24 Fake Wedding: 20-Sincerity

Hagatnya mentari dan terpaan lembut angin membuatku ingin sekali memejamkan mata untuk lebih bisa menikmati setiap kehagatan dan kesejukan yang bercampur menjadi satu.

Terutama rerumputan yang secara perlahan menusuk telapak kakiku lembut. Banyak orang yang menganjurkan agar seorang ibu hamil ada baiknya lebih banyak menghabiskan waktu diluar seperti saat ini.

Kurasa semua saran yang kudengar dari radio di ponselku ada benarnya. Karena sekarang suasana hatiku menjadi sangat baik. Aku bahkan lebih banyak tersenyum sekarang. Dan rasanya semua beban berat yang ada didalam diriku berangsur hilang.

Stres sangat tidak baik bagi kesehatan anakku yang sampai saat ini tak kuketahuih jenis kelaminya. Bukan karena aku tak penasaran, tapi karena aku yang belum sempat untuk pergi ke rumah sakit.

Tapi sebenarnya aku tak terlalu memikirkan tentang jenis kelamin anakku ini. Karena apapun jenis kelamin anakku aku pasti akan sangat menyanyanginya. Karena malaikat kecil yang ada diperutku ini akan menjadi satu-satunya nyawa dan harapan bagiku untuk hidup.

Kuhelus lembut perut buncitku seraya tersenyum merasakan ada tendangan kecil dari dalam sana. Kupandangi pemandangan sekitar taman komplek ini. Cukup sepi mengigat jika yang tinggal disini kebanyakan hanyalah para pengusaha mudah.

Jadi wajar jika aku merasa kesepian di taman ini. Jujur aku ingin sekali pergi ke Childerns Grand Park melakukan piknik disana sambil menikmati indanya bunga sakura yang saat ini sedang bermekaran berhubung di Seoul sudah musim semi maka itu wajar jika bunga sakura tumbuh di beberapa taman di Seoul.

Tapi Jimin selalu saja melarangku untuk pergi jauh jika tak ada dirinya. Bahkan sekarang hanya untuk ketaman yang jaraknya tidak terlalu jauh saja Jimin selalu meminta agar Pak Han mengantarku dengan mobil.

Aku merasa kasihan pada Pak Han yang selalu saja menungguku di ujung tempat parkir sedangkan aku duduk santai disini. Tapi mau bagaimana lagi aku harus membuat bayi dalam perutku merasa nyaman.

Lagi-lagi aku melamun di taman ini. Entahlah aku sendiri tak tauh apa yang sedang kulamuni sekarang. Mungkin hal-hal sederhana seperti bagaimana menjadi orang tua tunggal yang baik untuk anakku nanti.

Atau seperti hal-hal mengenai bagaimana caranya mengendong bayi, membuat susu atau menganti popok misalnya. Aku harap aku bisa menjadi ibu sekaligus ayah yang baik untuk anakku nanti.

"Ibu pasti akan menjagamu dengan baik sayang"

Ucapku pada perut buncitku yang sudah cukup besar.

Entah kenapa kedatangan Jimin secara tiba-tiba ditaman ini membuat hatiku terasa menjadi sangat sesak. Kulihat sosok Jimin sedang berjalan dari tempat parkir yang letaknya berada di sebrang taman ini menuju kearahku.

Kupengangi dadaku yang lagi-lagi terasa sesak dan begitu sakit. Aku juga tak mengerti dengan jantungku, karena setiap kali aku mihat Jimin maka jantungku tidak bukan hanya jantung tapi sesuatu di dalam hatiku begitu sakit dan sangat nyeri.

"Apa kau baik-baik saja?"

Tanya Jimin dengan nada kahwatir sambil sedikit berlari kearahku saat melihat aku yang sedari tadi memukul pelan dadaku agar rasa sakit dan nyeri itu hilang.

Jimin kini mengengam tanganku erat dan memintaku untuk tak lagi memukul dadaku. Kurasakan dadaku kembali terasa sakit dan sesak. Aku tak tauh penyebabnya tapi yang pasti rasa sakit dan nyeri ini terus saja berangsur datang seiring Jimin disisiku.

"Kita harus kedokter untuk memeriksa kondisimu dan juga anak kita"

Ucap Jimin perlahan sambil berusaha membantuku berdiri.

Aku dengan sopan menepis tangan Jimin itu. Kurasa harus ada batasan antara diriku dan Jimin. Agar kelak ketika kami berpisah nanti tak akan ada rasa sakit yang terlalu mendalam.

"Kau akan terjatuh jika tidak kutuntun"

Ucap Jimin lagi seraya mengapai tubuhku yang sudah berjalan 3 langkah menjauh dari Jimin.

Dan kalimat Jimin itu benar, hampir saja aku tersandung salah satu batu yang ada di taman ini. Jika saja Jimin tak singap menangkap tubuhku sudah dapat dipastikan bahwa aku akan terjatuh di rerumputan ini dan hal buruk pasti akan terjadi pada kandunganku.

Kini aku pasrah saat Jimin menuntun langkahku perlahan menuju kearah tempat mobil Jimin terparkir. Tak ada pembicaraan yang berarti saat aku dan Jimin berjalan menuju tempat parkir. Hanya pertayaan yang selalu Jimin tanyakan disetiap harinya dan itu mengenai kondisi bayiku.

Sepanjang jalan menuju rumah sakit, aku hanya memandang kearah jendela sambil menikmati pemandangan indah yang terbentang sepanjang perjalanan ini. Tidak butuh waktu lama karena setelah 30 menit lebih aku dan Jimin sampai di tempar parkiran rumah sakit.

Jimin buru-buru membuka pintu  mobil di sisi diriku. Lalu Jimin membantu diriku untuk keluar dari dalam mobil. Setelahnya Jimin kembali menuntunku keruang Dokter Shin yang merupakan dokter kepercayaan Jimin selama ini.

Raut wajahku begitu kahwatir dan itu membuat Dokter Shin tersenyum ramah menaggapi tingkah diriku yang mungkin terlalu ketara. Sekarang aku sedang berbaring di atas kasur tempat untuk melakukan Citi Scan.

Entah kenapa hatiku begitu gugup saat ini. Mungkin karena aku akan mengatahui kondisi bayiku saat pemeriksaan ini dilakukan dan yang pasti aku akan tauh jenis kelamin dari bayi yang sedang kukandung ini.

"Jangan gugup ini hanya pemeriksaan sederhana"

Ucap Dokter Shin seraya tersenyum ramah padaku.

Semakin disuruh untuk tidak gugup aku malah menjadi semakin gugup. Maklum ini adalah scan pertamaku setelah aku mengandung hampir 4 bulan lebih. Biasanya aku hanya melakukan pemeriksaan rutin seperti mengecek denyut jantung bayiku dan hal-hal mendasar lainnya.

Tapi hari ini aku akan tauh rupa bayi dalam perutku aju juga akan tauh jenis kelaminya dan itu membuat tanganku keringat dingin. Lagi-lagi Dokter Shin tersenyum menaggapi tingakah anehku kudegar ia memanggil Jimin yang sedari tadi berada di belakang Dokter Shin.

"Kurasa kau harus mengengam tangan istrimu agar ia tak terlalu gugup"

Ucap Dokter Shin seraya mengoleskan jel pada perut buncitku.

Kurasakan tangan Jimin mengengamku erat dan penuh kelembutan. Bahkan aku sempat mendegar ia berbisik lembut tapi terlalu pelan sampai aku tak tauh apa yang Jimin bisikan.

Kegugupanku sirna saat Dokter Shin menunjukan betapa sehat dan sempurnahnya bayi yang kukandung. Bahkan di layar monitor itu Dokter Shin menunjukkan pergerakan bayi yang ada didalam perutku.

"Bayi kalian sehat, dan bayi kalian perempuan"

Ucap Dokter Shin setelah ia memeriksa jenis kelamin bayiku.

Aku begitu senang sampai ingin sekali menagis. Tapi sebelum itu, Jimin lebih dulu meneteskan air matanya saat kurasakan tetesan air mata Jimin jatuh membasahi wajahku. Kulirik wajah Jimin yang saat ini terlihat sangat senang dan terharu.

Apa Jimin sebahagia itu saat mengetahui bahwa bayi kami adalah perempuan?. Pertayaan demi pertayaan terus terlintas dalam benakku. Ada begitu banyak keraguan di dalam hatiku terutama saat ini, aku ragu jika Jimin benar-benar mengiginkan kehadiran anak kami.

Tapi jauh di dalam hatiku, hatiku menepis pemikiran itu. Entah kenapa tangis yang Jimin jatuhkan itu adalah tangis tulusnya sebagai seorang ayah yang bersyukur atas kehadiran seorang bayi dalam keluarga kami.

Bahkan Jimin saat ini terlihat begitu antusias menatap monitor itu. Dan Jimin tak ada henti-hentinya menanyakan mengenai bayi yang ku kandung sekarang. Terlalu banyak hal yang Jimin tanyakan sampai membuat Donkter Shin tertawa.

Setelah pemeriksaan itu selesai aku dan Jimin saat ini terduduk di depan meja kerja Dokter Shin. Kulihat Dokter Shin saat ini sedang memperhatikan hasil pemeriksaan kesehatanku.

"Sama seperti yang telah saya sampaikan pada kalian. Bahwa bayi kalian sangat sehat dan sempurnah, tak ada yang tidak beres dari kesehatan bayi kalian. Kondisi jantungnya baik denyut jantungnya juga sangat baik"

Ucap Dokter Shin sambil tersenyum.

Aku hanya membalas ucapan Dokter Shin dengan seulas senyum tulus. Tapi detik berikutnya raut wajah Dokter Shin berubah menjadi serius saat ia kembali membaca hasil tes kesehatanku.

"Tapi untukmu Sena, sepertinya ada masalah dengan jantungmu, Disini jantungmu terlihat sangat lemah"

Dokter Shin menunjukkan hasil pemeriksaan jantungku yang memang turun derastis.

Aku menghelahkan nafas beratku, entah kenapa aku menjadi sangat takut sekali jika akan terjadi sesuatu pada bayi yang kukandung.

"Jika dilihat dari tekanan darahmu dan tingkat kolestrol yang ada dalam dirimu semuanya baik, tidak ada yang salah"

Jelas Dokter Shin dengan raut wajah binggung.

"Apa kau belakangan ini selalu stres?"

Tanya Dokter Shin asal tebak.

Aku mengeleng sebagai bentuk jawabanku atas pertayaan Dokter Shin. Karena jujur sejak kehamilanku ini aku tak pernah lagi mau memikirkan segala sesuatu yang memberatkan hatiku. Karena aku tauh resikonya begitu tinggih. Meskipun begitu ada pada waktu-waktu tertentu dadaku begitu sakit dan teriris tapi aku tak tauh pasti apa penyebabnya.

"Apa itu akan membahayakan Istriku dan bayi yang saat ini istriku kandung?"

Tanya Jimin penuh kekahwatiran.

Dan sekarang rasa sakit dan nyeri di dadaku kembali muncul. Kupengangi dadaku dan mengelusnya lembut agar rasa sakit itu berkurang.

"Jangan kahwatir istri serta bayi yang dikandungnya akan baik-baik saja. Aku sarankan agar istrimu lebih banyak menghabiskan waktu diluar, dia bisa merifrescing pikirannya serta tubuhnya"

Jelas Dokter Shin.

"Kalian biasa pergi berpiknik, atau hanya sekedar berjalan santai di taman. Berhubung ini musim semi dan akan banyak bunga yang bermekaran ada baiknya jika kau membawa istrimu untuk berpiknik sambil menghirup udara musim semi"

Lanjut Dokter Shin lagi sambil menulis di buku jurnal kehamilanku.

Aku dan Jimin sama-sama menganguk. Setelahnya kami berpamitan dengan  Dokter Shin dan segera pergi ke bagian administarasi. Selanjurnya aku dan Jimin kembali masuk ke mobil.

Didalam mobil aku hanya memandagi kaca jendela mobil  sambil menungguh sampai Jimin mengendari mobilnya meninggalkan rumah sakit. Tapi entah kenapa samapai detik ini Jimin tak juga mengendari mobilnya.

Kulirik Jimin sekilas untuk sekedar mengecek kondisinya. Mungkin saja Jimin sakit atau apa sehingga ia tidak bisa menyetir. Tapi aku malah di kejutkan dengan sosok Jimin yang saat ini sedang memandangi foto hasil Citi Scan tadi.

Tangan Jimin menghelus lembut foto itu sambil tersenyum memandaginya. Nafasku terasa begitu sesak dan buru-buru kubuka kaca mobil untuk menghirup udara segar. Lagi dan lagi dadaku kembali terasa sesak. Begitu sakit dan nyeri sampai aku sendiri tak tauh harus menguragi rasa sakitnya seperti apa.

"Kau baik-baik saja Sena?"

Tanya Jimin seraya menghelus lembut pundakku.

"Aku baik-baik saja"

Jawabku setelah kurasakan dadaku sedikit membaik.

Jimin masih menatapku dengan raut wajah kahwatir. Kini Jimin memberikan air mineral padaku. Kuteguk beberapa kali sampai aku merasa baikan setelahnya aku mengucapkan terima kasih.

"Apa sudah membaik?"

Tanya Jimin lagi masih dengan nada kahwatirnya.

Aku hanya menganguk sambil menatap kearah jendela.

"Oh iya ini"

Ucap Jimin setelah kami sama-sama diam beberapa detik.

Jimin memberikan satu foto Citi Scan kepadaku, aku mengerjitian dahiku lalu kutatap satu foto Citi Scan yang ada di Jimin. Aku binggung kenapa Jimin hanya memberikan satu padahal Dokter Shin memberikan dua foto.

"Yang ini untukku dan akan kusimpan dengan baik"

Gumam Jimin seraya menatap foto itu lekat sambil tersenyum.

Air mataku mengalir begitu saja saat mendegar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Jimin. Buru-buru kuhapus air mata itu sebelum Jimin mengetahuinya karena aku tak ingin terlihat lemah di hadapan Jimin.

Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir. Saat ini aku dan Jimin sudah sampai di rumah. Kulangkahkan kakiku berjalan memasukki kamar, kemudian kududukan diriku pada kasur ini.

Selang beberapa menit aku melihat Jimin masuk kedalam kamar ini, mengambil pakaiannya dan kemudian pergi keluar.

Aku sudah lama sekali tak menyiapkan pakaian Jimin. Dulu aku terbiasa menyiapkan pakaian untuk Jimin setiap kali Jimin pulang dari kantor dan berniat untuk mandi. Tapi sekarang tidak lagi. Selama lebih 4 bulan ini, aku tak lagi menyiapkan semua keperluan Jimin.

Seperti yang pernah kukatakan. Aku dan Jimin seperti orang asing yang hidup dalam satu atap. Mungkin kalian belum tauh aku dan Jimin sudah lama tak tidur dalam satu kamar.

Dan aku sudah mulai terbiasa dengan semua itu. Tapi aku sering kali merasa tak enak pada Jimin, mengigat jika kamar ini merupakan kamar Jimin.

Setengah jam telah berlalu dan saat ini aku sudah berniat untuk tertidur setelah aku menghabiskan makananku dan meminum obatku. Tapi niatku terhenti saat Jimin datang memasuki kamar ini sambil membawa sebaskom air dan sebuah handuk kecil.

Kini sosok Jimin sedang berjongkok dihadapaku. Awalnya aku kaget dan binggung. Tapi setelahnya aku tauh apa yang akan Jimin lakukan. Perlahan Jimin mengangkat kaki lalu merendamnya dalam air hangat.

"Bagaimana bisa sebengkak ini?, Apa kau salah memakai sepatu?"

Tanyanya lagi.

Jujur aku sempat tersinggung dengan ucapan Jimin barusan. Apa ia tak tauh jika kaki bengkakku ini wajar jika sedang hamil? Dan jangan salahkan sepatu yang aku kenakan karena itu tak ada hubungannya dengan kaki bengkaku. Satu hal lagi, kebengkakan kakiku ini karena aku terlalu banyak makan.

"Apa kau menyinggungku?"

Tanyaku sambil memasang wajah cemberut.

Jimin hanya tertawa renyah di sana sambil memijat lembut kakiku yang sepertinya memang membutuhkan riflesing.

"Kau tetap cantik meskip kau gendut"

Ucap Jimin seraya memandangku sekilas.

Wajahku berubah menjadi masam saat aku mendegar hal itu. Apa Jimin harus mengatakan kebenaran itu?. Sepertinya kepekaan Jimin telah pudar, Tak ada satupun wanita hamil yang ingin dibilang gendut walaupun pada akhirnya akan dipuji.

Dasar Jimin menyebalkan!!

"Kau tetap cantik walaupun kau hanya menggunakan pakaian hamil seperti saat ini, kau bahkan tambah cantik saat kau hamil, dan aku menyukainya"

Gumam Jimin pelan tapi masih bisa terdegar jelas ditelingahku.

Aku tak menanggapi ucapan Jimin barusan, bahkan aku memilih untuk bungkam dan memilih untuk memikirkan hal lain.

"Kau tauh, setiap hari aku sangat merindukanmu. Aku selalu terbangun dalam tidurku dan mungkin kau tidak tauh itu tapi aku setiap hari tak bisa tidur karena tak ada kau disamping diriku"

Ucap Jimin seraya menatapku dalam.

Buru-buru kutarik kakiku dari dalam baskom itu. Lalu aku berangsur menarik semua tubuhku ke atas kasur. Akupun menyuruh Jimin untuk pergi, setelahnya akh langsung memposisuikan diriku memungungi Jimin. Selang beberapa detik aku masih bisa merasakan kehadiran Jimin di kamar ini. Tapi setelahnya aku merasakan ciuman singkat dari Jimin di sela-sela rambut panjangku.

"Kau harus memjaga baik dirimu dan bayi kita, karena aku sangat ingin melihatnya lahir"

Bisik Jimin lembut, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan kamar ini.

Rasa sakit di dadaku kembali terasa. Semakin sesak dan semakin menyakitkan. Sampai aku merasa oksigen di dalam kamar ini berkurang secara drastis.

Ada apa denganmu Kim Sena. Kau tidak boleh membuat kondisi jantungmu sendiri semakin memburuk karena itu akan beresiko untuk bayi yang kukandung sekarang.

Kau terlalu lemah Kim Sena, dan kau terlalu bodoh. Sangat bodoh sampai kau sendiri tak bisa membenahkan apakah kau masih mencintai Jimin atau malah membencinya.

Dan kuharap rasa sakit didalam dadaku ini bukan Jimin penyebabnya. Jika seandainya memang Jiminlah penyebabnya maka aku telah gagal menghilangkan rasa cintaku pada Jimin.

*

Aku terbangun dari tidurku saat kudegar suara berisik datang dari arah dapur. Padahal ini masih jam 5 subuh. Apa salah satu pelayan Jimin sedang memasak?. Akupun berjalan melangkah kedapur dan tubuhku terpaku begitupun sosok di hadapanku.

Kami sama-sama tak tauh harus melakukan apa saat ini. Dulu saat aku melihat Jimin sedang sibuk memasak di dapur aku akan langsung menghampirinya dan dengan senang hati membantunya.

Tapi hari ini, untuk saat ini aku tak tauh apa yang harus aku lakukan, begitupun dengan Jimin. Jimin terlihat terpaku dan terkesal merasa bersalah mungkin karena telah membangunkanku di jam yang seharusnya aku masih tertidur pulas.

"Apa aku membangunkanmu?"

Tanya Jimin kahwatir sambil menatap lekat kearahku yang masih terlihat mengantuk.

"Tidak, aku hanya sedang haus karena itu aku bangun"

Buru-buru kucari alasan agar Jimin bisa menghilangkan rasa bersalahnya dari raut wajahnya itu.

Aku melangkah menuju ke dapur tepat di hadapan Jimin. Kulihat sosok Jimin sedang menuangkan air mineral di dalam gelas. Setelahnya ia memberikan gelas berisi air itu kepadaku. Kuteguk habis air itu.

Awalnya aku ingin langsung kembali kekamar setelah meminum segelas air. Tapi aku malah tertarik dengan yang dibuat Jimin saat ini. Tepatnya anak didalam kandunganku saat ini yang sepertinya memaksaku untuk tak pergi sekarang.

"Ada yang kau butuhkan lagi?"

Tanya Jimin sambil menatapku lekat.

Aku hanya bisa mengaruk tengkuk leherku yang sebenarnya tidak gatal. Buru-buru kucari sebuah alasan agar aku tidak terkesan binggung.

"Aku lapar"

Ucapku yang berhasil membuat Jimin menatapku dalam.

Setelahnya sebuah ulasan senyum tulus  terpancar dari wajah Jimin. Ia buru-buru memasakanku makannan sederhana sebuah roti pangang dengan beberapa irisan danging ham dan satu buah telur mata sapi.

"Ini makanmu"

Ucap Jimin setalah ia selesai memasak.

Entah kenapa aku merasa begitu canggung pada Jimin. Bahkan untuk mengucapkan kata terima kasih aku terdengar begitu gugup. Ada apa dengamu Kim Sena, kau harus bisa mengendalikan dirimu di depan Jimin.

Kusantap masakan Jimin itu, rasanya jauh lebih enak dibanding dulu. Mungkin karena aku sudah begitu lama tak memakan masakan Jimin. Tapi aku masih ingat masakan apa yang pertama kali Jimin buatkan untuku. Bahkan setiap surat yang Jimin dulu tuliskan untukku. Semuanya sudah kusimpan agar kelak itu bisa menjadi kenangan. Bahwa aku pernah punya suami yang romantis, perhatian dan penyanyang.

Memikirkan semua itu membuatku tersedak bahkan saat ini aku hampir menagis. Bukan karena roti yang menyangkut didadaku tapi rasa sesak yang kembali muncul di dalam diriku. Begitu sakit saat aku kembali mencoba untuk mengigat sosok Jimin.

Segala hal mengenai dirinya membuat air mataku ingin sekali memgalir. Aku sendiri tak mengerti dengan diriku, selama aku hamil aku terus saja merasa begitu sentimen.

"Kau baik-baik saja?"

Tanya Jimin seraya berlari kecil mengampiri diriku sambil memberikan segelas air putih kepadaku dan menepuk pelan pundakku.

"Bukankah sudah pernah kukatakan dulu padamu, bahwa kau harus makan secara perlahan?"

Tanya Jimin seraya memintaku untuk mengigat kembali kenangan masa lalu.

"Aku tak akan pernah mengambil makananmu, jadi jangan kahwatirkan itu, makan saja secara perlahan"

Ucap Jimin lagi sambil menghelus lembut pundakku.

Jangan ingatkan aku Jimin. Karena sekarang aku sedang berusaha untuk melupakan semua kenangan kita itu. Jangan membuatku kembali merinduhkan sosokmu yang sangat ingin aku lupakan.

Air mataku kembali mengalir cukup deras. Dan itu membuat Jimin sedikit mengejekku.

"Kenapa istriku begitu sangat cengeng? Apa karena ada aku disisimu jadi kau ingin selalu bisa mendapatkan perhatianku?"

Tanya Jimin seraya menghapus lembut air mataku.

Tolong jangan katakan itu Jimin. Karena setiap kata yang terucap darimu hanya akan membuat sakit di dadaku bertambah. Dan aku tidak ingin memperburuk kondisi jantungku Jimin.

"Berhentilah menagis karena aku pasti akan ada disisimu, menghapus air matamu dan menjagami seumur hidupku"

Ucap Jimin lagi lirih dan penuh ketulusan.

"Kau terlihat seperti bocah saat menagis Sena"

Ucap Jimin  dengan tawa reyahnya tapi masih terdegar begitu menyedihkan.

"Dan aku ingin kau hanya menagis di depanku dan hanya boleh di depanku karena aku akan meminjamkan bahku untuk menjadi sandaramu dan hanya aku yang akan menghapus air matamu Sena"

Unjar Jimin lagi seraya menangkup wajahku untuk menatap dirinya.

Aku sungguh tak tahan lagi, sekarang aku sadar bahwa penyebab dari sakit di dadaku dan yang membuat kondisi jantungku selalu melemah adalah keinginku untuk melupakan Jimin bahkan membuang semua kenangan tentang Jimin untuk menjauh dari driku.

Tapi aku sungguh tak bisa, semakin aku mencoba maka rasa sakit itu semakin menusuk lebih dalam. Dan aku tidak ingin melanjutinya. Biarkan kenangan tetap menjadi sebuah kenangan.

Kutatap Jimin dengan wajah berlinangan air mata kemudian aku mencekram tangannya kuat sambil memohon.

"Sekarang aku tauh apa yang membuat dadaku begitu sakit, semua itu karen kau Jimin"

Jelasku yang langsung direspon raut wajah terkejut dari Jimin.

"Semakin ingin aku melupakanmu maka semakin sakit hatiku, dan semakin ingin aku membuang semua kenagan tentang kita maka hatiku selalu saja sakit. Aku tak tauh kapan rasa sakit ini muncul tapi yang pasti setiap kali aku melihatmu tersenyum dan sedih hatiku begitu sakit"

Jelasku tanpa jeda sedikitpun.

"Se---Sena"

Panggil Jimin lirih, bahkan aku bisa melihat ada genangan air mata disana.

"Kau bilang akan memperbaiki semuanyakan?, Kalau begitu aku mohon tolong perbaiki semuanya, perbaiki sampai aku  tak memiliki keraguan lagi padamu"

Ucapku lirih dengan air mata yang kembali mengalir tanpa henti.

Bisa kulihat raut wajah terkejut yang dipancarkan oleh Jimin. Mungkin Jimin tak menyangkah jika aku akan mengatakan kalimat itu barusan. Dan sejujurnya aku juga tak menyangkah karena semua kalimat itu muncul sendiri tanpa pernah aku pikirkan

"Perbaiki segalanya dan buat pernikhan kita berjalan sampai akhir tanpa sebuah  paksaan dan hanya berjalan karena cinta dan rasa saling percaya"

Ucapku lagi diselah tangisku. Kini aku melihat air mata Jimin juga ikut terjatuh membasahi pipinya.

"Aku akan menghapus segala keraguamu dan segala beban dalam dirimu Sena, dan membuat pernikahan kita berjalan sampai akhir"

Jelas Jimin dengan penuh keyakinan dan begitu tulus.

Sosok Jimin kini berangsur memelukku hangat dan sangat erat. Entah kenapa setelah mengatakan semua itu, hatiku menjadi lega. Tak ada rasa sakit lagi dihatiku saat ini. Bahkan aku juga membalas pelukan Jimin tak kelah eratnya dari Jimin.

Karena Jujur aku sangat merinduhkan Jimin, sangat merinduhkanya dan benar-benar merinduhkannya sampai aku sendiri tak bisa mengambarkan sebesar apa aku merinduhkannya. Aku rindu sosok Jimin yang penyayang, ramah, lembut, perhatian dan manis.

Kurasa aku tak perluh memikirkan obat apa yang perlu kuminum untuk menghilangkan rasa sakit di dadaku. Karena yang pasti aku telah menemukan obat yang benar-benar ampuh dan akan menyembuhkan rasa sakit di dadaku kapanpun aku melinatnya.

"Saranghae Park Jimin"

Ucapku lembut di sela-sela pelukan kami.

Mungkin ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan  cintaku pada Jimin duluan sebelum ia mengucapkannya. Karena biasanya Jimin yang akan duluan mengucapkannya dan aku hanya membalas ucapan itu.

"Nando saranghae Park Sena"

Setelah mengucapkan kata itu, Jimin berangasur mencium bibirku lembut.

Aku tauh tak selamanya hari akan cerah dan pasti akan badai yang suatu saat menerpah, tapi selama aku dan Jimin saling percaya dan menguatkan satu sama lain. Maka kami pasti bisa melewatinya sekalipun itu badai yang sangat dasyat.

****

Masihkah kalian menagis baca bab ini?.🤔🤔🤔

Seberapa cintahkan Jimin terhadap Jimin?

Dan bisakah Jimin menetapi janjinya?

Yuk Di coment.

Dan siapa yang dari kalian baper baca bab ini?😥😥

Aku tunggu bom vote, comment dan ulasan dari kalian.

OH IYA KALAU ANTUSIASNYA BESAR LAGI NANTI JAM 7 MALAM AKU BAKALAN UPDATE SATU BAB LAGI, SIAPKAH KALIAN UNTUK BACA BAB SELANNUTNYA?🤔🤔🤔🤔

avataravatar
Next chapter