15 Fake Wedding: 13- Floweer

Langit sore merupakan pemandangan yang paling indah yang selalu disuguhkan lagit kepada siapapun. Termasuk terpaan angin yang berhembus secara perlahan tapi masih terasa sejuk.

"Kau kedinginan?"

tanya Jimin seraya memeluku lebih erat lagi.

Rasanya hangat dan sangat nyaman. Aku pejamkan mataku untuk lebih bisa menikmati suasana bersama Jimin. Setelah banyaknya masalah yang secara bertubih-tubih menerpah rumah tanggah kami kurasa aku dan Jimin hanya butuh saling percaya dan saling menguatkan satu sama lain agar semua permasalan yang nantinya mungkin akan terjadi lagi tak akan sampai pada ungkapan perceraian ataupun perpisahan.

Kini Jimin menghelus lembut rambut panjangku. Sesekali aku membuka mata untuk menatap langit sore yang semakin indah.

"Senang rasanya bisa menghabiskan waktu bersaamu di taman belakang ini"

Ucap Jimin lembut.

Sejenak kami hanya diam tanpa berbicara sambil menikmati pemandangan sore yang sangat menakjubkan. Apa lagi dengan nuansa taman belakang di rumah Jimin yang sangat cantik.

"Saat aku berusia 10 tahun ayahku menceraikan ibuku tepat dihari aku berulang tahun. Saat perceraian kedua orang tuaku, aku sedang menunggu kedatangan mereka ke salah satu hotel yang telah dipersiapkan dari jauh-jauh hari untuk pesta ulang tahunku."

Jelas Jimin secara tiba-tiba. Aku hanya mendegarkan cerita Jimin itu dengan rasa iba.

"Tapi yang kudapati bukanlah kedatangan mereka dengan wajah bahagia menyambut hari ulang tahunku. Melainkan, mereka bertengkar dengan sangat hebat di depanku dan didepan semua temanku yang hadir pada saat itu"

Lanjut Jimin sebelum akhirnya ia menarik nafas cukup dalam.

"Jujur saat itu aku belum bisa mengerti situasi seperti apa yang saat itu sedang terjadi. Akupun tak tauh siapa yang harus aku belah saat itu. Tapi yang pasti sebagai anak kecil yang berusia 10 tahun aku hanya bisa menagis sambil memohon agar mereka berdua berhenti bertengkar"

Ucap Jimin lagi sambil menerka-nerka kejadian masa lalu yang menyakitkan.

Sumpah aku tak tauh jika kehidupan Jimin sangat memiluhkan seperti ini. Bahkan aku semapat menatap Jimin berkali-kali untuk melihat apakah ada perbuhan ekspresi pada wajah Jimin.

"Pertama kali aku mendegar kata perceraian adalah pada saat aku berusia 10 tahun. Saat itu aku masih tak mengerti dengan arti dari kata itu sampai saat dimana ayahku meninggalkan ibuku setelah mengucapkan kata-kata itu, aku baru sadar jika kalimat itu merujuk pada sebuah perpisahan"

Jelas Jimin lebih dalam lagi.

Aku bisa mendegar helahan nafas Jimin yang terdengar berat. Dulu aku ingin sekali mengetahui semua hal mengenai Jimin. Tapi hari ini, aku merasa tak kuat mendegar cerita Jimin mengenai kejadian memiluhkan dalam hidup Jimin.

"Selang beberapa bulan, aku kembali bertemu dengan ayahku. Dia terlihat sangat bahagia tapi tidak dengan ibuku. Ibuku sungguh bahkan sangat-sangat tertekan setiap kalinya ia mengigat mengenai ayahku dan itu cukup untuk mengiris hatiku"

Ucap Jimin dengan mata yang cukup berkaca-kaca.

"Wanita yang kau lihat pada saat pernikahan kita dan yang dikenalkan sebagai istri dari ayahku adalah wanita yang telah berhasil merebut hati ayahku untuk berpaling padanya"

Lanjut Jimin dengan nada sedikit kesal.

Kutatap Jimin sebentar sebelum akhirnya kugengam tangan Jimin dengan erat agar Jimin bisa melupakan rasa kekesalannya yang secara tiba-tiba meruap akibat cerita yang mungkin selama ini selalu Jimin pendam.

"Aku tak tauh siapa yang harus kusalahkan dalam semua ini, karena jujur ayahku sendiri merupakan orang yang ambisius dan gila harta dan wanita yang saat ini menjadi ibu tiriku juga adalah wanita yang akan melakukan segala cara untuk dapat memperoleh apapun yang ia inginkan"

Jelas Jimin lagi dengan nada kesal yang ketara.

Kulihat wajah Jimin semakin lama semakin mengeras karena kesal, tapi itu tak berlangsung lama.

"Dan untuk Hae In dia adalah rivalku di dunia bisnis dan juga musuhku di dalam lingkungan keluargaku"

Kata Jimin sambil menatapku lekat.

Musuh dalam lingkungan keluarga?, Apa maksud Jimin itu seperti saudara yang bermusuhan?. Tapi jika aku perhatikan wajah Jimin dan Hae In mereka sama sekali tak mirip dengan sebutan saudara.

"Musuh dalam lingkungan keluarga....Apa Hae In adalah saudaramu?"

tanyaku penasaran sambil menerka-nerka.

"Saudara tiri, tapi aku tak ingin menyebutnya sebagai saudara tiri karena dia tak pantas menyandang marga keluargaku"

Jelas Jimin tegas.

"Jadi karena itu aku sangat tidak ingin kau dekat dengan pria seperti dia. Jika kau tidak ingin membuatku sakit hati akibat cemburu maka jauhi Hae In karena ia hanya akan memberikan pengaruh buruk bagimu"

Kata Jimin sambil mengengam erat kedua tanganku.

Jadi karena inilah Jimin sangat membenci Hae In. Tapi kenapa?, Apa karena Ibu tiri Hae In yang telah merebut ayah Jimin?. Aku masih binggung dengan semua ini.

"Tapi apa salah Hae In padamu?, bukankah sebagai seorang anak kita hanya bisa mengikuti semua saran dan tindakan dari orang tua kita?. terutama saat kita masih sangat kecil dan belum bisa mengambil keputusan sendiri"

Tanyaku penasaran.

"Dia ingin merebutmu!"

Jawab Jimin cepat dan itu berhasil membuat mataku terbelalak kaget.

"Apa kau tak sadar dari awal pertemuamu dengannya dan sampai saat dia mengaku sebagai suamimu, Hae In pria berengsek itu ingin merebut hatimu"

Jelas Jimin lagi dengan raut wajah kesalnya.

Mungkin karena kebodohanku yang tidak peka dengan keadaan sekitar. Tapi dari mana Jimin tauh jika Hae In mengaku sebagai suamiku pada saat itu.

"Pak Han sudah menceritakan semuanya padaku"

Jelas Jimin lagi dengan wajah cemberut kesal tapi lebih terlihat sepertu anak kecil yang sedang merajuk.

Buru-buru kupeluk Jimin agar rasa kesal Jimin hilang dan itu cukup berhasil. Setelah langit sore hilang aku dan Jimin memutuskan untuk kembali masuk dalam rumah. Kupapa tubuh Jimin yang memang masih terlihat belum cukup membaik akibat kecelakaan yang dialami Jimin waktu itu.

Perlahan kudorong pintu besar itu agar aku dan Jimin dapat masuk kedalam rumah. Tapi pandangan yang kulihat dari rumah ini adalah gelap gulita.

"Apa sedang mati lampu?"

gumamku perlahan.

"Mungkin saja"

Jawab Jimin sambil menerka-rerka.

Aku kembali menuntun Jimin untuk memasuki rumah karena jam segini Dokter Shin telah mengigatkan agar Jimin minum obat tepat waktu agar kondisi tubuhnya bisa cepat pulih.

Tapi langlah kaki kami terhenti setelah berjalan 5 langkah dari ambang pintu. Aku langsung menatap Jimin yang terlihat sedang senyum-senyum sendiri saat melihat ekspresi terkejutku yang tiada tara.

"Aku kau menyukainya?"

tanya Jimin saat lampu telah dinyalahkan yang langsung menunjukkan seisi meja makan yang penuh dengan berbagai hidangan mewah yang kurasa disiapkan langsung oleh Bibi Sun.

"Kau menyiapkan semua ini?"

tanyaku terkejut.

"Untuk istri tercinta dalam hidupku aku ingin memberikan sesuatu yang spesial dihari ulang tahunmu"

Ucap Jimin dengan wajah manis

Jimin perlahan menuntunku untuk duduk di meja makan, bahkan Jimin membantu menarik kursi yang akan kududuki. Sebelum akhirnya Jimin juga ikut duduk di depan diriku. Menatapku tanpa henti-hentinya tersenyum.

"Apa kau menyukainya?"

tanya Jimin lagi dengan pertanyaan yang sama yang belum kejawab tadinya.

Akupun mengangguk antusias sambil tersenyum ramah pada Jimin. Kutatap lilin-lilin yang saat ini sedang dinyalahlan oleh para pelayan di rumah Jimin.

"Mungkin kau akan kecewah dengan semua ini tapi....."

Ucapan Jimin terputus karena celutukanku yang secara tiba-tiba.

"Aku tak butuh sesuatu yang mewah, cukup kau ada disisiku saja itu sudah membuatku sangat bahagia terutama dihari ini"

Ucapku yang sudah tauh apa yang akan dikatakan oleh Jimin mengenai persiapan yang dibuat oleh Jimin ini.

Mungkin kalian akan bertanya-tanya mengapa seorang pengusaha tersukses didunia tak bisa membuat sebuah pesta ulang tahun yang meriah untuk istrinya?. Jawabnya karena diriku, Aku yang melarang Jimin untuk tak banyak bekerja beberapa hari ini bahkan aku yang memaksanya untuk diam saja dirumah jadi  Jangan berfikir negatif mengenai Jimin karena aku tidak suka itu.

Kulangkahkan kakiku kearah tempat Jimin duduk saat ini, dan dengan sedikit manja kukecup pipi kiri Jimin dari belakang . Bisa kulihat senyum yang mengambang di wajah Jimin.

Tapi memang dasaran Jimin yang tidak bisa puas karena sebuah ciuman. Awalnya aku sedikit merutuki kebodohanku karena mencium Jimin itu sama saja membangunkan singa yang lapar.

Karena kalian sudah taukan apa yang akan dikatakan Jimin setelah ini?.

"Apa kau hanya akan  memberikan ciuman di pipi kiri saja, lalu bagaimana dipipi kanan dia akan cemburu jika kau tidak menciumnya"

Jelas Jimin sambil menunjuk pipi kananya yang mau tak mau harus kuturi.

Akupun mencium pipi kanan Jimin singkat sebelum akhirnya aku berniat kembali lagi ketemoat dudukku. Tapi lengan kekar Jimin menahan langkahku untuk tak pergi.

"Bagaimana dengan yang ini?"

tanya Jimin sambil menyentuh bibir tebalnya yang sangat menggoda.

Aku hanya dapat mengembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya aku mencium Jimin cukup lama tapi dibalas lembut oleh Jimin.

"Rasanya aku yang memberiian kado padamu?, seharusnya kau yang memberikan kado padaku karena ini hari ulang tahunku"

ucapku sambil berpura-pura kesal setelah ciumanku dengan Jimin berakhir.

"Kalau kau mengiginkannya kita akan melakukannya di kamar sebagai kado untukmu, bagaimana?"

tanya Jimin mengoda.

Aku buru-buru beranjak ke kursiku semula dan langsung menyantap semua hidangan disana. Aku bisa mendengar tawa Jimin yang melintas begitu saja dengan riang.

"Kau bilang asalkan bersamaku maka kau akan sangat bahagia, jadi aku ingin memberikan diriku sebagai kado untukmu tapi kau menolak"

Ucap Jimin disela-sela kunyahanya.

"Aku tidak ingin mengiginkan itu"

Ucapku tegas setegas tegasnya karena aku sudah tau pembicaraan ini akan mengarah pada apa. Dan untuk hari ini aku sungguh dan sangat tidak ingin melakukannya.

Jimin hanya tertawa menangapi ucapanku barusan. Ada tawa, canda dan cerita disetiap waktu yang kami habiskan hari ini dan itu membuatku semakin mengenal Jimin dan kuharap keterbukaan Jimin ini akan berlangsung selamanya sampai tak ada lagi yang ia tutup-tutupi dari diriku.

*

Kukeringkan rambutku yang masih setengah basah di depan meja rias. Sesekali kutatap wajahku di depan cermin sudah lama sekali aku tak melakukan perawatan untuk wajahku akibat banyaknya masalah yang terus saja menerpah pernikahanku dan Jimin. Tapi kurasa itu tak menguragi kecantikan diwajahku.

Pelukan Jimin yang secara tiba-tiba dari belakang serta hembusan nafas hangat dari Jimin berhasil membuat suatu sengatan yang aneh mencuat dari diriku.

"Kau cantik sekali istriku"

Puji Jimin yang berhasil membuat wajahku tersipu malu.

Kini Jimin perlahan menarik tanganku untuk mengikuti langkah kakinya menuju ketaman belakang rumah yang saat ini sudah dihiasi dengan banyak lampu taman yang sangat indah. Bahkan ditengah taman sudah terdapat sebuah meja bundar yang telah ditata dengan sangat cantik.

"Jimin"

Pangilku perlahan saat kulihat semua hal yabg telah Jimin siapkan untuk kejutan ulang tahunku yang ke dua.

"Aku ingin menjadi pria romantis untukmu Sena"

Kata Jimin sambil menuntunku menuju meja.

Jimin kini menatapku dengan penuh cinta, bahkan aku bisa melihat senyum yang tak pernah luntur dari wajah Jimin dan itu berhasil membuatku juga ikut tersenyum.

Setelahnya Jimin berjalan perlahan kearahku sambil memintaku untuk memejamkan mata. Kuturuti ucapan Jimin tanpa banyak bertanya. Lalu pada hitungan ke 3 Jimin memintaku untuk membuka mataku dan saat itu aku melihat sebuah kue tar yang dihiasi oleh buah-buahan segar. dan di depannya terdapat sebuket bunga yang telah dirangkai dengan sangat indah.

"Selamat ulang tahun istriku"

Ucap Jimin lalu mengecup lembut puncak kepalaku.

"Buatlah sebuah permohonan"

Ucap Jimin lagi setelah ia kembali ketempat duduknya.

Akupun langsung berdoa dan mengucapkan semua harapan terbaik yang mungkin akan Tuhan kabulkan dalam tahun ini. Salah satunya ialah agar aku bisa hidup bahagia bersama Jimin seumur hidup kami.

Setelahnya kutiup lilin yang ada pada kue tar itu. Kulihat saat ini Jimin sedang menatapku dalam sambil menangkup dagunya diatas kedua tanganya.

"Apa harapanmu?"

Tanya Jimin penasaran.

"Apa kau tak tauh apa yang ku harapkan?"

tanyaku balik sambil melontarkan senyum termanisku.

Jimin hanya menatapku tanpa berbicara cukup lama, mungkin ia sedang berfikir tapi aku tak tauh apa yang Jimin pikirkan tapi yang pasti aku tak terlalu suka dengan tatapan Jimin yang sekarang ia tunjukkan.

"Aku tak tau apa yang kau harapkan, jadi tolong beri tauh aku"

Ucap Jimin lagi sambil mengengam salah satu tanganku.

"Aku ingin hidup selamanya bersamamu Park Jimin, seumur hidupku sampai aku tak lagi bisa bernafas"

Jawabku dengan nada lembut.

Kulihat Jimin tersenyum sekilas tapi setelahnya Jimin kembali berfikir cukup lama dan lagi-lagi Jimin menunjukan ekspresi yang tak dapat aku artikan dan itu membuat hatiki sedikit sedih dan kecewa.

"Aku juga berharap hal yang sama"

Unjar Jimin tanoa mengubah ekspresi wajahnya sama sekali.

Dan itu cukup membuat tanda tanya besar menyeruak di dalam benakku. Apakah masih ada rahasia lagi yang belum Jimin ceritakan padaku?. Aku tak mau ambil pusing dengan tanya tanya besar ini karena itu hanya akan membebankan pikiranku saja dan nantinya aku akan banyak bertanya pada Jimin yang akhirnya akan kemabli membuat masalah keretakan terjadi didalam rumah tanggah kami.

Aku dan Jimin kini menatap langit malam yang saat ini sedang bertaburan bintang dan itu sangat cantik.

"Dulu saat aku berpacaran dengan Hyejin aku pernah ingin membangun sebuah taman untuknya. Tapi setelah Hyejin menghianatiku kuputuskan untuk menghancurkan taman ini, karena aku tak ingin ada satupun nunsa dan kenangan dari dirinya yang tertinggal dirumah ini Karena itulah saat pertama kali kau mengitari taman ini kondisi taman ini sangat berantakan"

Jelas Jimin lagi secara tiba-tiba.

Jujur aku sangat terkejut dengan masa lalu Jimin yang pernah berpacaran dengan Hyejin. Apa karena ini Jimin dan Hyejin waktu itu bermesraan?. Hatiku cukup memanas saat mendegar kejujuran Jimin yang baru ia ceritakan padaku tapu apa boleh buat lebih baik Jimin jujur dari pada menyimpan semua kebohongan dariku.

"Tapi itu hanya masa lalu yang tak ingin ku ingat lagi, jadi kumohon jangan pernah cemburu untuknya dan jangan pernah salah paham karenanya. Karena aku sangat mencintaimu Sena"

Ucap Jimin sambil menatapku dalam dan lekat.

"Aku tak akan cemburu dengan masa lalumu karena masa lalu lebih baik hanya dijadikan pelajaran tapi masa depanmu sekarang akan menjadi kenangan terindah bagimu Jimin"

Jawabku tersenyum manis.

Kulihat Jimin juga membalas senyumku tanpa henti-hentinya menatapku dengan lekat dan itu cukuo membuatku tersipu malu.

"Aku mencintaimu lebih dari apapun Park Sena"

ucap Jimin sambil mengelus wajahku lembut.

*

Hari ini aku dan Jimin akan bersiap pergi ketempat perabuhan ibuku dan ibu Jimin. Sebelum pergi aku merasa hatiku tiba-tiba menjadi sangat sakit mungkin karena aku terlalu merinduhkan mereka berdua.

Kugengam kedua buket bunga yang nantinya akan kami letakan di depan kaca perabuhan. Sesekali kutatap buket bunga itu setelahnya kutatap Jimin yang sekarang sedang sibuk menyetir.

"Jangan kahwatir, mereka akan senang saat melihat kita datang"

Ucap Jimin sambil menggengam tanganku erat.

Sesampainya kami di tempat perabuhan, aku dan Jimin langsung melangkahkan kaki menaiki anak tangga yang cukup tinggi. Sesekali kulihat ada beberapa orang yang keluar dari tempat perabuhan.

Kini langkah kakiku dan Jimin sudah berada diambang pintu masuk perabuhan, kembali kuhembuskan nafasku dengan berat sebelum akhirnya kembali kulangkahkan kakiku memasuki lebih dalam tempat perabuhan ini.

"Aku disampingmu"

ucap Jimin sambil menyentuh kedua bahaku dan perlahan menarikku untuk kembali masuk kedalam tempat perabuhan.

Kini aku dan Jimun sudah sampai di lantai 1 tempat perabuhan dari ibuku disimpan. Air mataku seketi langsung mengalir begitu saja saat kulihat foto ibuku yang tersenyum dengan ceriah disana.

Hatiku terasa terkoyak melihatnya. Tapi sekuat tenanga aku menahan diri untuk tak menangis lebih dalam agar ibuku tak ikut sedih meliahat diriku.

"Sudah lama tidak bertemu ibu, bagaimana keadaanmu?, kuraharap ibu akan selalu sehat disana. Jaga dirimu baik-baik karena aku juga akan hidup sehat dan baik disini."

Ucapku sambil meletakan buket bunga itu di depan kaca pembatas.

"Aku kemari bersama dengan suamiku, dia Jimin pria yang menikahiku dan pria pertama yang kukenalkan pada ibu. Dia sangat tampankan?"

Ucapku lagi diselagi tawa hambar.

Jimin kini mengengam kedua bahku berusah untuk menguatkan diriku yang terlihat terpuruk.

"Hallo ibu. Jangan kawahtir dengan Sena, dia akan kujaga dengan baik dan kuharap ibu tenang disana"

Kata Jimin dengan nada lembut.

Setelahnya kami pergi mengunjungi perabuhan ibu Jimin yanh ada dilantai dua disana Jimin terlihat kuat dan tegar, aku bahkan tak melihat ada air mata yang menetes di wajahnya. Mungkin karena Jimin telah benar-benar mengiklaskan kepergian ibunya dan jujur aku salut dengan Jimin.

Dan kuharap kekuatan dan ketegaran Jimin saat ini akan berlangsung sampai selama-lamanya karena aku tak dapat melihat raut wajah sedih yang terpancarkan dari wajah Jimin.

"Jangan kahwatir pada diriku, dan aku juga tak akan membenci ayah lebih lagi karena itu adalah pesan terakhir dari ibu. Tapi aku berjanji padamu ibu akan kurebut kembali semua yang menjadi hakmu jadi kau jangan kahwatir"

Ucap Jimin dengan suara lembut setelahnya ia meletakan buket bunga itu dan tersenyum hambar.

Aku dan Jimin saat ini sedang berada diparkiran mobil berniat untuk pulang tapi belum sempat aku melangkahkan kakiku memasuki mobil sebuah pesan asing masuk dan membuatku sangat tercengang.

'Apa kau tak penasaran siapa yang membuat ibumu sampai menginggal seperti sekarang?'

avataravatar
Next chapter