampai ada menyimpan pistol di mobilnya? apakah dunia Aska sangat berbahaya?" rasa ketakutannya semakin menelan jiwa Karin.

"Kenapa diam! cepat lakukan, agar kamu bisa keluar dari sini." perintah Aska.

Karin memejamkan matanya berlahan, tangannya bergetar hebat, ingin sekali Karin menarik pelatuknya agar dia bisa pergi jauh dari kehidupan Aska, yang telah tega menyakiti hatinya dengan menyimpan suatu kebohongan.

Hati Karin sungguh sangat terluka, Namun ada perasaan yang lebih besar dari semua itu, dan sungguh Karin tidak tahu apa itu.

"Kenapa tidak cepat kamu lakukan, aku sudah siap untuk mati." Suara Aska terasa berat terdengar. Ada kesedihan di sana, ada keputusasaan di matanya.

Hati Karin melemah, tangannya terasa lemas untuk menekan pelatuknya. Wajah Karin tertunduk,

"Aku tidak bisa melakukannya, aku bukan seorang pembunuh, biarkan aku pergi sekarang aku sudah lelah dengan hubungan pura-pura ini." lirih Karin menahan tangis, di letakkannya pistolnya di paha Aska.

"Kamu tidak perlu kuatir, aku akan membuat surat pesan dariku, bahwa aku yang menginginkan ini." dengan suaranya yang dingin, Aska mengeluarkan notebook yang di dalam lacinya, kemudian Aska menyobek selembar, dan segera menulis sesuatu dengan cepat, bahkan Aska juga menandatangani pesan surat tersebut.

Hati Karin semakin menciut dengan sikap Aska yang begitu menginginkan kematiannya.

"Sekarang lakukan, pesanku sudah aku tulis." Aska menyerahkan kembali pistolnya ke tangan Karin.

Karin mengibaskan tangan Aska dengan keras. Hingga pistol itu hampir lepas dari tangan Aska.

"Apa kamu sudah gila haahh!" teriak Karin dengan pikiran yang berkecamuk, antara ketakutan dan kemarahan.

"Yah! aku sudah gila! karena aku sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya agar kamu mau mendengarkanku dan tidak meninggalkanku!" jawab Aska dengan suara tercekat. Matanya nampak berkabut, dengan wajahnya yang semakin pucat.

"Aku mohon Ka, biarkan aku pergi. Kamu bisa memulai hidupmu dengan sonya tunanganmu, seperti saat kamu belum mengenalku." isak Karin, sudah cukup Karin menahan sakitnya,

"Baiklah, jika ini yang kamu pilih. Kamu masih ingin pergi meninggalkanku kan? kamu bisa pergi, dan mengambil kuncinya dalam kantongku ini, tapi sebelum itu aku akan menepati janjiku." Aska berlahan mengambil pistol yang di pahanya, Aska mengangkat pistol yang di genggamnya, ujung pistol di tempelkannya tepat di samping kepalanya. Mata Aska terpejam, berakhir sudah rasa cinta dan rindunya yang baru saja di rasakannya.

"Aku mencintaimu Karin, selamat tinggal." lirih suara Aska. Jari Aska berlahan menarik pelatuk pistolnya dan akan melepasnya.

Namun saat jari Aska melepas pelatuknya Karin mendorong tubuh Aska dengan keras, hingga tangan Aska oleng dan letusan pun terdengar dengan peluru yang mengenai kaca depan mobil.

Karin terjatuh dalam pelukan Aska, airmatanya tumpah, ketakutannya benar-benar berada di puncaknya.

Dia tidak mampu melihat kematian Aska, walaupun hatinya telah terluka.

Karin menangis di dada Aska, Hati Aska seakan menyatu dan menemukan kesadarannya, Karin tidak menginginkan kematiannya. Aska membiarkan Karin yang memeluknya dengan erat.

"Kenapa kamu mendorongku? Seharusnya biarkan aku mati, karena selama aku hidup aku tidak akan membiarkanmu pergi." dengan mata yang dingin, Aska menatap mata Karin menuntut jawaban.

Karin menundukkan wajahnya, tidak mampu menjawab pertanyaan Aska, yang dirinya sendiri juga tidak tahu, kenapa dia tidak ingin melihat Aska mati.

"Aku mohon, biarkan aku keluar sekarang, aku ingin istirahat selesaikan masalahmu dengan Sonya." jawab Karin lirih.

Aska menatap Karin dengan pikiran yang tak yakin.

"Apakah itu berarti, kamu tidak akan pergi? tidak akan meninggalkanku?" cecar Aska.

"Untuk hari ini tidak, tidak tahu besok! lebih baik kamu selesaikan masalahmu dengan Sonya secepatnya, aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian." jawab Karin lagi.

"Aku memberimu waktu seminggu untuk menyelesaikannya." lanjut Karin.

Dengan perasaan bahagia yang meluap Aska memeluk tubuh Karin erat.

"Trimakasih Rin, aku akan secepatnya menyelesaikan masalah ini." ucap Aska tanpa melepaskan pelukannya.

"Lepaskan pelukanmu, aku melakukan ini bukan berati aku memaafkan mu. Aku masih marah padamu! ingat itu!" kecam Karin, dengan melepas kasar pelukan Aska.

Aska terpekur sejenak, memikirkan bagaimana caranya agar Karin tidak lagi marah padanya.

"Kamu tidak perlu berpikir yang lainnya, selesaikan saja masalahmu dengan Sonya! dan kamu juga harus menceritakan bagaimana sampai kamu punya pistol di mobilmu!" Karin mengulurkan tangannya meminta kunci mobil.

Aska mengambil kunci mobil dalam kantongnya dan di berikan pada Karin. Bergegas Karin membuka pintu mobil dan keluar secepatnya meninggalkan Aska yang masih termenung mencari jalan keluar dengan waktu hanya satu minggu untuk menyelesaikan masalahnya.

Baru beberapa langkah Karin mengingat sesuatu, dengan setengah hati, Karin berbalik ke mobil di mana Aska masih termenung. Kepala Karin melongok masuk.

"Kamu kenapa tidak turun? cepat turun sekarang! segera isi perutmu, dan minum obat yang dari Dokter Heru."

Aska mendongak, menatap Karin dengan perasaan yang tiba-tiba penuh semangat , perasaan hatinya mulai berkembang kembali dengan perhatian Karin yang tak berkurang sedikitpun walau dalam keadaan marah. Aska dengan cepat turun mengikuti Karin di belakangnya.

Di ruang tengah Karin naik ke atas ke kamarnya, sedangkan Aska belok ke arah dapur untuk mengisi perutnya yang merasa lapar.

Karin memasuki kamarnya dengan hati yang masih gelisah. hidupnya menjadi sangat rumit sejak dia mengenal Aska. Serasa dirinya di ciptakan hanya untuk di samping Aska. Tak bisa menjauh apalagi melepaskan diri.

"Sonya adalah tunangan Aska, sedangkan dirinya bukanlah siapa-siapanya Aska. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah Sonya dan orang tua Aska tahu dengan penyakit Leukemia yang di derita Aska? apakah mereka tahu jika hidup Aska di perkirakan tidak akan lama lagi?"

Karin mengambil nafas panjang, kepalanya terasa mau pecah.

"Dan aku sendiri...ada apa dengan hatiku? kenapa aku tidak bisa melihat dia terluka walau sedikit saja? Aska, apa yang telah kau perbuat dengan hatiku? kenapa aku sangat marah dan merasa sangat terluka saat tahu kamu telah bertunangan?" Karin memegang dadanya, dengan menatap langit-langit kamarnya dengan seribu pertanyaan di hatinya.

avataravatar
Next chapter